7. Pernikahan Tanpa Cinta

1626 Words
"Anda sesuka itu dengan tubuh saya, Nirwana?" Yang sedang ditatap penuh minat, tubuh Barat, baru selesai berpakaian tadi. Dia bersetelan kaus pas badan, celana panjang levis, tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Well, Nirwana senyum segaris. "Di otak aku udah kebayang nanti mau bikin jas macam apa, tuksedo warna apa, dan kemeja yang next lengannya digulung sampai siku, terus potret dan sebarkan di media sosial toko online aku," katanya, "badan kamu perfect banget, Barat." Oh, begitu? Nirwana terang-terangan menatap, kali ini tidak nakal hingga tergelincir bola matanya di sesuatu yang tadi agak menonjol saat masih berbalut handuk. Ehm. Barat baru selesai menyisir rambut. Bicara soal tonjol-menonjol, Nirwana sempat memerah pipinya, tetapi syukur Barat lebih dulu membuat tubuhnya berbalik hingga bisa menetralkan ekspresi berikut detak jantungnya yang kebat-kebit. Sampai dirasa Barat selesai berpakaian, baru Nirwana menoleh dan betul saja ... dia terpesona oleh tubuh lelaki itu. Sempurna. Sangat pas dengan kariernya yang menjual berbagai jenis pakaian, termasuk baju-baju pria. Pun, Nirwana bisa mendesain sendiri pakaian tersebut, betapa tepatnya Tuhan membuat rencana. Ternyata jauh lebih indah dari apa yang pernah Nirwana rencanakan untuk kisah asmaranya dengan Topan. Dia mendapatkan Barat yang begini sosoknya .... Ah, itu sudah berlalu. Eh, bicara-bicara .... "Tadi ibu bilang, udah pada sarapan. Apa kamu juga udah?" Barat lantas mengangguk, membuat mata Nirwana memicing. "Tidur Anda terlalu nyenyak, saya nggak tega bangunin," ucapnya, "tapi jangan khawatir, masih ada waktu. Mau saya temani sarapannya?" Saya. Anda. Saya. Anda. Entah kenapa, Nirwana malah gagal fokus ke sana. Dia masih setia menatap Barat dengan mata memicing. "Ayo!" Kiranya, Nirwana diam sedang menunggu juluran tangan, eh, tetapi justru juluran lengan Barat diabaikan. Nirwana malah bilang, "Apa nggak sebaiknya kita mulai dibiasain buat bicara nonformal? Santai aja. Selain itu, lumayan, biar kayak suami istri beneran." Dan .... Nirwana maju selangkah. "Biar nggak ribet juga." Sebab selama ini yang Nirwana perhatikan, sejak beres akad, Barat tetap bicara formal padanya, apalagi kalau sedang berdua, tetapi di sisi lain ... Barat seketika jadi informal tepatnya saat sedang ada pihak ketiga, khususnya keluarga. Padahal ... Nirwana bahkan sudah mengubah saya menjadi aku semenjak hatinya klik sama cowok itu. Uh! "Oke." Barat buka suara. "Kalau Anda memaksa." So, Nirwana kerlingkan bola mata, sedang Barat terkekeh di sana. *** Akhirnya, kembali ke Jakarta setelah terjadi drama seorang ibu tunggal yang inginnya ditemani anak di rumah, satu hal yang menambah rasa tidak suka ibunda Barat terhadap Nirwana, gadis itu asal ibu kota, yang artinya Barat malah jadi ikut tinggal di sana, tidak di sini, di Bandung, bersama gerangan saja. Andai Barat menikahnya dengan Ayumi .... Ya, begitulah. Nirwana mendengar langsung keluhan-keluhan beliau, yang Barat berikan pengertian berselubung teguran dengan lembut, tetapi tidak berefek. Tak apa. Nirwana hanya diam saja. Namun, jangan salah, ya. Diamnya dia adalah sedang menjadi pengamat, kelak harus dia hadapi dengan cara yang bagaimana. Barbar, lemah lembut, atau .... "Jangan diambil hati omongan ibu saya, ya?" "Aku." Barat menoleh. "Bukan saya, aku." Ah, iya. Barat belum terbiasa. Well, dia sedang mengemudi. "Iya, maafkan tutur kata ibu ... aku." Bahkan jakunnya sampai harus naik-turun dulu. Sekaku itu? "Tapi omongan aku bener, kan? Ibu kamu nggak suka sama aku." Nirwana menegaskan kembali apa yang dia ucap saat di kamar, yang Barat alihkan. Kini cowok itu tampak menoleh sekilas. Tidak menjawab. Nirwana pun memilih diam. Suasana hening seketika, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun, satu hal yang pasti. "Kamu bener-bener bukan saudara dari yang punya Jaya Group? Anak? Atau--" "Kenapa tiba-tiba bahas itu?" Yang sebetulnya saat Nirwana pertama kali masuk ke perusahaan tersebut, pulang-pulang dia langsung menembak Barat dengan pertanyaan: "Kamu siapanya Bapak Jaya Group? Kok, sama-sama punya nama belakang Dhanandjaya?" Saat ini, ditatapnya Barat dengan saksama. Nirwana mencari jawaban atas segala tanyanya. Namun, raut dan gerak-gerik Barat tidak ada beda, tampak santai dan datar-datar saja. "Ya, karena ... siapa tahu nama belakang kalian bukan sekadar kebetulan. Kamu juga bilang pas sebelum kita menikah, ayah berikut keluarga dari beliau nggak ada yang bisa datang karena kamu menghargai ibu yang nggak suka sama mereka, kan? Jadi bahkan nggak diundang. Mungkin ...." Nirwana menggantung tutur katanya. "Karena aku karyawan Jaya Group, ibu kamu nggak suka." Barat mengatupkan rapat-rapat bibirnya. "Am I rigt, Barat?" Oh, tak terasa ... mereka pun tiba di halaman rumah Nirwana. Barat masih saja diam, Nirwana gemas karenanya. Yang lalu dia lepas sabuk pengaman, detik berikutnya tanpa Barat duga, Nirwana menarik kerah kaus Barat. Jelas saja, sengaja agar Barat berfokus padanya, dengan wajah mereka yang begitu dekat saat ini, Nirwana pun mencondongkan badan, dia betul-betul menarik sekuat tenaga kerah kaus yang Barat kenakan. Sangat dekat. Dari jarak itu, Barat bisa melihat bulu mata Nirwana yang lentik, anak-anak rambut yang manis, juga-- "Iya apa nggak?" Fokus Barat jatuh di bibir yang baru saja bergerak. "Ya." Oh, oke. Nirwana lepaskan cekalan dari kaus Barat. Ampun, deh. Buat bilang iya atau tidak saja mesti banget membuat Nirwana bertindak seperti itu dulu. "Karena kamu pegawai Jaya Group, ibu jadi nggak suka. Mengingat Jaya Group adalah perusahaan bergengsi dan--" "Anak keberapa?" pangkas Nirwana. Mereka bertatapan. "Kali ini ... kasih tau aku semuanya." Yang lalu Nirwana julurkan tangan, dia elus bekas cengkeraman barusan di kerah kaus tersebut, merapikan. "Ayo, kita selesaikan di kamar." *** Dulu. Ada kisah di sebelum Nirwana putuskan untuk menikah dengan Barat Dhanandjaya. Saat di mana dia diterima untuk interviu dalam sebuah perusahaan seelite Jaya Group, selepas berkas lamarannya dikirim. Hari itu. "Saya mau interviu kerja, kamu nggak usah ngintil kali ini, ya?" Teruntuk Barat, sambil memasang sepatu hak tinggi di kakinya. Nirwana sempurnakan penampilan, yang kata orang ... dia adalah wanita paling cantik di keluarga Semesta. Catat baik-baik, paling cantik dari semua anak plus menantu Papi Alamnya. "Tidak bisa, saya harus tetap menemani Anda." Astaga. Dulu. Nirwana lantas mendelik. "Saya akan tetap berada di mobil selama Anda sibuk dengan urusan Anda. Jangan khawatir, saya tidak akan merusak hari Anda." "Awas kalau sampai gara-gara ini, saya nggak diterima kerja!" tukasnya. "Ya udah, cepet!" Barat pun bergegas dengan outfit-nya, kemudian ambil kunci mobil, dan mereka pun melenggang menuju tempat di mana Nirwana sebutkan .... "Perusahaan Jaya Group." Dengan bangga dan sombongnya. Tanpa melihat perubahan ekspresi Barat di sana. "Kamu tahu? Nggak sedikit yang pengin gabung di perusahaan itu. Lulusan universitas di bidang fashion dan desain selalu bercita-cita bisa tembus ke Jaya Group. Di negara kita ini, perusahaan itu sangat bergengsi." Sepanjang jalan menuju ke sana, Nirwana menjelaskan. "Persaingannya ketat, jenjang karier di sana juga sangat menjanjikan, udah lama saya pengin masuk ke situ ...." Barat tetap lurus menatap jalanan di depan. Dengan pikiran jauh menerawang. "Rata-rata orang keluaran Jaya Group, mereka kalau nggak punya bisnis sendiri, semacam butik, ya, gampang nyari kerjaan lainnya nanti." Senyum manis tercetak di sudut bibir Nirwana. Jaya Group akan menjadi batu loncatannya untuk karier yang dia miliki saat ini. "Oh, iya ... bicara soal Jaya Group, saya sempet searching profil perusahaannya semalam." Yang Nirwana tolehkan pandangan, menatap sosok Barat di sisinya. "Kita sudah sampai." Seiring dengan hentinya laju kendaraan mereka, Barat memberi tahu. Dan ... Nirwana tegaskan, "Kita lanjut obrolan tadi setelah saya interviu." Hari itu. Nirwana berlalu, sedang Barat tetap dalam mobil. Tahu? Jaya Group. Perihal itu, rupanya betul-betul dibahas bahkan setelah beberapa jam berlalu, yang Barat kira ucapan Nirwana di mobil sebelum turun itu hanya angin lalu, sebab ketika makan siang dengannya sepulang dari sana saat ini ... makan siang yang terlambat. Sore itu. "Batara Dhanandjaya ... kamu siapanya bapak itu, Barat?" Yang mana saat ini, saat setelah menikah, bila dulu Barat mampu mengalihkan fokus Nirwana dengan jawaban 'hanya sebuah kebetulan, bukankah ada banyak nama orang serupa di buminya manusia?' Barat juga dulu bilang, "Dengan saya yang seperti ini, dan pemilik Jaya Group itu, apa masuk akal kalau kami seperti apa yang Anda pikirkan, Nirwana?" Masuk akal. Dulu Nirwana belum tahu siapa Barat, alias hanya tahu bahwa dia adalah Barat Dhanandjaya, laki-laki pilihan papi untuk menjadi pengawal pribadinya, penampilan Barat juga tidak menunjukkan dia lahir dari keluarga elite. Namun, seiring waktu .... Sekarang Nirwana tahu bahwa orang tua Barat bercerai, Barat ikut dengan ibunya, lalu Nirwana melihat langsung wujud dari Batara Dhanandjaya--pernah berpapasan di Jaya Group--juga turunannya, yang saat itu dikenalkan sebagai calon penerus baru Jaya Group. Melihat mereka, Nirwana langsung teringat dengan Barat. Apakah ada manusia yang mirip wajah, bahasa tubuh, hingga nama belakang mereka secara kebetulan macam apa yang Barat sebutkan? Lama Nirwana memendam hasil pemikirannya, tetapi sekarang dia rasa sudah sepatutnya dibicarakan. Detail. Sampai Barat membuka mulut dan bilang, "Ayah saya." Oh, oke. Gantian, Nirwana yang bungkam. Dengan sorotan mata keduanya yang saling bersinggungan. Barat ucapkan, "Tapi maaf ... saya bukan bagian Jaya Group. Dan tidak akan pernah menjadi bagiannya." Di atas ranjang yang sama, duduk di tepinya, berhadapan ... Nirwana lekat-lekat menatap Barat di sana. "Barat." Tak membiarkan sosok itu memalingkan wajah darinya. Nirwana panggil dan katakan, "Apa sesusah itu buat ngomong informal sama aku?" Barat bergeming. "Pernikahan kita nggak berlandaskan cinta memang. Tapi, Barat ... aku serius soal ini. Menikah. Menurut kamu ... gimana, sih, suami-istri dalam pernikahan pada umumnya?" Masih tetap geming. Yeah ... dari sekian banyak hal Nirwana menginginkan Barat, pernyataan cinta adalah hal paling akhir yang akan Nirwana akui, jika dan hanya jika Barat merasakan hal yang sama, pun mengucapkan lebih dulu daripadanya. Jadi, harap dimaklum bila agak berbelit. Nirwana memang sedang berkelit. Dia menginginkan Barat, tetapi tidak ingin perasaan cintanya terbaca. Namun, dia sungguh menginginkan pria ini ... dengan caranya. Barat julurkan tangan, dia sentuh sisi wajah Nirwana. "Pernikahan pada umumnya?" Dingin. Telapak tangan Barat sedingin perangainya. Nirwana pun meraih tangan itu, lalu dia kecup. Telapak tangan Barat. Percayalah, Barat terkesiap. Yang Nirwana katakan, "Ayo kita bikin a loveless marriage kita ini, jadi pernikahan yang setidaknya sama-sama kita inginkan." Lekat mata Barat menatap. "Aku udah," bisik Nirwana. Ada jantung yang berdetak sangat kencang seiring detik jarum jam bergulir. Tahu, kan, jantungnya siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD