Rumah Johannes Saat Ini

1833 Words
“Bu Jeanne tadi mau ngobrol apa sama saya?” Pak Agus kembali memasuki ruangan tempat Jeanne bekerja setelah kembali dari kebun teh untuk mengkoordinir para sopir truk. Jeanne yang saat ini sedang mengotak-atik komputer, langsung menghentikan aktivitasnya ketika Pak Agus menyapanya. “Iya nih, Pak Agus. Sampean tahu kabar terbaru dari Tuan Johannes gak?” tanya Jeanne sambil melempar punggung ke sandaran kursi yang ia duduki. “Eh maaf, Bu, saya gak tahu. Saya juga udah beberapa hari ini gak dipanggil sama Tuan. Ada apa emangnya, Bu?” ucap Pak Agus dengan sedikit membungkuk sopan. “Enggak sih, Pak, cuma saya kuatir aja, gak biasanya Tuan Johannes bersikap seperti ini kan?” “Mungkin Tuan masih berduka, Bu, kita biarkan saja,” jawab Pak Agus. “Iya kalau cuma berduka. Kalau Tuan Johannes berniat nyusul Nyonya gimana?” sahut Jeanne dengan tatapan sinis kepada Pak Agus. “Aduh, ya jangan sampai sih, Bu ….” “Ya udah, nanti biar saya ke sana aja. Kalau nanti ada kabar dari Tuan Johannes, sampean telepon saya, ya? Seenggaknya kita tahu kalau Tuan Johannes baik-baik aja. Pak Agus lanjutin kerja wes, makasih waktunya ya, Pak,” ucap Jeanne. “Iya, Bu, permisi.” Pak Agus segera undur diri, kembali ke kebun. Sore hari setelah menyelesaikan semua pekerjaan di gudang, Jeanne pun pulang ke rumahnya dan memasak sesuatu yang sederhana untuk diberikan kepada Tuan Johannes dan Luna. Jeanne memikirkan sesuatu yang bisa sedikit mengembalikan suasana hati. Akhirnya ia memasak ayam kesrut, sup ayam tradisional khas Banyuwangi yang ia pelajari dari warga sekitar. Rasanya yang segar dan sedikit pedas, pasti bisa membangkitkan selera makan dan suasana hati Tuan Johannes dan Luna. Jeanne memasak dengan sepenuh hati, berharap kebaikan hatinya bisa mendapatkan imbal balik dari Tuan Johannes. Ia berjalan kaki sambil membawa satu rantang penuh ayam kesrut dan nasi hangat, karena jarak antara rumahnya dan kediaman Tuan Johannes memang tidak terlalu jauh. Setibanya di depan rumah keluarga Johannes, Jeanne merasakan hawa yang sedikit asing. Aura kehidupan yang ada di rumah ini seakan lenyap. Halaman depan rumah tampak kotor, rumah ini seperti tidak berpenghuni. Jeanne berjalan ke samping, tampak mobil Tuan Johannes di garasi pun kotor. Hatinya terenyuh melihat betapa besar pengaruh kepergian Nyonya Johannes bagi keluarga. Jeanne mengetuk pintu samping perlahan, “Tuan,” sapa Jeanne. Namun tidak ada jawaban dari dalam. Ia kembali mengetuk pintu rumah keluarga Johannes, “Tuan, Luna!” Kali ini Jeanne sedikit mengeraskan suara, namun masih tetap tidak mendapatkan jawaban. Bola mata Jeanne sedikit bergetar, ia mulai khawatir dengan keadaan penghuni rumah ini. Perlahan, Jeanne memutar gagang pintu yang ada di depannya. “Gak dikunci!” gerutu Jeanne pelan. Jeanne melangkah masuk perlahan. “Tuan, Luna!” Tetap tidak ada jawaban. Begitu masuk, Jeanne dikejutkan dengan kondisi rumah yang benar-benar seperti kapal pecah. Banyak debu di mana-mana, perabot rumah berantakan, baju kotor berserakan di sembarang tempat, bahkan pakaian dalam pria dewasa yang sepertinya milik Tuan Johannes pun berserakan di lantai. Jeanne tersenyum masam ketika melihatnya. Ia ingin tertawa, namun rasanya sungguh tidak sopan jika menertawakan seseorang yang sedang kehilangan. “Tuan, Luna!” Jeanne kembali memanggil penghuni rumah sambil meletakkan rantang yang ia bawa ke meja makan, namun tetap tidak ada jawaban. Jeanne semakin khawatir dengan keadaan keluarga Johannes. Ia semakin takut jika Tuan Johannes dan Luna nekat menyusul Nyonya Johannes ke alam baka. Jeanne memeriksa satu persatu ruangan yang ada di rumah itu. Saat Jeanne membuka pintu kamar mandi, ia harus menutup hidung rapat-rapat karena aroma kotoran yang tercium tajam. “Ya ampun, apa gak pernah dibersihin ini?” gerutu Jeanne. Lebih menjijikkannya lagi, ia melihat kotoran manusia masih mengapung di kloset. Sontak Jeanne langsung muntah di tempat itu. Lalu ia menguatkan diri, mengambil gayung dan menyiram kotoran itu dengan cepat sambil menahan muntah. Setelah Jeanne menyiram kotoran di kloset pun, aroma busuk di kamar mandi tidak juga hilang. Jeanne segera keluar dan menutup lagi pintu kamar mandi. Ia terbatuk-batuk di luar kamar mandi. “Astaga, ampun banget deh ini,” keluh Jeanne sambil mengipas-ngipas hidungnya menggunakan tangan, untuk memberikan udara segar. Jeanne kembali menyusuri ruangan lain sambil mengambil apapun yang bisa ia bereskan selama berjalan. Pakaian kotor adalah benda yang paling banyak berserakan. “Tuan, Luna!” Jeanne tidak henti-hentinya memanggil nama mereka, namun tetap tidak mendapatkan jawaban. Hingga akhirnya Jeanne tiba di depan pintu kamar Tuan Johannes, ia mendengar suara seorang lelaki sedang menangis di dalamnya. Awalnya, Jeanne ingin menerobos masuk. Namun menyadari jika ada orang di dalam, membuat Jeanne mengetuk pintu terlebih dahulu. “Tuan … Tuan Johannes di dalam, kan? Ini saya Jeanne, Tuan, bisa tolong buka pintunya?” ucap Jeanne lirih. “Sayang? Itu kamu? Ibu? Sayang?” Tuan Johannes tampak semangat ketika menjawab sapaan dari Jeanne. Sejenak kemudian, Jeanne mendengar suara gagang pintu diputar. Tuan Johannes yang muncul dari balik pintu, sontak berjalan cepat ke arah Jeanne dan menabraknya, memberikan pelukan hangat kepada wanita yang tiba-tiba masuk ke rumahnya itu. “Sayang! Ayah tahu Ibu masih hidup!” ucap Tuan Johannes lirih sambil tetap memeluk Jeanne. “Tuan … Tuan … ini saya Jeanne, Tuan, bukan Nyonya Johannes.” Jeanne menepuk punggung Tuan Johannes perlahan, kemudian ia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria yang baru saja kehilangan istrinya itu. “Ibu … Ayah kangen sama Ibu.” Tuan Johannes justru memeluk Jeanne semakin erat. “Iya, Tuan, Tuan kangen sama Nyonya. Tapi saya Jeanne, Tuan, bukan Nyonya.” Jeanne berusaha semakin keras untuk melepaskan diri, namun Tuan Johannes semakin erat memeluknya. Ia harus mencari cara lain untuk melepaskan diri, karena tenaganya kalah dengan pria yang sedang dihujani rasa rindu mendalam. Sejenak, Jeanne sebenarnya merasakan kenyamanan yang selama ini dirindukannya. Maklum saja, Jeanne adalah seorang janda yang telah lama tidak disentuh oleh lelaki. Mendapat dekapan lembut dan mesra dari Tuan Johannes, membuat hatinya goyah. Bukan hanya goyah, tubuh Tuan Johannes yang benar-benar menempel pada badannya, membuat ada perasaan geli yang aneh pada tubuh bagian bawahnya. Rasanya, ada sesuatu yang bergetar dan basah di sana. Jeanne hampir hilang akal, tangannya mulai gemetar. Jeanne harus berperang dengan bayangan aneh yang terbesit di dalam kepalanya. Deru nafas Tuan Johannes yang mengenai leher Jeanne, membuat perempuan yang telah lama tidak merasakan tubuh lelaki itu semakin melayang. Ia merasakan tubuh bagian bawahnya semakin basah, namun Jeanne sadar jika hal ini tidak bisa terus dibiarkan. Jeanne tahu, apa yang dirasakan saat ini hanyalah gairah sesaat karena disentuh oleh lelaki. Tapi ia tahu jika apa yang sedang terjadi bukanlah sesuatu yang bisa dibenarkan. Meskipun Jeanne adalah seorang janda, tetapi ia harus tetap menjaga harga diri. Menjadi janda tidak berarti bisa menjual tubuhnya dengan murah, apalagi kepada pria yang baru saja kehilangan kekasih hati seperti Tuan Johannes. Bagaimanapun, Jeanne harus melepaskan diri dari dekapan Tuan Johannes, meski ia sadar jika jauh di dalam pikirannya, ia menikmati momen ini. Setelah berpikir keras dalam waktu yang singkat, Jeanne ingin mencoba satu cara untuk melepaskan diri. Luna, itulah yang Jeanne pikirkan. Jika Tuan Johannes tidak bisa diajak berkompromi, mungkin ia bisa menyeret nama Luna agar terlepas dari dekapan Tuan Johannes. “Tuan, apa Luna juga kangen sama ibunya?” Mendengar perkataan Jeanne, membuat Tuan Johannes sontak melepaskan pelukannya dari perempuan di depannya. Ia segera berlari ke menyusuri tangga ke lantai atas, membuka pintu kamar Luna dan berteriak, “Luna, ibumu ada di bawah!” Setelah itu Tuan Johannes kembali turun dan berteriak, “cepetan, Luna! Ini ibumu!” Luna yang sedang berdiam diri di kamar sambil menatap kosong pemandangan yang ada di luar kamar, hanya menoleh pelan ketika ayahnya tampak histeris. Luna melangkah dengan malas ke luar kamar, lalu menatap ke lantai bawah di mana Jeanne berdiri di depan kamar ayahnya. “Itu bukan ibu, Yah, itu Bu Jeanne. Mending Ayah berhenti jadi orang gila kayak gitu!” seru Luna sambil perlahan turun ke bawah. “Bu Jeanne? Gak mungkin, Luna! Ini ibumu!” Tuan Johannes tampak marah ketika Luna membantah perkataannya. Ia tidak bisa menerima jika perempuan yang sedang bersamanya saat ini adalah orang lain, bukan istrinya sendiri. “Ngapain Bu Jeanne ke sini?” ucap Luna sinis ketika ia tiba di lantai bawah, tepat di depan Jeanne. Menerima tatapan sinis dari Luna, tidak membuat Jeanne gentar. Ia tahu, keluarga Johannes saat ini sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Meski Luna terlihat lebih bisa diajak berbicara daripada Tuan Johannes, tetapi masih terlihat dengan jelas kesedihan dan kehilangan di matanya. “Maaf, Luna, ayahmu beberapa hari ini gak kelihatan di kebun. Orang-orang pada kuatir, kita takut ada sesuatu yang buruk terjadi. Makanya Bu Jeanne ke sini,” terang Jeanne dengan lembut. “Gak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu Jeanne. Semua baik-baik aja di sini. Bu Jeanne pulang aja,” sahut Luna ketus. Jeanne hanya tersenyum sambil menatap Luna dengan tatapan hangat, meski sebenarnya ia tersinggung dengan sikap Luna yang mengusirnya. “Baik-baik aja? Enggak, Luna! Rumah ini hancur dan kamu bilang baik-baik aja?!” batin Jeanne. Sayangnya, Jeanne tidak bisa mengutarakan hal itu secara langsung kepada Luna, karena akan sangat menyakiti hati Luna yang sedang tidak stabil. Daripada memperpanjang masalah, Jeanne memilih menuruti perkataan Luna. Namun sebelum beranjak, terlebih dahulu Jeanne menitipkan pesan. “Bu Jeanne tadi bawain makanan, dimakan sama ayahmu ya, Luna?” “Ya … ya … makasih. Udah, Bu Jeanne pulang aja!” ucap Luna dengan kasar. Jeanne hanya menghela nafas, lalu perlahan melangkah pergi dari rumah mewah yang saat ini tampak sangat mengenaskan ini. Setelah tidak lagi melihat Jeanne di rumah, Luna segera menyandarkan punggung di tembok. Tuan Johannes masih bingung, berusaha mencerna dengan pikiran kalutnya tentang apa yang sedang terjadi. “Luna, mana ibumu tadi?” ucap Tuan Johannes sambil berjalan mendekat ke arah Luna. “Yah! Bisa gak Ayah berhenti bersikap kayak orang gila gini?! Ibu udah meninggal, Yah! Meninggal! Ayah kira cuma Ayah yang kehilangan di sini? Enggak! Luna juga, Yah!” bentak Luna. Namun dasar pikiran Tuan Johannes sedang kacau, ia tidak bisa menerima perkataan Luna. Tuan Johannes terus saja menyebut-nyebut nama istrinya, membuat telinga Luna semakin panas. “Udahlah! Kalau Ayah kayak gini terus, mending Ayah susul Ibu aja sekalian!” Luna berlari naik ke kamarnya di lantai dua dengan air mata yang berlinang. Luna, gadis berusia 21 tahun yang tidak ingin bertambah dewasa itu, akhirnya dipaksa tumbuh dewasa oleh keadaan. Kondisi mental Tuan Johannes yang menurun drastis sepeninggal istrinya, membuat Luna mau tidak mau harus menggantikan posisi ibunya. Sayangnya, Tuan Johannes yang terus menerus merengek ingin bertemu dengan istrinya, membuat Luna semakin tertekan dari hari ke hari. Parahnya lagi, Tuan Johannes menjadi seperti anak kecil. Ia berganti pakaian di sembarang tempat, tidak menyiram kotoran setelah menggunakan toilet, serta suka melempar barang-barang ke sembarang tempat. Lama kelamaan Luna menjadi semakin stres dan memilih untuk mengurung diri di dalam kamar. Meski begitu, ia harus menutup telinga rapat-rapat dari Tuan Johannes yang meracau tidak jelas setiap waktu. Luna pun sering menangis di dalam kamar. Ia bertanya-tanya, kenapa ibunya harus pergi secepat ini. Selain itu, ia juga mengeluh kepada ibunya yang telah tiada, karena sejak sepeninggal Nyonya Johannes, Luna harus menanggung beban berat sebab ayahnya tidak bisa lagi diajak berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD