8. Sepaket dengan Ibunya

2071 Words
Dulu. Jauh dari waktu saat ini, tepatnya ketika Barat masih hidup di Bandung, masih belum menemukan pekerjaan dengan gaji sefantastis yang dia temukan di kemudian hari, dia hanyalah seorang karyawan biasa dalam sebuah CV. Barat tinggal bersama ibunya, juga Ayumi yang merupakan peneman ibu Barat selagi putra beliau ini sibuk bekerja yang kadang lembur juga. Ibu tidak pernah menuntut gaji besar padanya, tetapi Barat punya keinginan sendiri untuk melampaui orang-orang yang sudah ibu tinggalkan. Namun, Barat terlampau sadar bila itu tidaklah mungkin. Batara Dhanandjaya, ayahnya, si pemilik Jaya Group ... mana bisa Barat langkahi. Sampai akhirnya, Barat menemukan sebuah iklan lowongan kerja di media sosial bersponsor. Lokasinya di Jakarta, gaji tinggi, fasilitas memadai, berikut segala jenis tunjangan dan bonus, tetapi .... "Kalau keterima, kamu harus tinggal di sini. Apa nggak masalah? Saya lihat di surat lamaran, kamu domisili Bandung, ya?" Begitu hari itu, Barat interviu. Rupanya dia mengirimkan berkas lamarannya ke sana. Sampai-sampai Barat izin ada acara keluarga ke HRD di kantornya. Yeah, tak patut. Namun, sering terjadi, kan? "Tidak apa-apa. Saya tidak masalah untuk itu," sahut Barat. Di depannya, Bapak Alam Semesta tampak manggut-manggut. Barat mengenakan celana kain hitam dan kemeja putih yang ternyata pas badan. Sekilas Barat melihat, tampaknya Bapak Alam punya nilai plus terhadap tubuh Barat yang memang seolah didesain khusus untuk posisi pekerjaan yang dilamarnya, alias pengawal pribadi. "Oke. Sebelumnya, biar saya ceritakan dulu apa tugas dari jabatan ini." Bapak Alam berdeham. "Saya punya putri dan dia satu-satunya anak perempuan saya, tapi ...." Barat menyimak dengan saksama, tatapannya tidak lepas dari seraut wajah Alam Semesta. "Bukan gila, ya. Hanya agak istimewa saja. Dia punya ketertarikan yang berlebihan terhadap sesuatu hal yang disukai." Begitu katanya. Nirwana. Beliau sebutkan namanya. Putri Alam Semesta yang jatuh cinta kepada keponakan sendiri, garis keturunan yang tidak wajar dicintai, apalagi sampai seberlebihan itu. Kata Bapak Alam, "Kamu cukup mengikuti ke mana pun dia pergi, awasi, dan laporkan segalanya kepada saya. Terus begitu kalau bisa sampai Nirwana merasa risi, biar kerasa hukumannya. Harapan saya, Nirwana kapok sama perasaan cintanya itu kepada Topan. Oh, ya, itu nama cucu saya yang Nirwana cintai. Tapi ngomong-ngomong, tugas ini berlaku kalau kamu keterima kerja di sini. Dan ...." Satu hal yang pasti, Barat menatap selembar kertas tersodor padanya, sebuah surat resmi bermaterai. "Silakan tanda tangani, surat ini berisi apa yang kamu dengar tadi akan kamu jaga untuk diri sendiri, terlepas dari diterima atau tidaknya kamu di sini. Silakan." Ya, dulu. "Oke, nanti saya kabari lusa. Sebaiknya kamu jangan pulang ke Bandung dulu sampai hari itu, ini saran saja." "Baik, terima kasih, Pak." Interviu selesai, hingga lusa yang dikatakan tiba juga. Barat sampai harus menginap di hotel termurah daerah sana, untungnya dia punya tabungan yang cukup. Oh, benar. Barat diterima. Yang hari itu juga, Barat akan dikenalkan kepada sosok perempuan yang akan dia jaga. Nirwana Lintang Semesta. Yang saat ini bilang, "Ayo kita bikin a loveless marriage kita ini, jadi pernikahan yang setidaknya sama-sama kita inginkan." Lekat mata Barat menatap. "Aku udah," bisik Nirwana. Ah ... haruskah? Sebuah keseriusan yang sudah sepatutnya ada dalam seutas ikatan pernikahan. Barat balas dengan senyuman, pun dengan sebuah kecupan di kening, hal yang Barat rasa ... Nirwana terkesiap. *** Gila. Nirwana tidak bisa menarasikan dengan gamblang keadaan ini. Tentang Barat Dhanandjaya. "Karena udah suami-istri, ke mana pun aku pergi udah nggak diikutin lagi, kan?" Sambil menyuap hidangan di meja, makan malam bersama Barat tentunya. Bi Sum yang menyiapkan, beliau entah sedang di mana. "Oh. Itu tujuan lain dari pernikahan kita?" Nirwana pelankan kunyahannya. Tampak di depannya, Barat menatap lugu. "Maksud aku, kamu udah jadi suami, udah bukan pengawal aku lagi. I mean ... kamu nggak mau ambil peran itu?" Mengernyitlah kening Barat. Ah, paham. "Kamu bilang, kan, sudah kaya, nggak masalah nikah sama orang yang nggak punya apa-apa kayak saya ini." Dibubuhi smirk yang tampak menyebalkan di mata Nirwana, Barat rampungkan, "Jadi, biarkan saya mengikuti ke mana pun kamu pergi, yang itu berarti saya nggak kerja, nggak cari uang, barangkali maksud kamu tadi adalah peran suami yang menafkahi istri." Hell. Nirwana kontan hentikan kunyahan. Menatap Barat dalam geming. Selain kata 'saya', isi kalimat Barat juga terdengar tidak sopan di telinga. Aduh .... Tapi Barat nggak salah, kan? Yang sedang menahan diri agar tidak tertawa. Namun, tak lama. Barat ucapkan, "Makanya dipikir dulu kalau mau bicara, Nirwana. Pertama, soal kamu yang menyukai tubuh saya. Kedua, itu bahkan menjadi alasan kamu menginginkan saya, mengajak menikah dengan itu. Ketiga, tentang kamu yang punya segalanya dan bisa menutupi full perekonomian andai kita hidup bersama. Yang kamu bilang cocok itu." Ingat? Nirwana pernah bilang begitu di hari dia mengajak Barat menikah. Ah, iya .... Tanpa sadar, Nirwana menggigit lidahnya. Kelu. Barat katakan lagi, "Apa kabar kalau saya punya niat jahat ke kamu gara-gara itu?" Oh, dinasihati. "Habis kamu nanti," imbuh Barat, santai dan tidak meninggikan intonasi. Nirwana berdecak dalam hati. Dia bodoh sekali. "Habiskan itu makannya, jangan cuma diliatin." Tatapan Nirwana auto terarah ke Barat. "Aduh ... kenyang, nih, kamu omelin." Eh, Barat malah senyum. *** Jantung. Iya, paham, sedang jatuh cinta. Tapi nggak harus berdetak segila ini juga, kan? C'mon! Ini bukan kali pertama tidur seranjang bersama Barat Dhanandjaya. Kok, ya, lebay sekali detakannya? Bagaimana kalau Barat sampai mendengar gemuruh di d**a Nirwana? Argh! Barat kontan membuka mata, menolehlah dia, menatap Nirwana yang guling kiri, tengkurap, lalu telentang, terus balik guling kiri lagi memunggungi Barat, tetapi gerakannya tidak nyantai. "Kamu nggak bisa tidur, ya?" Astaga. Merinding bulu kuduk Nirwana di sana, suara Barat di menjelang tengah malam seseksi badannya. Well, Nirwana tidur dengan menyuguhkan punggung. Malu dia. Entah kenapa. Khusus malam ini saja. Ah, entah juga kalau malam-malam setelahnya ... apakah akan tetap begini? "Emangnya kamu bisa tidur?" sahutnya, agak sewot. Berlainan dengan Nirwana, Barat tidur menghadap punggung perempuan itu. "Entahlah," katanya, pelan. "Mau saya buatkan teh anget?" "Orang mau tidur, kok, ngeteh!" Ya, siapa tahu. Dan ... satu lagi. "Udah dibilangin jangan sebut say ..." a .... Detik itu. Huruf 'a'-nya tertahan di tenggorokan, tepat saat Nirwana membalikkan tubuh dengan brutal, tanpa tahu bila ada Barat yang menghadapnya cukup dekat, berpapasanlah hidung dengan aroma tubuh Barat di sana. Ini terlalu dekat. Barat juga terkesiap. Kaget. Tiba-tiba Nirwana berbalik dengan tanpa aba-aba. Ah, sudahlah. Nirwana kembali membalikkan badannya seperti semula. Bahaya. Jantung semakin edan saja. Yang mana baru Barat buka mulut, eh, suaranya didahului oleh sebuah dering ponsel di jam larut. Siapa, tuh? Nirwana menoleh, Barat pun beranjak, mengambil ponsel yang tak pernah dia silent karena takutnya ibu yang menghubungi. "Ayumi," kata Barat. Mengabarkan kepada Nirwana yang tampak acuh tak acuh. "Saya angkat, ya? Barangkali ibu." "Bebas," tukas Nirwana, kemudian pejamkan mata. So, Barat angkat panggilannya, dia duduk bersandar di kepala ranjang, me-laudspeaker agar Nirwana juga mendengar isi percakapannya. "Tinggal sama Ibu di sini atau Ibu yang tinggal di sana ikut sama kamu?" Kelopak mata Nirwana auto terbuka lebar-lebar. A-apa tadi? "Nanti Barat bicarakan sama Wana dulu, ya, Bu. Sekarang Wananya udah tidur. Besok Barat telepon Ibu lagi." Padahal ... baru saja Nirwana membalikkan badan, menatap Barat, tidur dari mananya? "Ya ampun, istri macam apa yang tidur duluan daripada suaminya?" Detik di mana tatapan Barat dan Nirwana berjumpa. "Titik, pokoknya Ibu harus tinggal sama kamu!" Di sebelum panggilan itu diputus dari sana, mengucap salam, lalu Barat letakkan ponsel dan kembali rebahan. Tepat, kini mereka berhadapan, tak peduli jarak yang jauh lebih dekat. Menyinggung tatap dengan begitu lekat. "Nggak pa-pa, kan?" bisik Barat, "kalau harus nerima saya sepaket dengan ibunya ...." Oh ... bagaimana? *** Nama: Barat Dhanandjaya. Usia: 29 Tahun. Terlampir surat kesehatan berikut berbagai akun media sosial yang bisa dicek untuk keperluan pelamaran kerja. Hari itu. Selaku papi Nirwana, Alam Semesta melibatkan anak-anaknya yang lain, terutama Langit, untuk menilai tiga kandidat pelamar. Salah satunya adalah Barat Dhanandjaya. "Dia bukan orang biasa, Pi," kata Langit. "Apa iya?" Awan melihat-lihat berkas Barat, tetapi tidak merasa ada yang beda dari sosok itu, selain tubuh proporsional dan tampang di atas rata-rata para pelamar kerja dari lowongan yang papi iklankan di forum loker ibu kota. Dalam ruang kerja papi mereka, sudah pernah diperkenalkan siapa Awan dan Langit di keluarga Nirwana, kan? Dia adalah abang beda ibunya. Katakanlah, kakak tiri. Awan nomor wahid, Langit nomor tiga, lalu satu lagi ... Guntur, dia abang Nirwana yang nomor dua, sedang membaca dengan khidmat CV dari seorang Barat Dhanandjaya. Syukurlah, seagama dengan mereka. Itu isi kepala Guntur, melihat keterangan agama dalam secarik para pelamar kerja. Well, Guntur itu abang Wana yang paling religius, apa-apa dia lihat agamanya dulu. "Dia anak bungsu dari pemilik Jaya Group," kata Langit. "Bentar." Lagi-lagi Awan menyela. "Jaya Group itu ...." "Bukan saingan bisnis kita, tapi dia yang sering kita bahas kalo Senin buat dijadiin contoh perusahaan elite dan berharap bisa memotivasi karyawan supaya bersama-sama mewujudkan Semesta Media jadi perusahaan elite macam itu juga, dalam bidangnya." Fix. Mulut Awan terbuka, terperangah dia. Sedangkan Guntur, dia menatap Langit tanpa berkedip. Pun, Papi Alam. "Kok, bisa nyasar ke sini?" Pertanyaan yang sama dalam benak Guntur, dituturkan oleh papinya. "Nah, belum tau. Tapi Langit fix, pilih dia." Awan kontan berdecak. "Cuma karena Barat anak bungsunya pemilik perusahaan elite?" "Coba lihat-lihat dulu yang lain, Lang. Lihat potensinya," saran Guntur. "Udah. Tetep di Barat." Begitu yakin Langit berucap, hal yang membuat Alam Semesta memutuskan .... "Ok. Besok Papi telepon Barat, sekalian langsung aja kenalan sama Nirwana. Bismillah, semoga pilihan kamu nggak salah, ya, Lang." Hari itu. Barat Dhanandjaya, yang kini mempersilakan masuk ibunya, diikuti Nirwana yang cuma menghela napas samar, sebisa-bisa tidak kentara bahwa dia keberatan. Sangat! Namun, dengan dia yang menginginkan Barat, maka Nirwana juga harus menerima segala apa tentangnya, kan? Termasuk ibunda Barat tercinta. Tapi tentu dengan satu syarat, AYUMINYA NGGAK DIAJAK, YA! JANGAN. Itu yang Nirwana tekankan semalam. Eh, Barat malah mesem-mesem. Dan esoknya, cowok itu pamit mau jemput ibu, lalu tiba di kediaman Nirwana saat matahari sudah melewati atas kepala, membawa koper ibu mertua Nirwana, tanpa Ayumi, sebagaimana apa yang Wana pinta. Sip. Barat menepati kesanggupannya. Oke, tidak buruk. "Ini kamar Ibu," selorohnya, Nirwana menunjukkan kamar untuk ibu Barat, kamar yang dulu pernah Barat tempati. "Silakan." Melihat-lihat, sorotan ibu Barat seperti sedang menilai. Tanpa kata, lalu melenggang masuk mengabaikan Nirwana. Tuhan .... "Dan ini ada Bi Sum," kata Nirwana lagi, "yang nantinya bisa menemani Ibu barangkali Wana harus kerja dan Barat ...." Cowok itu masih pengangguran sejak alih profesi dari pengawal pribadi ke suami Nirwana, sih. "Barat juga kerja, Bu. Bi Sum yang nanti nemenin Ibu," sambung lakinya Nirwana itu. Tak Nirwana gubris. Memilih melihat raut ibunda Barat di sana. "Ya sudah, mau gimana lagi? Nasib punya mantu cemburuan, masa perkara Ayumi yang notabene udah bertahun-tahun nemenin Ibu, bahkan jauuuh lebih lama kenal sama Yumi daripada dia itu, kok, ya, pake acara ngelarang-larang?" Itu ... kalimatnya tertuju untuk Nirwana, eh? Lantas, apa kabar Barat? Jadi manusia di tengah antara ibu dan pasangan. Kalian ... pernah? Tentu! Nirwana sunggingkan senyum tipis, di sebelum lisannya tergelincir bilang, "Habisnya ... Wana cinta banget, sih, sama anak Ibu. Wajar, dong, kalau cemburu? Ya, Mas, ya?" Bertatapan dengan Barat saat itu. Tahu? Runcing sorotan mata Barat di sana, satu hal yang sedang dia pastikan, sebuah ketegasan yang kelak akan Barat ambil untuk masa depan ... yang sejujurnya, tidak pernah Barat pikirkan. Dia dan Nirwana adalah wujud dari keping koin berlawanan. Bila Nirwana terlahir dan hidup dalam keluarga penuh cinta, Barat sebaliknya. Namun, bukan berarti tidak percaya cinta, hanya memang agak berhati-hati saja. Penuh perhitungan. Dan salah satu yang Barat perhitungkan adalah sosok wanita di sisinya. "Barat, Ibu haus! Gimana, sih, malah mesra-mesraan, bukannya nyuguhin minum buat mertua, kek!" Makin lebar senyum Nirwana. "Oh, maaf. Ditunggu, ya, Ibu." Selebar senyum Anabelle. Perempuan jahat! Emak-emak nggak tahu diri! Untung anaknya seindah Barat! Dongkol hati Nirwana, dia sebutkan jajaran kalimat kesalnya ditujukan untuk mertua. Well, dia sampai cuti sehari demi menanti kedatangan beliau, lho! Harusnya diapresiasi, ini malah dinyinyiri. Mertua macam apa? Sementara itu, Barat menggenggam tangan ibunya. Dia bilang, "Kalau Ibu nyakitin Nirwana, berarti Ibu mau Barat sakit juga." Auto dilepas kasar cekalan tangan Barat. "Maksudnya, kamu beneran suka sama perempuan di bawah standar kriteria mantu idaman Ibu itu?" Ayolah .... Nirwana sampai menolak bantuan Bi Sum, biar dia urus sendiri persoalan mertua, Bi Sum cukup rapikan barang bawaan ibu yang seabrek tadi saja. Lantas, gegas dia ke kamar semula sambil membawa nampan minuman di tangannya, sekaligus bawa camilan juga. Hingga tiba di beberapa langkah lagi menuju kamar itu, sayangnya ... pijakan Wana terhenti. "Tuh, kan, gara-gara Nirwana, kamu sama Ayumi jadi batal nikah begini!" Eh .... Seperti itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD