08. Rumah dan Segala Ceritanya

2155 Words
Agras baru saja bangun tidur, keluar dari kamarnya dengan sedikit menguap dan mengucek mata yang terasa sedikit perih karena harus langsung melihat cahaya yang terang dari pantulan sinar matahari meskipun masih tertutup dengan gumpalan awan putih yang membuat di bawahnya sedikit menggelam, tapi tak seperti malam. Setelah mencuci wajah, kaki dan tangan tanpa mandi karena udara yang begitu dingin mencekam ia menuju dapur. Dari sana terdengar suara yang menganggu telinya, sepertinya Vina tengah masak di sana, sesampainya di dapur pikiran Agras benar, tapi Vina sudah selesai melakukan itu dan menyiapkan makanan di atas meja. “Wah kau sudah bangun,” ujar Vina sambil menata makanan di atas meja. “Hampir dua tahun di gereja membuatmu sering bangun ya, padahal dulu kau sulit sekali bangun sebelum ayahmu menggendong dan memasukkanmu kedalam bak mandi.” Bak mandi? Apa itu berarti Luis marah sampai melakukan hal itu? Tapi sepertinya Luis bukan tipikal laki-laki trempramental yang suka melakukan kekerasan pada anaknya, atau mungkin ia melakukan hal itu karena sudah terlalu siang untuk bangun. Seperti ibunya dulu yang sering mengiramnya dengan air hingga membuat tempat tidur basah, kadang jika tidak begitu maka ia akan langsung di seret padahal jarak antara ranjangnya dengan lantai hampir setengah meter. Bayangkan bagaimana sakitnya benturan tubuh dan wajahnya jika terkena lantai itu. “Makan sup ini dulu sebelum kau makan berat,” sambung Vina lagi sambil memberikan mangkuk sup yang berisi kuah, ayam, gingseng dan bahan lainnya yang Agras tak tahu namanya. Vina menyuguhkan itu juga kemarin saat dirinya baru datang kembali kerumah, rasanya campuran manis dan pahit, ditambah kuah yang segar dan ayam yang menggoda, ia pernah makan itu saat pergi ke Korea Selatan, saat itu Ayah dari Emili yang mengajaknya karena ada suatu pekerjaan. Saat itu perjalanan dari Eropa menuju Korea Selatan menyita waktu beberapa jam, ia tak tahu persisnya tapi yang pasti bokongnya sudah panas duduk di kursi pesawat dan kepalanya pening, meskipun yang ia tumpangi pesawat kelas bisni. Sesampainya di Korea, Ayah Emili malah mengajak liburan hingga ia menikmati sup gingseng segar, sedikit berbeda dengan yang dibuat Vina tapi keduanya sama-sama nikmat, apalagi dinikmati saat musim dingin. “Apa rasanya?” kini Vina bertanya sambil duduk di kursi depan Agras, tangannya menumpu wajah dan tersenyum. Agras melihat senyum itu manis sekali, bibirnya merah tidak tipis, wajahnya bersih tanpa jerawat dan sepertinya terawat dengan baik, rambutnya hitam legam yang diikat rapi setengah ikal. Luis beruntung sepertinya mendapatkan Vina yang begitu cantik. Bagaimana pun ia mengagumi Ibunya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. “Enak, segar dan juga hangat,” jawab Agras pelan karena kini mulutnya masih penuh dengan sendok sup yang terbuat dari gerabah bukan plastik atau aluminium. “Ayahmu juga suka sup itu,” kata Vina lagi. Ayahmu. Tiba-tiba Agras ingat Luis, sejak bangun tidur hingga ia hampir selesai makan ia tak melihat kemana perginya sang ayah. “Ayah tak ada di rumah, kemana?” tanya Agras menyadari hal itu. “Ayahmu pergi pekerja, setelah selesai makan antarkan makanan ini nanti pada ayahmu di gudang tempat pandai besi,” ujar Vina sambil menunjuk sebuah makanan yang sudah disusun dalam keranjang bekal, entah kapan Vina menaruh keranjang itu di atas meja. Mendengar perintah dari Vina, Agras pun mengangguk dan cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Ia makan cukup banyak, meskipun kata banyak itu tak seperti saat ia menjadi Richard dulu. Setelah selesai makan ia pun mengambil mantel sekarang lapis dua, kemudian membawa keranjang makanan itu dan berjalan keluar dari rumah. Dari bola matanya ia melihat Vina melambaikan tangan. Agras membawa keranjang yang sedikit berat itu dengan kedua tangannya, meskipun ia lupa di mana letak gudang pandai besi yang Vina maksud tapi entah mengapa kakinya berjalan sendiri seolah dengan jelas ia tahu tempat yang dituju. Kemungkinan otak Agras yang merespon keinginan itu untuk pergi. Dalam perjalanan ia melihat rumah-rumah penduduk yang berjarak cukup jauh satu sama lain, bahkan rumah Vina dengan tetangga yang paling dekat sekirar 50 sampai 100 meter. Meskipun jarak satu rumah dengan rumah lain  cukup jauh tapi desa tempatnya kini berada di terlihat sepi, ada anak-anak yang berkeliaran di jalanan, orang-orang yang keluar beraktivitas atau sekedar menggereser tumpukan salju yang menutupi jalanan. Hari itu memang salju tak turun, kemungkinan akan terjadi malam ataupun sore, meskipun begitu langit tetap saja sedikit gelap karena tertutup awan yang bahkan masih saja terus berarak. Mengerikan sekali. Cuacanya lebih menakutkan dari yang ada di desa ibunya dulu, padahal ia pikir di desa itu cuaca sudah begitu ekstrim tapi nyatanya di sini jauh lebih menakutkan. Orang yang biasa hidup di iklim tropis kemungkinan besar akan mati menggigil di sini, bahkan kemungkinan perekonomian di desa ini juga akan menjadi sedikit menurun karena orang-orang pastinya tak akan sanggup keluar dalam minggu-minggu musim dingin. Ia teringat apa yang dikatakan Paman Joe ketika mengeluh tentang kopi yang di minumnya pada suatu pagi pada musim dingin yang teramat dingin. Paman Joe mengatakan bahwa kopi import yang ia pesan sedikit mahal karena Brazil sedang mengalami musim hujan, entah benar atau tidak yang dikatakanya tapi yang pasti Richard tak suka kopi, ia lebih suka Alkohol, rasanya hangat dan getir. “Agras!” seru sebuah suara dari sebuah suara, ia mengindahkan dan melihat sumber suara itu. Seorang laki-laki melambaikan tangannya dan berjalan mendekati Agras, ia pun berhenti. “Kau mau pergi kemana?” “Mengantarkan makanan dari Ibu untuk Ayah,” kata Agras menjawab pertanyaan laki-laki itu, ia tak ingat siapa orang yang berlagak baik itu padanya. “Paman ini siapa?” Mendengar pertanyaan Agras, laki-laki itu mengerutkan keningnya yang membuat menyatu kedua alisnya seolah aneh dengan pertanyaan yang diajukan Agras itu. “Mungkin akibat sambaran petir dan lamanya kau di kota sampai lupa dengan pamanmu sendiri,” kata laki-laki itu. “Aku Liam, adik dari ayahmu Luis, lihat wajah kami mirip meskipun berbeda ayah.” Agras memperhatikan wajah Liam yang katanya adik dari ayahnya, memang begitu mirip hampir kembar tapi Liam jauh lebih muda. Bentuk wajah, rambut yang sedikit pirang, iris mata yang coklat dan tubuh mereka yang sama-sama tinggi besar. Jelas sekali mereka bersaudara meskipun katanya keduanya berbeda ayah, mungkin hanya satu ibu yang sama. Tidak heran dulu teman-temannya di sekolah juga begitu, hidup orang dewasa cukup rumit sampai satu pasangan kurang untuk dinikmati. “Sepertinya aku sedikit lupa Paman Liam, kata Ibu sambaran petir itu cukup kencang hingga aku banyak tak mengingat,” kata Agras, ia tak ingin membuat Pamannya sedikit sedih dengan kondisinya itu. “Betul sekali, saat kau tersambar petir yang besar sekali Paman saat itu ada di rumah, karena firasat Paman buruk akhirnya paman datang kearah sambaran petir itu, ternyata kau korbannya,” ucap Liam. Kemudian Liam pun mengatakan pada Agras untuk mengantarkannya kegudang tempat ayahnya bekerja sambil ia bercerita banyak hal tentang dirinya, ayahnya juga keluarga kecil mereka yang kadang tak begitu akrab, sambil Liam masih terus membicarakan apa yang terjadi padanya saat sambaran petir itu. Dua tahun lalu, saat siang yang teramat cerah, sampai-sampai awan seolah hilang dari peradaban, langit berwarna biru terang. Agras sedang bermain seperti biasa dengan teman-temannya, saat itulah tiba-tiba petir menyambar dengan ganas tapi hanya dirinya saja yang terkena, empat temannya yang ada bersama dengannya terpental beberapa meter. Ia dibawa pulang kerumah oleh penduduk sekitar, sesampainya di rumah Vina menyambut dengan tangis serta terus bertanya kenapa dan kenapa, Luis mencoba menenangkannya. Liam datang disaat bersamaan kedatangan Agras setelah tersambar petir. Anehnya setelah tersambar tubuhnya tak luka sedikitpun, leleh akibat tersiram air panas pun tidak, hanya saja Agras tak sadarkan diri. Berjam-jam hingga beberapa hari Agras pingsan, Vina dan Luis pasrah jika Agras mati, tapi ia kemudian bangun seolah tak terjadi apapun, tapi Liam mengatakan bahwa Vina khawatir karena setelah bangun Agras terlihat aneh dan seolah berbeda dari Agras sebelumnya. Itulah alasan mengapa Vina dan Luis meminta Agras masuk ke asrama gereja. Di cerita yang bersamaan itu Agras berpikir, kemungkinan saat dirinya tersambar petir saat itu juga jiwa Richard masuk kedalam raja Agras dan membuat jiwa pemilik tubuh itu menghilang. Jika benar begitu berarti efek samping pertukaran jiwa ternyata cukup menakutkan sampai membuat alam semesta berkuncang dengan dahsyatnya. “Jadi apa yang kau rasakan setelah bangun dari pingsan itu?” tanya Liam mengakhiri ceritanya. “Sepertinya saat itu aku hanya merasakan lapar saja,” ucap Agras, Liam tersenyum meskipun ia tahu bahwa mungkin bukan jawaban itu yang Liam inginkan. “Kau memang anak Luis, jawabanmu bukan apa yang kau pikirkan,” ujar Liam. Agras mulai berpikir semirip apa ia dengan Luis, karena sejak tadi Ibu dan juga pamannya mengatakan hal yang sama padanya. Dari rambut dan iris sama memang sama, tapi tubuhnya berbeda apa mungkin saat ini ia masih kecil, wajar saja ia masih sepuluh tahun. Tak berapa lama berjalan sambil mendengarkan Liam yang mengoceh, akhirnya mereka pun sampai dan Liam pun berlalu pergi entah kemana. Agras masuk kedalam gudang itu, begitu membuka pintu hawa panas langsung menyebar seketika dan membuat Agras sedikit berkeringat apalagi dengan dua mantel yang ia kenakan. Agras bejalan masuk kedalam, melewati tungku-tungku besar dengan bara api yang menyala-nyala terang panas, suara-suara berisik pukulan palu pada besi bersambutan di gendang telinganya, meskipun begitu ia tetap saja mencari Luis sambil terus memanjang lehernya. “Hei anak kecil mau cari apa?” tanya sebuah suara, Agras menatap pemilik sebuah suara itu yang ternyata dari laki-laki tinggi besar (gemuk), tak mengenakan baju hanya celana usang yang menempel di tubuhnya. “Aku mau mengantarkan makanan ini untuk Ayahku, Luis namanya,” kata Agras sambil sedikit menahan napas karena tiba-tiba ia mencium aroma keringat yang menyengat dari tubuh laki-laki gemuk itu. “Ah Luis, itu dia di sana.” Laki-laki itu menunjuk kearah Luis yang sedang memanaskan pedangnya. Agras mengucapkan terima kasih dan meninggalkan laki-laki itu untuk bisa bernapas dengan tenang. Kemudian ia sampai di dekat Luis, Luis menyadari kedatangan Agras tanpa bertanya apa yang Agras lakukan di sana Luis tahu dengan jelas. Sepertinya tak ada kata basa-basi dalam kamus Luis meskipun itu dengan anaknya sendiri, terkesan kaku, tapi setelah dipikir tidak juga. Luis memberikan besi yang sempat ia pegang tadi pada salah satu rekannya dan membawa Agras ketempat yang lebih jauh dari kumpulan tungku itu. Beberapa meter dari sana ia duduk di atas tumpukan kayu dan Agras pun menaruh keranjang makanan itu tak jauh dari Luis, ia pun duduk bersampingan. Luis membuka keranjang itu dan mengeluarkan isinya lalu memakannya dengan lahap. Tanpa menggunakan baju dan hanya bercelana panjang abu-abu ketat, keringat Luis meleleh bagaikan butiran jagung. Lelehan itu berliuk mengikuti garis yang dibuat bagus oleh ototnya. Badan Luis yang tinggi besar begitu gagah dan seolah itu hasil latihan gym seorang profesinal, tapi tidak mungkin. Jelas sekali bahwa kerja beratnya yang memahat otot layaknya patung Yunani itu. “Agras sudah makan?” tanya Luis disela-sela mulutnya yang penuh dengan makanan. “Sudah, sebelum pergi kesini,” jawab Agras seadanya. Sekitar sepuluh menit Luis yang menyelesaikan makannya, banyak sekali yang ia makan sampai seharusnya itu cukup untuk makan pagi dan siang. “Sebelum Agras datang kesini, Agras bertemu dengan Paman Liam, tapi ia kemudian pergi,” sambung Agras. “Biarkan saja, mungkin ia sedang bertemu dengan kekasihnya yang rumahnya tak jauh dari sini,” jawab Luis. Angras mengangguk, Liam kencan ternyata. “Ayah istirahat sebentar, Agras temani ayah di sini.” Agras kembali mengangguk, menemani Luis mungkin bukan satu hal yang salah meskipun ia tak tahu nantinya harus mengatakan apa jika Luis bertanya tentang Agras yang sebelumnya, semoga saja tak mengorek masa lalu yang bahkan ia tak ingat. “Bagaimana tinggal di asrama?” tanya Luis lagi. “Enak, uskup dan biarawatinya baik, teman-temannya juga baik, meskipun makanannya tak seenak masakan Ibu, tapi aku menikmatinya,” jawab Agras. “Nikmati ya, Ayah membayar pendidikanmu di gereja dengan sedikit mahal,” ucap Luis. Agras tertegun, ia pikir tinggal di gereja gratis, ternyata tidak. Kemudian Luis tak melanjutkan omongan itu, ia malah bercerita banyak hal mengapa ia menaruh Agras di gereja, semua itu karena ketakutan Vina sama seperti yang Liam katakan. Luis begitu menyayangi Agra dan Vina, ia tak ingin terjadi satu hal pada keluarga kecilnya karena itu akan membuatnya sedih. Agras bersimpati pada cerita Luis, ia yang dulu tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya kini saat  menjadi Agras ia mendapatkan kasih sayang yang tulus dari Luis. Mungkin salah satu kebahagian saat berpindah jiwa adalah saat ini dan merasakan ini. Agras pikir Luis kaku, tapi nyatanya Luis begitu baik dan peduli padanya. Ia kadang memang sedikit keras pada Agras, ia melakukan itu karena begitu sayang dan tak ingin Agras manja. Sama seperti yang dikatakan ibunya dulu sesaat setelah memarahinya. Sekitar hampir 30 menit Luis bercerita ia pun kembali bekerja, Agras juga pulang sambil membawa keranjang yang isinya sudah kosong itu. Di dalam perjalanan pulang ia melihat Liam dan seorang perempuan masuk kedalam sebuah rumah, jelas sekali itu bukan rumah milik Liam. Pikiran liar Agras mulai bergelayut, sepertinya Liam hendak bercocok tanam. Dulu ia juga sering melakukan itu dengan Emili, sepertinya itu sesuatu hal yang lumrah dan normal dilakukan dalam suatu hubungan, tak ada yang melarangnya apalagi sama-sama suka, tak ada paksaan sama sekali jadi hal itu pasti tak akan jadi masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD