Luna dan Ayahnya

1938 Words
Seorang perempuan paruh baya dengan kecantikan yang tidak luntur termakan usia, berjalan di perkebunan teh dengan anggun. Hembusan angin yang bertiup pelan, mengibarkan rambut panjang perempuan itu, hitam mengkilap, panjang terurai. Senyum wanita itu tampak sangat teduh, membuat setiap warga desa yang melihatnya menjadi terkesima. “Selamat pagi, Nyonya,” ucap seorang warga yang berpapasan dengan perempuan itu. Wanita paruh baya nan ayu tersebut hanya membalas sapaan warga dengan senyum anggun yang menyejukkan hati. Meski hanya mendapat balasan berupa senyuman, namun warga yang menyapanya merasa melayang dibuatnya. Tuan Johannes yang kebetulan saat itu sedang berada di kebun, tanpa sengaja melihat langkah perempuan anggun itu dari jauh. Sejenak, ia merasa terpana dengan kecantikan wanita itu. Tuan Johannes yang saat itu sedang berbincang dengan Pak Agus, segera meminta izin untuk undur diri dan menyerahkan sisa pekerjaan yang belum selesai kepada orang kepercayaannya tersebut. Tuan Johannes segera berlari menghampiri wanita itu, meski jarak mereka sangat jauh, dari ujung ke ujung. Tuan Johannes melangkahkan kaki dengan wajah sumringah, seakan menemukan tambatan hati yang selama ini hilang. Ia seakan tidak memiliki rasa lelah, meski harus tersandung beberapa kali karena terlalu antusias. Beberapa cipratan lumpur yang mengenai pakaian, tidak menghalangi Tuan Johannes untuk menghampiri perempuan itu. Tuan Johannes terengah-engah ketika akhirnya ia tiba di depan perempuan tersebut. Ia harus menundukkan badan, mengatur nafas agar tidak terasa canggung ketika berbicara. Tuan Johannes menyusuri wanita itu dari ujung kaki, pandangannya terus naik hingga mata bertemu mata. Kaki jenjang nan halus, gaun putih yang kontras dengan warna hijau kebun teh, membuat perempuan itu terasa bersinar di antara semua warga yang sedang beraktivitas. Senyum yang terpancar, benar-benar membuat hati Tuan Johannes seketika meleleh. “Yah, kenapa lari-lari gitu? Gak malu dilihatin warga?” ucap perempuan itu sambil terkekeh geli melihat tingkah konyol dari Tuan Johannes. “Ibu … Bu … Ini bener-bener Ibu, kan?” Tuan Johannes langsung menubruk tubuh perempuan di depannya, menghujaninya dengan pelukan hangat yang seakan tidak ingin dilepas selamanya. “Ayah … kenapa Ayah kayak gini sih? Malu tahu dilihatin warga,” sahut perempuan yang rupanya adalah istri dari Tuan Johannes itu. Meski protes, wanita itu tidak berusaha melepaskan pelukan Tuan Johannes darinya. Ia justru menepuk-nepuk punggung Tuan Johannes dengan lembut. Tuan Johannes seketika terisak. Kerinduan yang selama ini tertahan, akhirnya dicurahkan juga. “Ayah kenapa? Kayak gak lihat Ibu bertahun-tahun aja deh,” ejek Nyonya Johannes. “Bu …,” ucap Tuan Johannes lirih. “Ibu ke mana aja? Ayah kangen!” Tuan Johannes mulai terisak. "Ssst, Ibu gak ke mana-mana kok, Yah … Ibu di sini aja, Ayah kenapa gitu?" Nyonya Johannes berusaha menenangkan suaminya yang menangis tersedu-sedu. Tuan Johannes segera menyeret istrinya pulang, ia tidak ingin adegan-adegan mesra yang dilakukan bersama Nyonya Johannes menjadi tontonan warga desa. Tuan Johannes menggandeng tangan istrinya mesra, sementara Nyonya Johannes hanya tersenyum melihat tingkah konyol suaminya. “Luna … ibumu pulang, Luna!” seru Tuan Johannes ketika memasuki rumah, namun tidak ada jawaban dari anak semata wayangnya tersebut. Rumah keluarga Johannes terasa sangat sepi, seakan tidak ada kehidupan di dalamnya. Tuan Johannes merasa bingung, ia mencari ke sekeliling rumah, meninggalkan Nyonya Johannes sendirian yang mematung di tengah pintu depan. Mulai dari dapur, kamar mandi, hingga ruang tidur milik Luna yang ada di lantai atas, tidak luput dari perhatian Tuan Johannes. Tetapi tetap saja, Luna tidak ada di rumah. Tuan Johannes kembali menghampiri istrinya yang menunggunya di depan dengan. Tampak raut kecewa tergambar di wajah Tuan Johannes. “Udah gak apa-apa, mungkin Luna lagi main sama anak-anak desa,” ucap Nyonya Johannes menenangkan. Nyonya Johannes memang seorang ibu dan istri idaman. Ia hampir selalu bisa menenangkan dan memenangkan hati Luna dan Tuan Johannes. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu teduh, nada bicaranya pun nyaris tidak pernah tinggi, kecuali Luna membuat ulah. Rasa marah Nyonya Johannes yang diakibatkan oleh kenakalan Luna pun tidak pernah berlangsung lama, ia adalah wanita pemaaf yang benar-benar diidamkan. “Kita makan dulu, yuk!” Nyonya Johannes menarik tangan suaminya masuk, menuju ke ruang makan. Tuan Johannes terkejut dengan hidangan istimewa yang sudah tersedia di atas meja makan. Tidak main-main, hidangan itu adalah masakan yang berasal dari kota tempat Tuan dan Nyonya Johannes berasal, bukan makanan lokal seperti yang biasa mereka santap setiap hari. “Wah, Ibu … ada angin apa nih kok masak spesial gini?” Mata Tuan Johannes berbinar ketika ia menyaksikan betapa banyaknya makanan yang tersaji. Dengan sigap, Tuan Johannes menggeser kursi dan mempersilakan istrinya duduk. Nyonya Johannes lagi-lagi hanya melempar senyum, kemudian ia duduk, disusul oleh Tuan Johannes yang mengambil tempat duduk di sebelahnya. Tanpa basa-basi, Nyonya Johannes segera mengambil satu persatu makanan yang tersaji dan memberikannya kepada suami tercinta, dengan senyum yang tidak pernah luntur dari wajahnya. Tuan Johannes merasakan debaran-debaran aneh di dadanya, seakan dirinya adalah pengantin yang baru pertama kali mendapatkan pelayanan dari sang istri. Tuan Johannes menyantap dengan lahap makanan yang diberikan oleh istrinya, sedangkan Nyonya Johannes hanya menatap suaminya yang makan, tanpa ikut mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Selepas makan, barulah Tuan Johannes menyadari jika istrinya tidak ikut makan bersamanya. “Ibu kenapa? Kok gak makan?” tanya Tuan Johannes. “Enggak deh, Ibu lihat Ayah makan lahap gini aja udah seneng banget. Ibu cuma pengen memastikan, Ayah baik-baik aja pas Ibu tinggal,” jawab Nyonya Johannes sambil menatap suaminya dengan mata sendu. Suasana bahagia yang tersusun, seketika berubah sedih. Tuan Johannes mulai ingat tentang kejadian yang menimpa istrinya di Air Terjun Tirto Kemanten beberapa hari yang lalu. “Bu … Ibu ngomong apa sih?” Tuan Johannes masih berusaha menampikkan kenyataan, ia belum bisa menerima apa yang telah terjadi. “Yah … Ayah kan kepala keluarga, Ayah kuat. Ibu sekarang udah tenang di sini, Ayah jaga diri baik-baik.” Di tengah senyum hangat yang terukir di wajah Nyonya Johannes, air mata tiba-tiba mengalir tanpa permisi membasahi pipinya. Tuan Johannes mulai gemetar, ingatan tentang apa yang telah terjadi semakin jelas tergambar di dalam kepalanya. Utopia yang Tuan Johannes rasakan sesaat, membuatnya lupa atas apa yang harus dihadapinya saat ini. Tuan Johannes menoleh ke arah istrinya yang duduk di sampingnya sambil menatap wajah Tuan Johannes yang mulai tampak tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Mata Tuan Johannes pun mulai berkaca-kaca. “Ibu tahu, mungkin ini berat bagi Ayah, berat juga bagi Luna. Tapi Ibu pengen Ayah tahu, kalau Ayah punya tanggung jawab besar di desa. Ayah harusnya tahu, tanpa Ayah, desa gak bakal bisa jalan. Ibu gak ke mana-mana kok, Yah … Ibu akan tetap lihat Ayah dari atas, dan Ibu akan nunggu Ayah di sana. Suatu hari nanti, kita bertiga bisa sama-sama lagi. Tapi Ibu gak pengen, Ayah mengambil jalan pintas. Karena kalau Ayah mengambil jalan pintas, kita gak akan sama-sama lagi nanti di sana,” terang Nyonya Johannes sambil mengelus dengan lembut pipi suaminya. Air mata pun turun membasahi pipi Tuan Johannes. Air mata seorang laki-laki, air mata kehilangan, air mata tanda kerinduan, dan air mata tanda cinta yang begitu dalam, mengiringi kepergian Nyonya Johannes. TIba-tiba, sinar putih yang hangat terpancar dari tubuh Nyonya Johannes, bersamaan dengan tubuh Nyonya Johhannes yang tampak transparan. Tuan Johannes semakin terkejut dengan apa yang terjadi, ia tidak siap jika harus kehilangan istrinya untuk kedua kali. “Enggak, Ibu!” Tuan Johannes berusaha menggapai tubuh Nyonya Johannes yang ada di depannya. Ia dekap dengan erat, berusaha agar tidak sampai menghilang lagi. Namun sayang, semua terlambat. Tubuh Nyonya Johannes kini berubah menjadi kerlipan debu angkasa yang melayang-layang menyinari ruang makan. Debu angkasa itu terasa hangat dan nyaman, bergerak mengelilingi badan Tuan Johannes. Sejenak, Tuan Johannes mendengar suara istrinya. “Ibu gak ke mana-mana, Ayah jangan sedih terus.” Suara Nyonya Johannes mengiringi Tuan Johannes membuka mata. Air mata mengalir dari ekor mata, membasahi bantal yang menyangga kepalanya. Kamar Tuan Johannes yang gelap, menjadi saksi atas seorang lelaki yang rindu dengan lembutnya belaian seorang istri. Rasanya baru kemarin, mereka berdua menikah. Rasanya baru kemarin, mereka berdua mendapatkan seorang putri cantik. Rasanya baru kemarin, mereka berdua bertengkar karena Nyonya Johannes terbakar api cemburu. Kebersamaan itu, seharusnya tidak berakhir secepat ini. Tuan Johannes sempat kehilangan jati dirinya akhir-akhir ini. Entah sudah berapa banyak orang yang mencarinya, entah sudah seberapa besar ia merepotkan orang lain, Tuan Johannes tidak tahu. Tapi pertemuan dengan Nyonya Johannes di alam mimpi, membuatnya sadar jika kehidupan harus tetap berjalan. Karena seperti yang dikatakan oleh Nyonya Johannes kepadanya, ia akan tetap melihat bagaimana Tuan Johannes dan Luna menjalani hidup. Matahari mulai menyinari Hutan Agnisaga setelah rembulan merajai malam. Hari baru telah dimulai untuk semua orang di desa, kecuali Luna yang masih tampak malas karena ayahnya mengalami keadaan yang buruk pasca ditinggal Nyonya Johannes. Bangun tidur, Luna hanya bisa menangis, meratapi nasibnya yang tidak tahu harus berbuat apa setelah ini. Ia berusaha menggantikan posisi ibunya di rumah dengan mengurus rumah dan menyediakan makan bagi ayahnya, namun semua tidak mulus seperti semestinya. Sejak ibunya meninggal, rumah tidak pernah bersih. Bagaimana bisa bersih? Jika baru saja dibersihkan, ayahnya sudah bertingkah membuat seisi rumah berantakan. Ayahnya berdalih, jika rumah berantakan, maka ibunya akan datang untuk membersihkan rumah. Hal itu membuat Luna semakin tertekan. Kebiasaan dimanja dari kecil juga berhasil membuat Luna tidak tahu harus berbuat apa dan bersikap bagaimana terhadap Tuan Johannes. Ia benar-benar tidak kuat menjalani hidup. Jika hanya harus mengurus rumah, mungkin Luna bisa mengatasinya. Namun jika harus mengurus ayahnya yang sedang terguncang, Luna benar-benar tidak sanggup. Sebenarnya Luna ingin meminta bantuan, namun ia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Kebiasaan yang hanya bermain sehari-hari, membuatnya tumbuh menjadi anak yang denial. Sebenarnya ada keinginan di dalam hatinya untuk meminta bantuan kepada warga desa, namun rasa tinggi hati yang Luna rasakan membuatnya tidak bergerak dari kamar. Ia menganggap, warga desa tidak akan bisa dan mau mengerti tentang keadaannya. Kehidupan yang Luna jalani terlalu kompleks untuk warga desa, begitu pikirnya. Bahkan ketika Jeanne datang menawarkan bantuan pun, Luna seketika mengusirnya. Bukannya Luna bermaksud menolak bantuan, namun ia tidak tahu bagaimana harus bersikap secara serius kepada orang lain. Namun pagi ini, semua terasa sangat berbeda. Ketika Luna bangun, ia mendengar suara perabotan beradu di lantai bawah. Awalnya ia berpikir jika ayahnya bertingkah lagi, namun ketika Luna mencoba mendengar semakin jauh suara di lantai bawah, ia mendengar hal lain. Suara perabot yang beradu, lebih terdengar seperti seseorang yang sedang membersihkan rumah daripada membuat rumah berantakan. Karena penasaran, Luna bergegas turun. Ketika tiba di lantai bawah, Luna mengendap-endap, menyusuri ruang tengah. Tampak di sana, pakaian yang biasanya berserakan di lantai, kini tidak ada. Bahkan lantai ruang tengah pun tampak bersih, seperti baru selesai disapu. “Apa Bu Jeanne datang lagi?” gerutu Luna. Luna berpikir, satu-satunya orang yang tahu tentang keadaan rumah ini adalah Jeanne, tidak ada orang lain. Mungkin saja, Jeanne berinisiatif langsung membantu tanpa menunggu persetujuan dari Luna atau ayahnya. Tapi jika itu benar, Luna merasa sangat malu, karena tidak siap jika ada orang lain yang tahu bahwa ayahnya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Apa kata orang ketika melihat Tuan Johannes yang biasanya bisa mengatasi segalanya tiba-tiba berubah menjadi pria tua gila? Semakin Luna melangkahkan kaki ke belakang, suara perabot yang beradu itu semakin terdengar jelas. Luna mengendap-endap hingga ke dapur. Mata Luna terbelalak ketika melihat orang yang sedang beberes di dapur, membersihkan piring kotor. Di saat bersamaan, suara mesin cuci berputar yang ada di samping kamar mandi menandakan mesin itu sedang mencuci pakaian. Luna mengamati orang yang sedang mencuci piring itu, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Apakah ini benar-benar terjadi? “Ayah?!” ucap Luna saat melihat ayahnya berdiri di depan wastafel sambil memegang spons pencuci piring. Wajah ayahnya tampak segar bugar, berbeda dengan hari sebelumnya yang terlihat buruk, tidak pantas dipandang. Mendengar suara Luna, Tuan Johannes hanya menoleh dan tersenyum, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya mencuci piring.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD