6. Ibu Mertua

1788 Words
Hari itu .... "Bu, ini Nirwana. Perempuan yang Barat ceritain minggu lalu." Di sisi Barat, Nirwana pun maju, dia menjulurkan tangan hendak mencium tangan sosok yang Barat sebut ibu, dan mereka pertama kali dipertemukan saat itu, saat Barat menunjukkan keseriusannya atas celetukan Nirwana untuk menikah. Tahu? Nirwana dipindai dari atas sampai bawah oleh calon ibu mertuanya itu, entah cuma perasaannya saja atau memang demikian, selepas cium tangan tanda sopan, berasa di-scan dia. "Kenal Barat dari mana, Neng?" Konon, ibunya Barat asal Sunda. Makanya hari ini pun Wana diajak ke Bandung, ke tempat di mana beliau tinggal. Berdasarkan informasi yang Barat beri, dia anak bungsu dari orang tua yang sudah bercerai. Barat ikut dengan ibunya, berpisah dari kakak dan ayahnya. Nirwana tak bisa berkata-kata saat itu, dia hanya menatap tak enak raut Barat sebab karenanya, Barat jadi harus cerita hal tersebut. "Dari papi ...," sahut Nirwana. Sungguh, ini pertama kali. Nirwana deg-degan, kaku, duduk pun agak tertekan sebab di awal datang, sudah merasa hawa tak nyaman. Kenapa, ya? "Silakan diminum, Kak ...." Nirwana sontak menoleh. Gadis cantik yang menyajikan minuman itu kepadanya tampak sedang tersenyum. "Terima kasih." Kemudian berlalu. "Ayumi!" Oh .... "Iya, Bu?" Itu namanyakah? Gadis ayu tadi tampak kembali lagi. "Minum punya Aa kasihkan ke Aa-nya aja, tadi kayaknya di kamar." Aa? Nirwana jadi pemerhati. "Oh, iya, Bu." Manut dia. Yang lalu melenggang ke lorong rumah di mana sebelumnya Barat lewati. Eh, wait! Maksudnya ... Aa Barat, gitu? Ugh. Nirwana merinding. Sebut mas saja rasanya sudah geli, apa kabar kalau Aa? Karenanya, dia seruput teh buatan Ayumi di meja. Ditatap oleh calon ibu mertua. Nirwana terkesiap. "Sudah berapa lama kenal Barat, Neng?" Ramah sekali beliau, suaranya lembut. Namun, entah kenapa tidak dengan tatapannya. Atau lagi-lagi ini cuma perasaan Nirwana saja, ya? "Sekitar tujuh bulanan, Bu." "Oalah ... tapi sudah merasa cocok, ya?" Nirwana senyum. "Neng Wana, kerja? Atau masih kuliah?" "Kerja, Bu." Demikian, Nirwana juga bilang, "Di samping itu, saya juga ada usaha kecil-kecilan bersama teman. Mm ... semacam online shop." Dia ingin terlihat bernilai di mata ibunda Barat. Baginya, karier seorang perempuan, apalagi yang sukses seperti dirinya, itu adalah nilai plus. Orang tua dari lelaki pasti senang, kan, kalau pasangan putranya adalah sosok yang bisa membantu perekonomian berikut finansial rumah tangga? Jadi, Nirwana harus berbangga diri dengan itu. Terlebih, dia ini salah satu karyawan di perusahaan elite macam Jaya Group. Diceritakannya kepada ibu Barat, habisnya berliau bertanya: Nirwana kerja di mana, apakah tidak lelah mengurus bisnis online sambil kerja juga, lalu bagaimana nanti bila sudah berkeluarga? Hingga akhirnya, Nirwana diminta beliau untuk .... "Resign saja." "Ibu!" tegur Barat. Oh, dia sudah selesai dengan urusannya di kamar. Tampak sudah berganti pakaian dengan kaus yang lebih nyaman. Nirwana menatapnya, Barat duduk di sofa tunggal. "Barat nggak masalah kalau Nirwana bekerja setelah menikah." "Begitu?" Ibu Barat beralih kepada Nirwana. "Tapi gimana, ya, Neng ... Ibu yang masalah, nih. Inginnya kalau menikah, ya, anak Ibu dilayani betul-betul, cukuplah sebagai istri jadi ibu rumah tangga saja." Ada saliva yang Nirwana telan kelat, sekali pun Barat terdengar memberi pengertian kepada ibunya. Ya, saat itu. Mungkinkah gara-gara hari itu, hari ini juluran tangan Nirwana kepada ibu mertuanya tidak bersambut? Sebentar. Biar Wana jelaskan situasi sekarang. Selepas acara akad yang dilangsungkan meriah di kediaman Semesta, tetapi yang datang dari keluarga Barat hanya ibu dan para tetangga, tak luput sosok gadis cantik bernama Ayumi di sisi ibu dan yang selalu ibu perintahkan untuk melayani putranya. Yang Nirwana pikir, wajarlah. Namanya ibu kepada anak pasti bagaimanapun caranya ingin memberi perhatian lebih, misal meminta Ayumi untuk mengambilkan makanan buat Barat saat di pelaminan waktu itu dengan kalimat: "Aa, kata ibu makan dulu, ini Neng bawain. Diminta sama ibu." Seperti itu. Nirwana yang duduk di sisi Barat pun mewajarkan yang semula merasa heran, berasa nggak lazim, tetapi kemudian ... sudahlah, disuruh ibu. Toh, Nirwana juga lapar, jadi makanan di satu piring itu dia ikut memakannya juga. Mungkin maksudnya, ibu meminta Ayumi untuk membawakan makanan kepada pengantin di pelaminan. Begitu, kan, konsepnya? Namun, semua pemikiran positif Nirwana mendadak hancur hari ini. Hari kedua pernikahan, Barat dapat telepon dari Bandung yang bilang bahwa ibu jatuh sakit. Ayumi yang menelepon, rupanya gadis cantik itu yang selama ini menemani dan mengurus ibu Barat. Well ... juluran tangan Nirwana tidak disambut beliau. Barat pun melihat, tetapi tampak tidak mempermasalahkannya. Seketika berdebar tidak menyenangkan dadanya. Ada rasa sakit yang semu bertandang. Atau ... dasarnya saja Nirwana sedang terbawa perasaan? "Langsung masuk kamar Mas aja, ya, Wana." "Eh?" Ini terlalu tiba-tiba. Perasaan ... masih saya-Anda, deh, tadi di mobil. Namun, ini, kok, sudah ganti jadi mas saja sebutannya? Tampak tersenyum Barat di sana, lalu menggiring Nirwana ke kamar yang mana lorong itu baru kali ini Nirwana lewati. Lorong menuju kamar Barat. "Istirahat saja dulu di sini," bisiknya, di sebelum menutup pintu, "saya urus ibu dulu." Iya, itu. 'Saya' baru benar. Pintu pun ditutup sebelum Wana memberi balasan ucap, dia hanya menatap dengan isi pikiran yang awut-awutan, pun ... dengan jantung yang berdebar kencang. Tahu, kan, karena apa? Mas. Hati Nirwana sudah seperti cuaca di Indonesia saja, mudah berubah. *** "Ibu ... jangan gitu, dong, sama Nirwana." Di kamar sang ibu, ada Ayumi di situ, diminta ibu untuk pijat-pijat kakinya. Jujur, Barat tadinya mau urung bicara dengan ibu perihal Nirwana sebab ada Ayumi juga di sini, tetapi ibunyalah yang membuat Barat begini. Ya, walau Ayumi diam saja, sih. "Gitu gimana?" Dan, mau tidak mau, kali ini Barat rasa ibu yang mesti mengikuti alurnya. Barat menatap Ayumi sambil bilang, "Saya mau bicara berdua sama ibu, bisa tinggalkan kami dulu, Yum?" "Lho, lho ... biarin ajalah. Yumi lagi pijat-pijat Ibu, kok. Di sini saja, Neng." Namun, tatapan Barat tajam di sana. Hal yang membuat Ayumi memilih undur diri dan minta maaf sama ibu, katanya nanti akan datang lagi. Oh, oke. Pintu ditutup. "Maksud Ibu apa coba tadi nggak bales juluran tangan Nirwana? Dia mau cium tangan Ibu, lho." Memang aslinya, Barat selembut itu. Gantian, dia yang pijat-pijat ibu sekarang. Well, sakitnya ibu juga cuma pegal-pegal biasa ternyata, membuat Barat panik saja sepanjang jalan hingga Nirwana memaksa dia yang menyetir dan Barat duduk tenang saja di kursi penumpang. Ibu mendengkus. "Suruh siapa kamu nikah sama perempuan itu? Padahal Ibu udah nolak mentah-mentah, kekeh aja mau nikah dengan atau tanpa restu Ibu. Sekarang rasain ajalah sendiri, begini kalau nikah tanpa restu Ibu." Iya, memang demikian. Sehari setelah Barat memperkenalkan Nirwana sebagai calon mantu ibu, selepas dia bawa Nirwana ke Bandung, ibu menolak, tentu saja. Maunya ibu, kan, Barat menikah dengan Ayumi. Bukan Nirwana, apalagi calon yang Barat bawakan ternyata adalah karyawan Jaya Group, ibu semakin menentang. "Ayumi! Neng! Sini, Neng. Udah ngobrolnya!" Ah ... sepertinya perjalanan kisah ini tidak akan mudah, ya? Barat pun keluar dari kamar ibu, yang mana sudah ada Ayumi di sana, bertatapan sekilas, sebelum kemudian Barat melenggang menuju kamarnya. Tempat di mana Nirwana berada. Astaga. "Eh, kok, cepet banget?" Barat tersentak di sebelum mematung, sedang di sana Nirwana buru-buru bilang, "Di sini panas. Nggak ada AC, kipas, jadi ... aku ... nggak masalah, kan?" Hanya memakai tanktop dan celana pendek sepaha. Toh, itu kebiasaan Nirwana kalau di rumah, di dalam kamarnya, dan dia pikir tidak masalah di sini juga begitu, apalagi panas dan gerah, wajarlah. Bandung tidak membuat suhu ruangan dalam kamar Barat sesejuk kota di pagi harinya. Oke, Barat cuma kaget. Dia lantas mengambil langkah untuk lebih dekat dengan istrinya. Istri, ya? Perempuan yang memang suka berpakaian vulgar, itulah Nirwana. Dari dulu awal kenal juga begitu, kan? Walau tidak seberani sekarang. Mungkin karena sudah tidak merasa asing. Ya sudah. "Nggak, kok." Nirwana pun bergeser, siapa tahu Barat mau duduk di ranjang juga. Di sisinya. Namun, cowok itu memilih duduk di kursi belajar. Atau kursi kerja, ya? Yang posisinya di sebelah ranjang tempat Nirwana duduk sekarang. "Udah ngurus ibunya? Sakit apa? Perlu kita bawa ke rumah sakit, nggak? Oh, ya ... ini nggak pa-pa aku langsung masuk kamar gini? Tadi aku mau nyusul, tapi--" "Anda cerewet sekali ternyata, ya?" What?! Nirwana kontan mencebik. Barat malah tertawa. "Ibu nggak pa-pa." "Oh, syukur kalo gitu. Jadi pulang dari sini bisa kamu yang bawa mobilnya, dong, ya?" "Bisa. Tadi juga pas berangkat, saya bisa. Cuma Andanya saja yang lebay." Si paling saya-Anda. Nirwana mencibir lagi di sana. Rupanya sebutan itu masih berlaku, kecuali kalau ada ibu atau keluarga Semesta. Kok, kayak apa saja, ya? "Ngomong-ngomong, maaf soal ibu tadi." Oh, soal juluran tangan yang tidak bersambut? "Iya, itu kenapa, ya? Aku ada salah atau gimana, ya? Perasaan waktu ke sini pertama kali, baik-baik aja, tuh?" Iya, kan? *** Malamnya .... "Enak, Neng?" Teruntuk Nirwana. Dia mengangguk. Agak deg-degan ibu mengajaknya bicara lebih dulu setelah seharian ini Nirwana bahkan merasa diabaikan, dan dia mulai janggal. "Masakannya Neng Ayumi, lho, itu. Pinter banget kalo soal urusan perut, beruntung nanti yang jadi suaminya." Oh, Ayumi tidak di sini kalau malam, katanya memang hanya menemani saat siang saja jika Barat ada di rumah. Namun, obrolan tentangnya nggak peduli siang atau malam tetap disebutkan oleh ibunda Barat tercinta. Atau ... itu lagi-lagi cuma perasaan Nirwana saja? "Wana juga bisa masak, Bu." Eh? Mana ada! Nirwana sontak menoleh kepada sosok Barat di sisinya. "Syukur kalau gitu. Besok buatin sarapan, ya, Neng. Biar nggak Neng Ayumi terus yang masak." Lho ... lho? Nirwana mengernyit. Sebentar, deh. Dia sedang mencoba menerjemahkan situasi. "Nggak bisa, Bu. Besok Barat udah harus balik ke Jakarta sama Wana." "Cepet banget?" Barat senyum penuh makna. Apa, ya? Nirwana masih sibuk mencerna obrolan dan .... "Ya udah, emang berangkatnya jam berapa? Bisalah masakin sarapan dulu buat Ibu. Ya, Neng?" "Jam tujuh udah berangkat." Lagi-lagi Barat yang jawab. "Nah, paslah itu. Jam enam mateng sarapannya." Fix. Intinya ... Nirwana sedang ditantang kebolehannya di dapur oleh ibu mertua, kan? Oh, atau bukan? Sebab esok hari tiba dan ternyata Nirwana bangun pukul setengah tujuh pagi, ibu Barat langsung bilang, "Baru bangun, Tuan Putri?" Di dapur. "Untung Ibu punya Neng Ayumi. Sudah matang, tuh, dari subuh. Kami juga sudah sarapan bareng tadi. Oh, ya, ini ...." Nirwana disodorkan kotak bekal. "Buat sarapan di perjalanan. Setengah jam lagi berangkat, kan? Gih, siap-siap." Yang Nirwana cekal kotak bekal itu. Sedetik sebelum ibu lanjut bilang, teruntuk Ayumi. "Maaf ngerepotin, ya, Neng Yumi. Pagi-pagi udah masak di sini. Ah, harusnya Neng Yumi, nih, yang jadi mantu Ibu." Oh .... Jadi gitu? Sebuah benang kusut yang berhasil Nirwana luruskan sampai akhirnya dia bisa menarik kesimpulan. "Ibu kamu nggak suka sama aku ternyata, ya?" Saat Nirwana masuk kamar dan Barat baru saja keluar dari kamar mandi, hanya ada handuk yang melilit area intimnya di sana, tetapi mendadak ... tonjolan di baliknya jadi tidak menarik. Ehm. Ralat. 'Eh, kok, bisa nonjol gitu, sih?!' Yang Barat hampiri, dia cekal bahu Nirwana, lalu dibuat membelakanginya sambil berbisik, "Tahan, ya? Jangan di sini kalau pengin ...." Eh?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD