09. Hari-hari yang Tak Sama Lagi

2473 Words
Menurut sebuah penelitian yang ia baca di internet dulu gingseng baik untuk menjaga vitalitas pria dan sebagai obat kuat alami, Agras pikir itu hanya sebuah mitos karena dulu ia tak menggunakan gingseng pun permainan dengan Emili selalu menggebu dan mengguncangkan seisi apartemen, tapi kini ia percaya. Suara teriakan dan erangan keras terdengar dari kamar sebelah yang tak lain milik Vina dan Luis, gingseng itu sepertinya bukan hanya menghangatkan tubuh Luis tapi juga menyulut nafsu agar begitu kencang, seperti mobil dengan gas 100km/perjam. Teriakan Vina yang kencang itu menganggu telinganya ia tak bisa tidur apalagi disaat salju kembali turun. Sial. Ia mengumpat dalam hati. Jika saat ini ia sebagai Richard mendengar persenggamaan kedua manusia itu pasti akan ada sesuatu yang tegang, tapi saat ini berbeda. Agras masih teramat kecil di rasuki nafsu pun belum, benda mungil di dalam celana longgarnya saja tak bereaksi apapun seolah tak bergerak. Namun, ia bersyukur, karena nanti jika benda itu berlagak tegak layaknya menara eifel di Paris, Prancis malah akan menimbulkan hal aneh, ia harus melakukan apa jika sampai benda itu bangun saat tubuhnya masih menjadi Agras saat seperti ini. Ia kini mencoba untuk memejamkan matanya mungkin Vina dan Luis berniat memberikannya adik selain itu agar rumah mereka tak sepi lagi. Agras mencoba terlelah kembali dalam tidurnya, sambil tak memperdulikan suara itu, seperti yang ia lakukan dulu saat suara-suara bising dari kamar-kamar sebelah di apartemennya kemudian esoknya pemilik kamar sebelah meninggal terjun dari lantai atas, mengerikan sekali, sepertinya masalah hidupnya begitu rumit. Dalam keadaan setengah bangun dan tidur, Agras seolah kembali masuk kedalam dunia putih dalam keadaan bertelanjang bulat lagi seperti saat pertama kali ia bertemu dengan si dewa. Saat ini tubuhnya menjadi Richard lagi, ia merindukan tubuh seksinya itu karena setelah lama ia berada di dalam tubuh anak kecil yang otot saja tak punya. “Hola!” seru sebuah suara, si cahaya putih yang mengaku dewa itu datang. “Kupikir kau pergi ke Hawai, bukankah harusnya Aloha?” tanya Richard. “Harusnya begitu, tapi karena aku sudah ketinggalan pesawat gara-gara kau saat itu jadi aku pergi ke Spanyol ada promo tiket dengan potongan hampir 30%, murah sekali bukan,” ucap si dewa menjelaskan perjalananya yang pergi ke Spanyol karena ketinggalan pesawat. “Pesawat Sky Airlane berkecamatan cahaya satu detik sampai.” “Hentikan ceritamu tentang Spanyol, aku sudah berulang kali kesana, semua tempat aku jelajahi termasuk adu dengan banteng bekasnya tanduknya masih ada di b****g, sekarang aku mau apa menemuiku kembali?” ucap Richard diakhir dengan pertanyaan yang menyebalkan. “Sabar, kita baru saja tak bertemu lima hari, aku harus mengatur jadwal ulangku untuk bekerja dan ini hari pertama,” ujar si dewa itu membuat Richard tiba-tiba saja kesal. “Hei, kau ini dewa bukan pekerja kantoran, atau dewa itu pekerjaanmu? Dan aku sudah berada di dunia itu selama dua tahun, bagaimana mungkin kau bisa bilang lima hari,” kata Richard dengan kesalnya. Hidupnya di dunia antah berantah itu sudah lebih dari dua tahuan tanpa ponsel, video game, televisi, komik dan juga n****+, tapi si dewa itu malah mengatakan hanya lima hari, waktu mana yang dewa itu gunakan. “Dua tahun? Lama juga ternyata, tapi aku berlibur tiga hari tiga malam, dua hari aku beristirahat dan hari ini baru kembali lagi, sepertinya rotasi waktu di dunia itu terlalu cepat,” ujar dewa itu lagi yang masih saja membuat Richard kesal. “Jangan memasang wajah kesal, bisa saja aku mengembalikanmu ketubuh hewan, babi misalnya.” “Memang kau bisa?” tanya Richard memastikan sambil ia merubah air wajahnya. “Tidak juga. Kau pikir aku ini apa,” ucap dewa itu. “Kau bilang sendiri kau itu dewa, dalam artian kau bisa membuat yang tidak ada menjadi ada dan sebaliknya,” kata Richard. “Ngawur sekali, aku tidak bisa melakukan hal itu.” “Sudah lah, aku tidak peduli kau bisa melakukan itu atau tidak, yang pasti katakan apa yang aku lakukan saat ini di sini, aku tadi hanya ingin tidur setelah mendengarkan Vin dan Luis melakukan hubungan intim,” papar Richard kembali membuat air wajahnya nampak kesal. “Itulah gunanya aku datang,” ucap santai si dewa. “Bercanda, aku hanya ingin memberitahumu bahwa Atasanku bilang takdirmu yang menyeramkan sudah ditentukan, aku akan mengalami nasib yang cukup sial juga beruntung. Saranku gunakan apa yang telah kau pelajari saat masih menjadi Richard.” Richard mengehuskan napas beratnya. Ia tak tahu maksud takdir menyeramkan itu apa, tapi mengingat hidupnya kini berbeda sepertinya ia akan mengalami nasib yang tak begitu baik. Ia sudah menerimanya sejak lama sejak berada di dunia itu, ia sendiri yakin bahwa tak mungkin bisa kembali karena itu terkesan mustahil maka dari itu menerima dan menjalani adalah hal yang paling baik dari pada mengeluh. “Jangan mengeluh begitu, aku akan memberikanmu kekuatan yang cukup besar dan luar biasa setelah kau kembali, kekuatan itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu,” sambung si dewa. “Apa aku bisa memiliki sihir seperti yang ada di komik dan film-film fantasi?” tanya Richard antusias. “Mungkin bisa dibilang begitu, tapi jangan pikirkan sihir seperti penyihir putih atau Harry Potter, bayangkan saja seperti pesulap misalnya,” ujar si dewa. “Itu bukan sihir kau tahu, itu trik, tipuan atau apapun itu sebutannya,” kata Richard. “Tapi setidaknya hidupku tak akan semembosankan itu lagi.” “Nah itu bagus, kau harus optimis, lanjutkan hidupmu yang baru, aku akan mengunjungimu lima hari lagi berarti dua tahun lagi di duniamu, adios (selamat tinggal).” Si dewa itu berlalu pergi. Tak berapa lama Richard kembali menjadi Agras dan tanpa sadar ia pun terbangun dari tidurnya karena pagi sudah menjelang, suara teriakan Vina dan desahan Luis tak terdengar lagi, sepertinya apa yang dikatakan si dewa itu benar juga, ia bisa tidur nyenyak. Seperti hari-hari biasanya ia bangun pagi dan langsung sarapan tanpa mandi. Ketika sarapan di sana sudah ada Luis dan Vina, hari ini Luis tak pergi bekerja karena salju turun dari malam hari dengan lebatnya sampai-sampai jalanan terutup dengan benda-benda putih dingin itu. Agras menggunakan mantelnya untuk menghangatkan tubuhnya meskipun Luis sudah menyala api tapi ia tetap saja memakai pakaian itu, agar panas tak mencekam masuk dengan paksa menembus kulitnya dan mencapai tulang belulangnya, pasti sangat ngilu jika sampai itu terjadi. Pagi ini meskipun udara dingin dan salju turun, tiba terasa sangat cerah dan tenang, apa itu karena wajah Luis dan Vina, sepertinya mereka bahagia, mungkin permainan mereka tadi malam yang membuat keduanya terus menyungging wajah berseri. Dulu ia juga, setelah Emili dan dirinya berhubungan, ia jadi semangat menjalani kehidupan dan berangkat kerja dengan baik, ia tersenyum terus pada siapapun termasuk tukang sapu di jalanan, tapi itu tak bertahan lama sampai dua hari kemudian ia ingin melakukannya lagi dan Emili tak bisa memberikannya. *** Hari berganti begitu cepat, tak terasa musim dingin selesai dengan indahnya. Musim berganti semi, salju mencair, cahaya matahari kembali terlihat, bunga serta tumbuhan kembali merasakan hidup. Hewan-hewan yang berhibernasi juga menampakkan kembali wujudknya. Agras membuka jendela, menghirup udara pagi yang harum dan segar. Aroma pepohonan desa yang masih asri. “Agras turun!” seru Vina dari bawah, Agras memandangnya saat itu Vina bersama dengan Luis. “Ikut Ayah dan Ibu, hari ini ada festival musim sepi di tengah kota.” Agras mengangguk dan berjalan turun dari kamarnya, lalu keluar dari pintu dan langsung menyerbu punggung Luis, ia meminta gendongan di sana. “Tubuhnya sedikit berat,” eluh Luis tapi tetap saja menggendong Agras yang terlihat bahagia. Bertiganya pun berjalan dengan santainya pergi dari rumah. Vina mengatakan bahwa ada festival yang diakan setiap musim semi tiba, selain pesta rakyat festival itu dilakukan untuk merayakan ulang tahun desa dan mengirim doa untuk keselataman diri. Biasanya festival diadakan sampai tujuh hari dari pagi hingga malam dengan acara puncak pesta kembang api. Seperti tahun baru. “Apa di festival nanti banyak bazar makanan?” tanya Agras. “Tentu, kau bisa mendapatkan banyak makanan nanti di sana, Ibu akan memberikanmu uang, kau bisa melakukan apapun dengan uang itu asal jangan berjudi,” ujar Vina terkekeh, lagi pula anak sekecil apa yang melakukan judi. “Aku tidak bisa berjudi,” ucap Agras. “Ayah bisa membantumu, Ayah ini pandai bermain juga,” kata Luis yang membuat air wajah Vina berubah. “Kau hampir saja menjual rumah karena kalah berjudi, ingat itu,” gerutu Vina. Kemudian Vina menceritakan pada Agras seolah dulu tak pernah menceritakannya. Sebelum mereka menikah, bertemuan singkat adalah waktunya, setelah satu bulan berkenalan Vina dan Luis pun melangsungkan pernikahan, sederhana tapi hikmat. Saat itu usia mereka sama-sama 25 tahun, masih cukup muda. Pada awal-awal pernikahan semuanya berjalan dengan bahagia dan tak ada yang berbeda, tapi kemudian semuanya berubah saat Vina tahu bahwa Luis sering bermain judi dan akhirnya menjual banyak barang di rumah hingga bangunannya pun hampir terjual. Vina marah bukan kepalang dan ingin meninggalkan Luis sendiri padahal saat itu Vina tengah mengandung Agras. Takut ditinggal Vina, Luis pun memohon dan berjanji akan berubah, sejak saat itu hingga lahirnya Agras kedunia Luis tak lagi berjudi dan ia pun bekerja sebagai seorang pandai besi yang berarti kurang lebih sepuluh tahun. Dibalik sosok Luis yang gagah dan bertanggungjawab ternyata ada masa lalu yang cukup suram dan menjengkal. Setiap manusia memang memiliki masa lalu yang tak baik, tapi masa lalu itu bisa saja berubah tergantung bagaimana mereka mau merubahnya, jika tidak ada perubahan maka tak akan ada pilihan lain selain ditinggalkan. Mungkin itu yang ibunya dulu pikirkan. Ibunya perempuan yang kuat, saat menyadari bahwa laki-laki yang tak ingin ia sebut ayah tak mau bertanggungjawab atas dirinya dan sang ibu, ibunya mulai berpikir untuk melupakan dan menopang berdua kehidupannya. Lalu saat hidupnya sudah tenang laki-laki itu kembali datang seolah tak pernah terjadi masalah apapun, seolah tak ada lagi hati yang terluka. Sebagai seorang yang juga laki-laki ia merasa geram dan kesal, ia tak ingin menjadi seperti laki-laki itu, maka setelah mendapatkan Emili ia tak ingin menyakitinya lagi ataupun meninggalkannya karena ia begitu menyakiti Emili tak ada perempuan lain, tapi sepertinya kini ia meninggalkan Emili bukan karena perempuan lain namun sebab waktu yang sudah habis. “Itu artinya Ayah payah dalam berjudi,” ejek Agras pada Luis. “Saat itu Ayah hanya tak beruntung saja, makanya Ayah kalah. Coba saja kalau saat itu ibumu membolehan ayah menjual rumah sekaligus tambahan berjudi pasti ayah menang dan kita bisa hidup enak di kota,” ucap Luis seolah membanggakan dirinya padahal sangat jelas ia tak bisa berjudi. “Meragukan.” Agras terus saja mengejek Luis. Ketiganya terus saja berjalan menuju festival, saat dalam perjalanan mereka bertemu dengan Liam yang saat itu bersama dengan seorang perempuan, itu adalah kekasihnya, seorang perempuan yang beberapa minggu lalu ia lihat masuk kedalam rumah yang sama dengan Liam. Liam dan perempuan yang bernama Azus itu melakukan pernikah seminggu sebelum musim dingin berakhir, pernikahan sederhana yang dilakukan sebagai simbolin agar keduanya terikat secara sah. Agras menghadiri pernikahan itu dengan cukup senang dan bahagia, ia memang suka melihat orang menikah meskipun ia sendiri saat menjadi Richard belum sampai melakukan pernikahan. Emili adalah tipikal perempuan yang tak banyak menuntut, ia tak ingin terburu-buru menikah jika memang belum waktunya, karena menurut Emili menikah adalah sesuatu hal yang sakral yang tak bisa dilakukan secara tergesa-gesa dan begitu saja. Emili memiliki pikiran terbuka selayaknya perempuan modern, karen menurutnya menikah bukan hanya sekedar resepsi mewah tapi juga memikirkan apa yang terjadi setelah pernikahan itu. Jika untuk sekedar resepsi dan dekorasi pernikahan, mereka bisa membuatnya jauh lebih mewah dan ayahnya bisa menciptakan pernikahan layaknya negeri dongeng, tapi menurut Emili dalam pernikahan yang perlu dipersiapkan adalah mental bukan hanya fisik. Mau setua apa umur mereka jika mental tak kuat maka tak ada harapan yang bisa dilakukan, selain menunggu siap. Dari situlah Richard merasa beruntung mendapatkan Emili, ia sangat bahagia hingga tak sadar bahwa menganggap Emili adalah segalanya dalam hidupnya setelah ibunya. Ia pernah berpikir tak bisa hidup tanpa Emili dan ibunya meskipun keduanya cukup cerewet untuknya. Namun, meskipun mereka cerewet hari-harinya indah karena itu karena omelan mereka setiap hari. Ibunya yang mengomelinya untuk tetap hidup di smabungan telephone sedangkan Emili mengomelinya jika ia bangun terlalu siang dan malas-malasan untuk berangkat bekerja. *** Tak berapa lama mereka pun sampai di tempat festival. Agras turun dari gendongan Luis dan mulai terkagum dengan festival itu, ia tak melihat sesuatu yang lebih meriah dari itu selama di sana dua tahun lebih. Saking meriahnya seolah ia berpikir bahwa semua penduduk desa itu tumpah semuanya. Vina kemudian memberikannya uang untuk membeli apa yang ia mau dan membiarkan ia untuk berkeliling melihat festival itu, jika ia ingin menemui atau ibunya hanya perlu kembali ketempat semula. Agras paham itu meskipun tak dikatakan begitupun ia pasti akan mencari kemana orangtuanya berada, ia juga bisa pulang sendiri kerumah, ia hapal jalannya. “Jangan terlalu makan banyak yang manis,” pesan Vina sesaat sebelum Agras pergi. Agras mengangguk paham dan kemudian ia pun pergi pergi dari sana, menjelajahi festival indah itu yang mirip seorang diri. Tak akan terjadi hal yang buruk padanya, tubuhnya memang kecil tapi jiwanya laki-laki berusia 30 tahun. Meskipun ia disakiti ia masih bisa melawan dan mencari pertolong, tidak seperti anak kecil yang ketakutan. Banyak sekali orang berjualan di sana, dari mulai makanan, pernak-pernik, kain, gerbah, dan banyak lagi, ia ingin membeli sesuatu meskipun ia tak tahu dengan uang itu ia bisa membeli apa dan dapat berapa, karena itu bukan dollar atau Euro jadi ia tak bisa menebak nominalnya. Lagi pula itu koin emas dan perak, tak ada uang kertas di sana. Tempat pertama yang Agras tuju adalah kedai makanan, ia ingin membeli sesuatu makanan ataupun cemilan, mungkin sejenis creps atau ice cream meksipun itu terlihat aneh jika mengingat di mana ia sekarang. Kemudian ia melihat mirip creps, awalnya ia pikir lembut dan manis, tapi ternyata rasanya sedikit asam  dan aneh bagi mulutnya. “Makanan itu namanya Leka (Makanan manis suguhan dewa),” ujar pemilik kedai saat ia tahu Agras merasa tak nyaman memakan makanan itu. Agras mengerutkan keningnya, meskipun namanya dalam bahasa Lotren ia tahu jelas artinya. Nama dan rasa tak sesuai seolah keduanya bertolak belakang seperti langit dan bumi. “Nama dengan rasanya tidak sama,” celetuk Agras. Pemilik kedai itu sedikit terkejut karena mungkin Agras paham dengan bahasa Lotren, tapi Agras tak peduli ia berlalu pergi dari sana dengan sedikit demi sedikit menghabiskan makanan itu. Agras terus saja berkeliling tempat itu sampai dirinya sendiri lelah dan memutuskan kembali ketempat semula di mana mungkin orangtuanya sudah menunggu. Ternyata pikirannya benar Luis dan Vina sudah menunggu, mereka pun akhirnya pulang meninggalkan tempat festival meksipun tanpa Liam dan Azus. Karena mungkin ketiganya sudah kelelahan dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara, sampai di rumah pun begitu. Agras tertidur dalam gendongan Luis, sesampainya di rumah Luis menaruhnya di tempat tidur langsung. Musim dingin telah usai, berganti musim semi, saat itu juga waktunya di sana sudah selesai. Agras harus kembali ke gereja untuk menentukan hidupnya lagi. Ia meninggalkan Ayah, Ibu dan calon adiknya yang dikandung. Ia berharap ketika kembali ada babak baru dalam hidupnya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD