06. Legenda dari Akhirat

2107 Words
"Kau mungkin belum pernah membaca buku ini," ujar seorang uskup pada Agras sambil memberikan sebuah buku bersampul merah bertuliskan dengan bahasa Lotren. "Legenda dari Akhirat." Agras membaca judul buku itu. "Ternyata benar kau bisa berbahasa Lotren, pantas saja beberapa uskup dan biarawan membicarakan tentangmu, meskipun usiamu masih sepuluh tahun kau cukup hebat," kata uskup itu lagi. Uskup itu duduk di samping Agras, ia kemudian memperkenalkan dirinya sebagai seorang uskup muda bernama Olsho, ia adalah seorang uskup pindahan dari kota Spalda, begitu ia mengatakan pada Agras, meskipun Agras tak begitu tahu di mana letak kota itu. Bahkan tahu bahwa ia tinggal di sebuah kota bernama Tron saja ia baru tahu dari Razes. “Apa bisa bahasa Lotren itu sesuatu hal yang luar biasa?” tanya Agras kemudian pada Uskup Olsho. “Untuk anak seusiamu harusnya iya,” kata Uskup Olsho menjawab pertanyaan Agras. “Sebenarnya belajar bahasa Lotren biasaya digunakan mereka yang ingin keluar dari Valgava, jika tidak maka menggunakan bahasa setempa adalah pilihan yang tepat. Tapi mengingat kau berteman baik dengan Razes itu tidak membuatmu kaget.” “Kenapa?” Agras bertanya lagi. “Sebelum aku jawab kenapamu itu, bagaimana kalau kau membaca buku itu, aku dulu membawanya dari Spalda,” kata Uskup Olsho. Agras mengangguk mendengar hal itu kemudian ia membuka buku itu, cukup berat sampulnya dan kemudian berusaha untuk membacanya. Buku yang menarik, bukan karna isinya, tapi karena gaya tulisannya yang tata letak dua rangkap mirip seperti penulisan kamus inggris. Di beberapa halaman ada gambar-gambar berwarna hitam-putih, meskipun bukan dari mesin cetak tapi gambar itu terlihat jelas. Seperti yang pernah dikatakan Razes, buku yang Agras pegang itu terbuat dari kulit hewan, cukup tebal, entah sapi atau kerbau yang digunakan karena kulit mereka hampir mirip tapi jika dalam keadaan sebelum diolah maka kulit kerbau lebih kering dan berwarna sedikit gelap. Ia pernah melihat langsung kerbau saat mengunjungi asia tenggara dan melihat bahwa mereka membajak menggunakan hewan itu. Bahkan ia pernah disuguhkan makanan dari daging hewan itu, rasanya bagi Agras unik dengan tekstur berbuku dan warnanya pun merah mirip daging mahal. Mengapa ia tiba-tiba ingat makanan? Meskipun judulnya seperti cerita dongeng atau n****+ fantasi, tapi di dalamnya malah seolah itu menjelaskan tentang atlas, sebuah buku dengan gambar peta dunia, lengkap dengan bendera dan banyak hal lainnya. Agras serasa tertipu dengan sampul itu, apa pepatah yang mengatakan bahwa jangan lihat dari sampulnya itu benar. “Apa ini peta dunia?” tanya Agras lagi setelah ia membaca dua halaman bagian depan, masih berisi seolah glosarium dengan kata-kata yang bahkan ia sendiri tak tahu artinya. Di samping glosarium itu ada peta yang ia yakini bahwa itu benua dan negara-negara yang ada. Apa itu konsep dunia yang ia tinggali kini? “Bisa kau sebut begitu,” ucap Uskup Olsho. “Kalau lihat dua gambar besar seperti daratan ini? Ini disebut Earthonius (benua), dan di dalam-dalamnya adalah sebuah kerajaan-kerjaan.” Agras mengangguk, sepertinya apa yang ia pikirkan saat ini benar. Ternyata itu memang peta di dunia yang kini ia tinggali. Bentuknya tidak begitu pesar sepertinya, hanya ada dua benua, mirip seperti benua tua Pangea pada jaman dahulu sebelum terbelah dan satu benua lagi lebih kecil. Di benua yang lebih besar tertulis “Eldris” dalam bahasa Lotren dan satu benua lagi yang lebih kecil bernama “Berthehim”. Di benua yang lebih besar, banyak sekali gambar dengan bendera kekaisaran ataupun kerajaan, selain itu perbukitan, liukan sungai dan banyak gambar lainnya yang menjelaskan bahwa itu tempat berpenghuni. Sedangkan benua yang lebih kecil tak memperlihatkan hal itu malah kosong dan hanya ada gambar yang sepertinya berpenghuni di dekat laut (seperti Australia). “Apa kita tinggal di salah satu Earthonius ini?” “Kita berada di Earthonius bernama Eldris, dan kerajaan yang kita tinggali bernama Valgava kota Tron (sebagai ibukota),” ucap Uskup Olsho. “Earthonius satunya bernama Berthehim, tempat yang layak huni hanya di pesisir laut, di tengahnya padang pasir yang tandus hingga ujung Earthonius.” Kemudian Uskup Olsho menjelaskan banyak hal terkait tentang Earthonius yang ada di buku itu, ia menjelaskan semuanya, bahkan ia mengatakan ada sekitar 13 kerajaan di Eldris, sembilan kerajaan besar dan empat sisanya hanya kerajaan kecil yang menjadi bagian dari wilayah di sekitarnya. Sementara itu sebagai seorang pedagang, mantan walikota Tron dan istrinya, serta anaknya Razes tinggal di negeri Tablos kota Kataran, negeri itu memang dikenal banyak sekali pedagang bertempat tinggal tak heran setelah tak lagi menjadi walikota ayah Razes lebih memilih menjadi pedagang. Meskipun tak begitu lama berkenalan dengan Razes, tapi Agras merasa bahwa Razes begitu baik dan tulus. Kini setelah Razes tak ada sepertinya ia bisa lebih dekat lagi dengan Uskup Olsho dan mungkin nanti juga dengan biarawan lainnya, mungkin membuka sedikit dirinya itu lebih baik karen sudah satu setengah tahun lebih ia menyendiri. “Kau belum pernah melihat dunia luar Tron, bukan?” tanya Uskup Olsho. Agras menggeleng, bagaimana ia bisa melihat dunia luar jika satu setengah tahun lebih ia terus ada di gereja, pulang kerumah saja ia tak pernah. “Meskipun terlihat bahwa  Eldris hanya memiliki 13 kerajaan, tapi Earthonius begitu besar, banyak sekali penduduknya.” Agras tahu itu, tak mungkin sebuah benua yang dihuni memilik ukuran yang kecil, bahkan India yang disebut anak benua pun begitu besar, meskipun ia sama sekali belum pernah kesana, ia tak yakin jika kesana bisa tahan karena ia alergi dengan rempah-rempah, makanan dengan banyak bumbu yang menyengat. “Kota paling ujung dekat laut adalah Tron,” sambung uskup Olsho sambil menunjuk letak Tron di peta. “Sedangkan kota paling ujung di bagian barat ada, Lumiren. Dekat dengan Doglus.” Uskup Olsho menjelaskan banyak hal yang ada di buku itu, bagian awal memang glosarium dan menampilkan peta dunia tempatnya kini tinggal, tapi di bagian halaman selanjutnya banyak cerita-cerita kisah yang bagi Agras sedikit tidak masuk akal, ia seolah membaca n****+ fantasi sejenis n****+ milik J. R. R. Tolkien, Emili memiliki banyak serinya. Begitu juga dengan komik-komik yang ia punya, memang bergenre fantasi, material art dan banyak hal genre sejenis. “Terlihat tidak masuk akal?” tanya uskup Olsho kemudian. Agras mengindahkan ucapan itu. “Aku anggap dongeng sebelum tidur saja dan aku menikmatinya.” “Ini bukan dongeng, tapi sebuah sejarah yang diceritakan turun-temurun dari nenek moyang kita,” kata uskup Olsho. “Bukankah sejarah itu bisa dilebih-lebihkan agar menarik perhatian penikmatnya?” “Iya, tapi tidak semuanya seperti itu.” Kemudian malam pun menjelang hingga melarut, mereka di sana memang setelah ibadah malam seperti biasanya. Uskup Olsho berlalu pergi dan membiarkan Agras menyimpan buku itu untuknya, Agras membawanya kembali keasrama menaruhnya di samping tempat tidur, meskipun ia tahu tak akan ada yang mengambil buku itu karena hanya dirinya yang bisa membaca bahasa Lotren khususnya di asrama itu. Sudah beberapa waktu berlalu sejak Agras mendapatkan buku dengan judul Legenda dari Akhirat itu, buku yang awalnya Agras pikir hanya kumpulan peta, kata dan glosarium itu nyatanya malah berisi penuh dengan dongeng-dongeng pengantar tidur untuk anak-anak, meskipun begitu selalu saja ada sisi gelap di akhir satu cerita demi cerita lainnya, bukan yang berakhir bahagia selamanya. Agras membaca dengan detail sebuah cerita yang memiliki judul sama dengan bukunya, yakni “Legenda dari Akhirat”. Pada kisah itu bermula saat dunia mengalami kekacauan penuh. Pada mulanya setelah entitas luar biasa yang disebut Maha Dewa (berarti di atas dewa) menciptakan langit-bumi dan penghuni keduanya termasuk di dalamnya hewan, manusia, tumbuhan ataupun sejenis makhluk-makhluk tak kasap mata yang kemudian berbaur. Penghuni langit yakni mungkin yang menyebut diri mereka dewa hidup dengan damai, begitu juga penghuni dunia bawah dengan julukan iblis itu. Namun, sebenarnya tidak begitu. Jauh melampaui apa yang manusia pikirkan tentang keselarasan harmonis itu, dewa dan iblis sering sekali berperang, bukan untuk memperbutkan suatu wilayah kekuasaan, tapi untuk menjelaskan siapa makhluk yang paling kuat di alam semesta itu. Akibat peperangan mereka yang tak ingin mengalah satu sama lain, dunia manusia dan roh mulai terganggu. Peperangan keduanya merusak keadaan dan membuat hampir sebagian manusia musnah hanya tersisa beberapa saja, begitu juga dengan para penjaga manusia yang semakin senipis hingga hanya tersisa empat roh saja menurut mereka. Melihat mereka yang terus berperang hingga ribuan bahkan ratusan ribu tahun semenjak penciptaan, Maha Dewa pun enggak lagi melihat kegaduhan itu, maka dengan keesaannya Ia menganugrahkan manusia ilmu, pengetahuan, kecerdasan termasuk juga sihir, serta menghentikan perang itu untuk selama mungkin. Iblis dan Dewa di kurung di tempat mereka masing-masing, si dewa hanya bisa berada di langit dan dunia manusia, begitu juga dengan iblis yang ada di dunia bawah dan dunia manusia. Sedangkan empat roh penjaga yang tersisa, saat itu diberikan anugrah untuk menjaga alam semesta khususnya di dunia kedua Earthonius itu. Keempat roh penjaga langit itu yakni, penjaga ; Barat, Timur, Utara dan Selatan. Mereka adalah entitas baru yang setara dengan dewa dan iblis, mereka tak berwujud hanya roh saja, jika manusia ingin melihat mereka, mereka akan mengambil dalam wujud seperti hewan maupun yang lain, termasuk bisa saja di dalamnya manusia. Cerita-cerita ratusan ribu tahun lalu sudah dikisahkan turun-turun, sebagian orang tua menganggap bahwa itu benar-benar terjadi tapi tak banyak yang menganggap bahwa itu hanyalah dongeng belaka. Di dalam kitab-kitab yang ada di gereja sebenarnya tak pernah menjelaskan hingga sedetail itu, karena penciptaaan langit-bumi hanya dilakukan Sang Esa. “Aku seolah sedang membaca kitab berbagai agama,” gumam Agras setelah membaca bagian cerita itu. “Apa cerita ini mengambil referensi agama hindu? Entahlah, membaca kitab di gereja saja aku tak begitu berminat, tapi memang sesuatu yang berlebihan itu menarik.” Sebelum menjadi Agras, ia dulu penganut Katolik yang tak begitu taat begitu juga dengan keluarganya, mereka merayakan acara keagamaan agar terasa meriah, sabtu-minggu waktu yang harusnya ia gunakan untuk beribadah malaha ia guanakan untuk tidur, menikmati hari libur dengan tenang, Emili saja yang begitu taat dan rajin. Sejak kecil hingga remaja bahkan ia tak peduli apa itu konsep akhirat dan pengadilan hari akhir, tapi setiap ada kecelakaan yang membuatnya hampir kehilangan nyawa ia selalu ketakutan akan mati, ia tak ingin mati secepat itu karena ia belum puas menikmati masa mudanya, ia belum menikahi kekasih pujaannya. *** Waktu terus berputar, entah sudah berapa lama Agras di sana yang pasti saat ini musim gugur hari-hari terakhir, daun-daun kuning dan ranting kayu kering berjatuhan ketanah berhamburan dengan mudahnya seolah menyuruh siapapun untuk membersihkannya. Agras harus bekerja ekstra melakukan hal itu, membersihkan pekarangan gereja dan juga asrama. Bergantian dengan anak-anak asrama yang lain melakukan hal itu setiap hari, bahkan termasuk memberikan makan ternak, membersihkan kandang mereka dan juga melakukan pekerjaan yang lainnya. Malam hari setelah melakukan itu ia akan terlelap dalam tidur, bahkan waktu untuk membaca bukunya hampir tidak ada,  ia tak sempat memikirkannya karena yang ia butuhkan hanyalah tidur dan tidur. Pada suatu waktu ia duduk di bawah pohon sambil menaruh sapu di pundaknya, ia lelah setelah membersihkan pekarangan gereja dari banyaknya daun. Daun-daun itu mau dibersihkan berapa kalipun tetap saja terjatuh. Saat melakukan hal itu uskup Olsho mendatanginya dengan membawa sesuatu. “Lelah?” tanya uskup Olsho. Agras hanya menjawab dengan isyarat menyeka keringatnya, seolah itu memperlihatkan betapa ia kepayahan. “Sepertinya iya.” “Uskup mau membantuku menyapu?” Kini Agras yang bertanya. “Tentu saja tidak, itu pekerjaanmu bukan,” ujar uskup Olsho. “Aku hanya ingin memberikan ini padamu dari seseorang.” Uskup Olsho memberikan barang pada Agras, Agras menerimanya. Sebuah mantel dan kertas berisi tulisan, dari seseorang. Agras membaca isi kertas itu yang bertuliskan dengan menggunakan bahasa Lotren. Untuk Agras. Hampir setengah tahun lebih kita tak bertemu, bukan. Bagaimana kabarmu? Aku yakin kau baik dan banyak membaca buku. Aku menulis ini saat mengikuti ayahku melakukan perdagangan di Doglus, tak jauh dari Valgava hanya saja aku tak ada waktu untuk kesana. Ah iya aku sengaja menulisnya menggunakan aksara Lotren, kau pasti sudah sangat pandai menggunakan bahas itu, jelas sekali karena kau cerdas. Aku menitipkan surat ini pada Uskup Olsho saat katanya ia akan melakukan perjalanan ke Doglus. Agras memindahkan matanya dari membaca surat itu kewajah uskup Olsho, uskup Olsho hanya bisa mengangkat alisnya tak tahu apa yang dimaksud Agras dengan tatapan itu sedangkan Agras melakukan itu dengan pertanyaan, “mengapa uskup Olsho tak mengajakku kesana?”. Setelah itu Agras kembali mengarahkan matanya pada surat yang belum rampung ia baca itu. Aku memberikanmu mantel karena sebentar lagi musim dingin, itu hasil dari perdagangan ayahku. Bahannya khusus sekali, aku memintanya untukmu. Kuharap kau suka, sebab aku tahu bahwa baju asrama itu tak begitu nyaman dipakai. Ah sudah dulu, sebentar lagi aku akan kembali ke Tablos. Jika kau sudah siap, aku akan menunggumu di Tablos. Razes mengakhiri surat itu dan Agras pun menutupnya, ia kemudian membuka mantel itu untuk melihatnya. Kulit tangannya menyentuh mantel itu, begitu halus dan terasa indah, jahitannya tak terlihat menggunakan benang, seolah semuanya disambung dengan perekat khusus, memang berbeda dengan pakaian yang ia gunakan kini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD