Kenangan Bersamanya

1556 Words
“Ayah? Ayah sedang apa?” Luna menatap curiga Tuan Johannes yang sedang mencuci piring. Ia tidak menyangka jika suara berisik yang terdengar hingga ke kamar adalah suara ayahnya. “Eh, Luna … udah bangun?” sahut Tuan Johannes sambil melempar senyum kepada anaknya. Luna masih tetap tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Baru kemarin, Tuan Johannes bertingkah seperti orang gila, hari ini telah kembali seperti sedia kala. Rasanya tidak mungkin mental seseorang yang terganggu bisa pulih secepat ini. Luna bertanya-tanya sambil tetap menatap ayahnya dengan heran. “Ayah ngapain?” Luna berjalan perlahan mendekati ayahnya. “Ini lagi main petak umpet. Ya lagi bersih-bersih dong, Luna … tadi pas bangun tidur, Ayah lihat rumah kita berantakan banget, jadi Ayah bersihin. Emang salah?” Tuan Johannes balik menatap Luna dengan heran. Dalam hati, Tuan Johannes bertanya-tanya, “kenapa Luna bertingkah aneh? Rasanya kayak lagi lihat maling aja!” “Eng-enggak, gak salah kok. Ayah gak apa-apa? Sehat?” tanya Luna. “Sehat dong, Luna.” Tuan Johannes memperagakan pose binaraga, menunjukkan betapa sehat badan yang ia miliki kepada Luna. Luna hanya menyusur dari atas ke bawah, terus menerus menatap Tuan Johannes dengan heran. Lalu tanpa berkata apapun, Luna kembali ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Tuan Johannes hanya mengangkat bahu, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Bangun tidur pagi ini, Tuan Johannes merasa seperti memiliki nyawa dan semangat baru. Bertemu dengan istrinya di dalam mimpi, serta mendapatkan kalimat perpisahan manis, membuatnya ingat dengan semua hal yang harus dihadapi pasca meninggalnya Nyonya Johannes. Sesaat setelah membuka mata, Tuan Johannes hanya merenung di atas tempat tidur, menyesali perbuatannya selama beberapa hari ke belakang. Saat ini, Tuan Johannes benar-benar sadar jika akhir-akhir ini ia bertingkah seperti orang gila. Tuan Johannes menunduk sambil memegang kepala yang mulai terasa pusing. Ia tidak menyangka, rasa sayang terhadap Nyonya Johannes bisa membuat ia menghancurkan hidupnya sendiri. Lebih parah lagi, Luna pun ikut menjadi korban atas kegilaan yang dilakukannya. Padahal seharusnya, sepeninggal Nyonya Johannes, Tuan Johannes bisa menjadi sosok ibu untuk Luna, bukan justru membuat Luna menanggung semuanya sendirian. Tuan Johannes pun sadar jika akhir-akhir ini ia selalu menjadi beban bagi anak semata wayangnya. Hidup Luna sudah berat, ditinggal sosok ibu yang selama ini selalu merawatnya dengan baik. Setelah merenung beberapa saat, Tuan Johannes akhirnya membuka mata dan melihat ke sekeliling. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kamar yang digunakan untuk tidur rupanya dalam keadaan yang sangat berantakan. Tuan Johannes penasaran dengan siapa orang yang sampai hati membuat singgasana bersama istrinya itu berantakan. “Apa ini perbuatan Luna?” pikirnya. Tapi setelah itu Tuan Johannes kembali berpikir, Luna bukanlah anak kurang ajar yang seenaknya masuk ke kamar orang tuanya tanpa izin. Jika dipikir-pikir, hanya satu orang yang mungkin membuat seisi kamar berantakan, yaitu dirinya sendiri. Tuan Johannes pun segera bangkit dari tempat tidur, lalu memungut satu persatu barang yang berserakan di lantai. Tidak lupa, ia juga membersihkan semua perabotan yang ada di dalam kamar dari debu dan noda akibat kegilaannya beberapa hari ke belakang. Tuan Johannes menghela nafas lesu ketika melihat ke meja rias yang ada di sebelah tempat tidur. Meja yang biasa digunakan oleh Nyonya Johannes untuk bersolek itu, menyimpan banyak sekali kenangan bagi mereka berdua. Tuan Johannes menitikkan air mata ketika teringat dengan kejadian di mana Nyonya Johannes selalu bertanya, “Ayah, aku cantik gak?” setelah memoles riasan di wajahnya. Sambil mengingat momen itu, tanpa sengaja mulut Tuan Johannes bergetar dan menjawab, “iya, cantik.” Tubuh Tuan Johannes kembali bergetar, pikirannya kembali terguncang. Lagi-lagi, ia tidak bisa berbohong jika saat ini dirinya sangat merindukan kehadiran sang istri. Namun sejenak kemudian, Tuan Johannes segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Ia tidak boleh lagi terhanyut dengan rasa sedih, meski tidak berbohong jika dirinya saat ini masih berduka. Sudah cukup Tuan Johannes menjadi beban untuk Luna beberapa hari lalu, sekarang hal seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Meja rias yang berantakan di depannya pun, tidak luput dari perhatian Tuan Johannes. Sesekali, air mata masih menitik, namun Tuan Johannes dengan sigap menghapusnya. Di dalam mimpi, Nyonya Johannes berkata bahwa dirinya menyaksikan bagaimana Tuan Johannes dan Luna menjalani hidup setelah ia tinggal pergi. Jika terus bersedih dan berduka, pasti Nyonya Johannes yang ada di atas sana tidak akan senang. Senyuman hangat dan air mata menjadi sebuah pemandangan kontras di wajah Tuan Johannes. Dadanya sakit, tubuhnya pun masih gemetar, tetapi senyum yang terukir di wajahnya terus mengembang. Tuan Johannes harus menjadi kuat. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk Luna dan seluruh warga desa yang menggantungkan hidup kepadanya. “Jika aku terus menerus sakit dan bersedih, bagaimana aku bisa bertanggung jawab terhadap perekonomian warga?” begitu pikirnya. Setelah kamarnya rapi, Tuan Johannes pun beranjak keluar. Begitu terkejutnya Tuan Johannes ketika melihat keadaan di luar kamar yang sangat berantakan. Lagi-lagi ia bertanya-tanya, siapa orang yang melakukan hal ini? Luna bukanlah orang yang suka membuat rumah berantakan. Apakah jiwa Luna juga terguncang sama sepertinya? Akhirnya Tuan Johannes memungut satu demi satu barang-barang yang berserakan di lantai, meja makan, dan sekelilingnya. Bahkan ia merasa sangat malu ketika mengambil pakaian dalamnya yang berserakan di lantai. Tuan Johannes kembali teringat dengan saat-saat di mana istrinya masih ada di sampingnya. Biasanya, Nyonya Johannes lah yang selalu cerewet ketika ada barang berserakan seperti ini.Sambil memungut satu persatu pakaian miliknya yang berantakan, tanpa terasa air mata kembali menitik. “Bu, kenapa harus secepat ini?” gumam Tuan Johannes pelan. Semakin ia mencoba untuk merelakan kepergian istrinya, semakin sakit yang ia rasakan di dalam hati. Tuan Johannes mencoba kuat, ada banyak orang yang bergantung kepadanya. Tapi, ia tidak bisa berbohong kepada dirinya sendiri jika saat ini perasaan kehilangan itu masih melekat di kepala. Setelah semua barang yang berserakan dipungut, Tuan Johannes merasa hendak buang air kecil. Namun kejutan kembali menyambutnya ketika membuka pintu kamar mandi. Aroma kotoran manusia yang bercampur dengan air kencing menyeruak masuk ke hidung, membuat Tuan Johannes terbatuk-batuk. Ia berkali-kali mengipas-ngipas hidung menggunakan telapak tangan karena tidak tahan dengan aroma kotoran yang tajam menusuk hidung. “Astaga, berapa lama ini gak dibersihin?” gerutu Tuan Johannes. Ia pun harus berlari menjauh dan menutup kembali pintu kamar mandi karena tidak tahan dengan aroma tersebut. Seketika ia lupa dengan perasaan kehilangan yang baru saja menghampiri pikirannya. Setelah itu, Tuan Johannes mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyaring aroma yang masuk ke hidung. Ia kembali memberantakkan lemari, demi mencari kain yang bisa dipakai untuk masker. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Tuan Johannes menemukan jenis kain yang sesuai. Ia pun segera mengenakan kain itu dengan melilitkannya ke bagian kepala. Sekarang, Tuan Johannes siap bertempur dengan bau menyengat yang ada di dalam toilet. Berbekal sabun pembersih lantai dan porselen, Tuan Johannes segera menyiram seluruh isi toilet. Bahkan setelah menutupi hidung menggunakan masker sekalipun, aroma menyengat itu masih tetap bisa menembusnya. Sesekali Tuan Johannes harus menahan nafas, agar tidak pingsan di dalam toilet karena aroma menyengat yang tidak kunjung hilang. Setelah beberapa berkutat di dalam toilet, akhirnya tempat paling sakral di rumah itu pun berhasil dibersihkan, meski tidak benar-benar bersih karena ada beberapa kerak yang masih menempel di dinding dan toilet. Tapi setidaknya, kali ini Tuan Johannes bisa melepas penutup hidung dan bernafas dengan lega. Setelah tubuhnya lelah, sekarang keadaan pikiran Tuan Johannes mulai bisa kembali seperti sedia kala. Ia mulai bisa berpikir jernih, meski sekelebatan kenangan tentang istrinya masih sering mampir di dalam kepala. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kali ini Tuan Johannes tidak akan kehilangan dirinya. Seluruh pekerjaan rumah telah selesai, Luna yang sempat terkejut akan keadaan ayahnya, kini juga masih tetap berdiam diri di kamar. Urusan Tuan Johannes masih belum selesai sampai di sini, ada banyak hal lagi yang harus diselesaikan. Tuan Johannes menaiki setapak demi setapak anak tangga, menuju ke kamar anak semata wayangnya. “Luna, Ayah boleh masuk?” ucap Tuan Johannes sambil mengetuk pintu kamar Luna beberapa kali. Menunggu sejenak, Tuan Johannes tidak mendapat jawaban dari Luna. Tuan Johannes kembali mengetuk pintu kamar Luna sambil memanggil namanya, berhadap ada jawaban dari dalam. Namun sayang, Luna masih tetap tidak mau merespon panggilan dari ayahnya. Tuan Johannes menghela nafas kecewa, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ini, karena otaknya belum bisa digunakan untuk berpikir sepenuhnya. Untuk terakhir kali, Tuan Johannes kembali mengetuk pintu kamar anak semata wayangnya. “Luna, Ayah mau ke kantor polisi dulu, nanti kamu telpon Ayah kalau butuh sesuatu ya?” ucap Tuan Johannes yang tetap tidak mendapat jawaban dari Luna. Sesaat kemudian, suara mobil milik Tuan Johannes terdengar hingga ke dalam kamar Luna, membuat gadis yang masih meringkuk di atas tempat tidur itu berdecak kesal. Suara mobil itu kemudian perlahan menjauh, tanda Tuan Johannes telah beranjak dari rumah. Luna bangkit dari tidurnya, lalu memeriksa ke luar jendela memastikan ayahnya tidak lagi di rumah. Setelah itu, Luna membuka lemari pakaiannya dan menarik laci yang ada di dalam lemari. Tampak di sana sebuah ponsel pintar dengan keadaan mati. “Masa iya sih aku harus mulai pakai barang gak berguna ini?” gerutu Luna sambil memandangi ponsel yang ia pegang. Luna memang tidak pernah suka menggunakan ponsel. Meski telah lama memilikinya, namun Luna tidak pernah terlihat menggunakannya, meski hanya untuk keperluan mendesak. “Ah bodoh!” Luna kembali meletakkan ponsel itu ke dalam laci di lemari kamarnya, lalu menutup pintu lemari. “Lagian hape itu pasti juga gak ada pulsanya kan?” lanjutnya sambil berjalan ke depan jendela, kembali menatap daun-daun yang menari tertiup angin dari balik jendela kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD