Pasca Kematian

1880 Words
Mobil milik Tuan Johannes berhenti di lahan parkir Kantor Polisi Sektor Kalibaru. Pria paruh baya nan gagah yang hendak berurusan dengan polisi itu, berjalan dengan tenang dan menyapa setiap petugas yang berpapasan dengannya. Di ruang penyidik, petugas polisi tengah berkutat dengan berkas perkara yang sedang ia kerjakan. Petugas polisi itu tampak terkejut dengan kehadiran Tuan Johannes. Karena sebelumnya, petugas polisi itu mendapat kabar dari Pak Agus bahwa Tuan Johannes sedang sakit dan tidak bisa diganggu. “Selamat pagi, Pak,” sapa Tuan Johannes kepada petugas polisi di depannya. “Selamat pagi, silakan duduk,” jawab petugas polisi itu sambil merentangkan tangan ke depan. “Gimana, Pak Johannes, ada yang bisa saya bantu?” “Gimana perkembangan kasus kematian istri saya, Pak?” tanya Tuan Johannes. “Soal itu, untuk sementara para terduga pelaku cuma kita kenakan wajib lapor, Pak Johannes. Selain itu, berkas milik kita udah lengkap semua, P21. Jadi sekarang tinggal menunggu keputusan sampean, apa sampean mau melanjutkan kasus ini apa enggak? Karena status sampean di sini sebagai pelapor,” terang petugas kepolisian itu. Tuan Johannes mendengus pelan, “begitu ya?” Ia terdiam beberapa saat, memikirkan langkah terbaik untuk selanjutnya. “Kalau saya boleh tahu, kira-kira hasil penyelidikannya gimana ya, Pak?” tanya Tuan Johannes. “Sesuai keterangan saksi dan terduga pelaku, semua itu murni kecelakaan, Pak. Gak ada unsur kesengajaan dari para terduga pelaku,” terang petugas polisi. “Terus hasil otopsi?” “Hasil otopsi menunjukkan ada pendarahan di otak dan tengkorak retak yang disebabkan benturan benda tumpul. Kemungkinan besar, istri sampean meninggal ketika perjalanan menuju rumah sakit,” terang polisi itu lagi. Tuan Johannes menghela nafas lesu sambil menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Lagi-lagi air matanya mengalir. “Pak, saya turut berduka cita,” ucap petugas polisi. “Makasih, Pak,” jawab Tuan Johannes. Suasana ruang penyidikan kembali hening. Tuan Johannes berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya terhadap kedua tersangka. Satu sisi, ada rasa marah yang begitu besar ia rasakan terhadap dua remaja yang menyebabkan istrinya meninggal. Tetapi sisi lain, tidak bisa dipungkiri jika kejadian itu hanyalah sebuah kecelakaan. Tuan Johannes tidak boleh memikirkan dirinya sendiri. Ia harus berpikir secara subjektif. Bagaimana jika keadaan dibalik? Bagaimana jika ia atau Luna tidak sengaja membuat orang lain celaka hingga meninggal? Apakah ia akan memohon pengampunan kepada pihak korban? “Pak, gimana kalau kita tutup aja kasus ini?” ucap Tuan Johannes lesu. “Sampean yakin, Pak? Kemarin itu sampean mencak-mencak di sini, bilang kalau pengen bocah-bocah itu mati. Saya gak pengen sampean nyesel loh, Pak. Kita bisa kasih keadilan untuk kematian istri Bapak. Tapi kalau Bapak juga memaafkan, kita bakal tutup kasus ini,” jawab petugas kepolisian itu meyakinkan Tuan Johannes. Tuan Johannes mendengus pelan, ”kemarin saya itu emosi, Pak. Saya juga masih berkabung. Tapi rasanya jahat banget kalau kecelakaan malah kita masukin ke pidana. Kalau dipikir-pikir lagi, saya gak setega itu, Pak,” ucap Tuan Johannes sambil menundukkan kepala. Petugas polisi tersenyum mendengar ucapan dari Tuan Johannes. Petugas polisi itu tahu, lelaki yang mendapat kepercayaan seluruh warga desa bukanlah orang jahat yang tidak memiliki hati nurani. Hanya saja, ketika peristiwa itu terjadi, jiwa Tuan Johannes terguncang sehingga tidak bisa membuat keputusan secara objektif. Akhirnya, petugas polisi itu membuka kembali berkas perkara milik Tuan Johannes dan membuat beberapa surat untuk menutup kasusnya. “Setelah ini kita akan panggil dua terduga pelaku dan minta mereka buat tanda tangan berkas penghentian penyidikan,” ucap petugas polisi sambil memberikan beberapa berkas kepada Tuan Johannes untuk ditandatangani. Akhirnya, kasus kematian Nyonya Johannes pun berakhir tanpa ada korban lain yang jatuh. Tuan Johannes juga bisa mengambil keputusan bijaksana dengan memaafkan dua orang yang menjadi penyebab kematian istrinya. Namun keputusan yang diambil juga tidak lepas dari kehadiran Nyonya Johannes di dalam mimpinya, yang menjadi titik balik dan mengembalikan kejiwaan Tuan Johannes seperti semula. Setelah hari itu, rumah keluarga Johannes kembali seperti sedia kala, meski ada sedikit perubahan sifat yang dialami oleh Luna. Luna sekarang lebih pendiam, jarang keluar rumah dan hanya mengurus rumah seperti yang dilakukan ibunya sebelum tiada. Luna benar-benar menggantikan posisi ibunya saat ini. Tuan Johannes pun kembali mengurus kebun teh bersama Pak Agus, Jeanne, dan warga lainnya. Di permukaan memang tidak tampak adanya perubahan signifikan. Tapi bagi anak-anak desa dan warga yang biasa didatangi Luna, mereka merasa sedikit kehilangan sosok yang sering membantu pekerjaan rumah mereka setiap harinya. Tidak terasa, satu tahun berlalu. Hari ini adalah peringatan satu tahun kematian Nyonya Johannes. Beruntung, makam Nyonya Johannes masih berada dalam keadaan utuh, bersih, dan terawat. Berbeda dengan keadaan makam warga yang meninggal sebelum Nyonya Johannes di mana jenazahnya menghilang dan tidak ditemukan hingga hari ini. Pihak kepolisian pun sudah berusaha melakukan pencarian terhadap jenazah tersebut, namun setelah satu tahun pencarian, tetap saja polisi tidak menemukan petunjuk apapun. Bagi warga, mayat itu seakan menghilang tanpa jejak. Mereka semua tidak tahu jika tubuh dari warga yang meninggal saat mengevakuasi orang asing yang berusaha mencari harta karun di Hutan Agnisaga itu saat ini masih utuh dan bersemayam di dalam salah satu pohon besar di hutan tersebut. Jenazah itu ada dalam keadaan baik dan terawetkan. Bahkan luka di kepala akibat benturan di dasar goa pun telah sembuh, berkat aliran energi alam yang berasal dari dalam Hutan Agnisaga. Selain itu, makhluk aneh berbentuk seperti serigala yang menghuni hutan, merawat jenazah itu dengan sangat baik karena nantinya tubuh tanpa nyawa itu akan menjadi inang bagi tuannya –penguasa sebenarnya dari Hutan Agnisaga– ketika bangkit suatu hari nanti. Setelah ditinggalkan oleh Nyonya Johannes selama satu tahun, Luna dan ayahnya menjadi tidak terlalu dekat. Kesibukan Tuan Johannes yang luar biasa di kebun, serta Luna yang menyibukkan diri mengurus rumah, membuat mereka jarang bertemu. Selain itu, Luna pun sekarang lebih pendiam, berbeda dengan sebelumnya yang selalu tampak ceria dan kekanak-kanakan. Pagi ini, Tuan Johannes sedang berada di gudang, guna mengecek pesanan daun teh segar. Ada sedikit masalah yang membuat Tuan Johannes harus turun tangan sendiri. Pihak pabrik meminta untuk menurunkan harga bahan baku daun teh, sementara biaya operasional yang dikeluarkan oleh kebun, setiap hari selalu naik karena dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak. Jeanne sudah mencoba untuk melobi, namun ia tidak berhasil membujuk pihak pabrik agar tetap menggunakan bahan baku dari kebun di desa. Bahkan mereka mengancam akan menggunakan daun teh dari perkebunan lain jika Tuan Johannes tidak menurunkan harga. Beruntung, setelah Tuan Johannes turun tangan sendiri, akhirnya kesepakatan berhasil dicapai dan nasib perekonomian desa berhasil diselamatkan. Setelah menyelesaikan masalah, sekarang tinggal dua orang yang berada di dalam gudang, yaitu Tuan Johannes dan Jeanne. Jeanne menatap lekat Tuan Johannes yang sedang termenung di depan layar komputer. “Tuan Johannes kenapa? Kok kayaknya murung gitu?” tanya Jeanne. “Gak apa-apa kok, Bu Jeanne, gak ada masalah,” sahut Tuan Johannes lesu. “Gak apa-apa gimana? Orang Tuan Kelihatan banget kalau lesu kok,” jawab Jeanne ketus. Tuan Johannes mendengus kesal, “Bu Jeanne gak harus tahu semua yang saya alamin kan?” Jeanne yang semula berdiri, tiba-tiba duduk di meja yang ada di depan Tuan Johannes. “Enggak sih, Tuan, tapi seenggaknya, dengan cerita, Tuan Johannes bisa merasa sedikit lebih baik. Gak bagus loh menyimpan beban sendirian, apa lagi Tuan Johannes harus selalu berurusan sama banyak orang … takutnya nanti gak fokus.” Tuan Johannes sedikit mendongak menatap Jeanne yang duduk di posisi sedikit lebih tinggi darinya. Wajah murung Tuan Johannes sangat mengisyaratkan jika ada beban berat yang sedang ia tanggung. “Saya cuma kepikiran Luna, Bu Jeanne …,” ucap Tuan Johannes lesu. “Luna kenapa, Tuan?” “Sejak kepergian ibunya, Luna tampak beda aja gitu, gak ceria kayak dulu lagi. Selain itu, hari ini tepat setahun ibunya meninggal. Rencananya saya mau mengadakan acara nyekar ke makam ibunya, tapi Luna kelihatan sama sekali gak antusias. Apa Luna gak kangen sama ibunya?” Tuan Johannes memegang kepala sambil menyangga siku di atas meja. Sesekali ia memijat dahi, sepertinya beban yang ia rasakan sangat berat. Apalagi Luna adalah satu-satunya keluarga bagi Tuan Johannes saat ini. “Emangnya Tuan gak curhat-curhatan sama Luna?” tanya Jeanne. “Gimana mau curhat-curhatan, Bu Jeanne? Orang kita ngobrol cuma seperlunya aja sekarang … Luna bener-bener kelihatan kayak orang lain sejak ibunya meninggal,” jawab Tuan Johannes kesal. Bercerita kepada orang lain, rupanya tidak selamanya membuat hati seseorang menjadi tenang. Terkadang, bercerita kepada orang lain pun bisa menambah beban pikiran, seperti yang dialami oleh Tuan Johannes. “Mohon maaf kalau saya lancang, Tuan. Tapi menurut saya, sepertinya Tuan sama Luna harus mulai ngobrol deh, gak baik diem-dieman terus kayak gini. Tuan kan ayahnya Luna, kepala keluarga juga. Sebagai kepala keluarga sih, Tuan harusnya tegas. Tuan sayang sama Luna kan?” Jeanne sedikit tersenyum ketika menyampaikan pendapat. Meski ia tahu bahwa Tuan Johannes sama sekali tidak memperhatikan ke arahnya, namun senyum di wajahnya masih tetap terukir manis. Mendengar kalimat Jeanne, Tuan Johannes hanya mengangguk pelan. Ia sedikit tahu tentang kesalahannya terhadap Luna. Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Jeanne. Semenjak kematian istrinya, Tuan Johannes memang terlalu sibuk di rumah, karena merasa jika tidak ada orang yang akan memarahinya ketika pulang terlambat, sehingga perlahan hal itu merusak kedekatannya dengan Luna, darah dagingnya sendiri. Tuan Johannes bersyukur telah mengobrol bersama Jeanne. Meski sejenak ia merasa beban di kepala bertambah, namun Jeanne berhasil memberikan solusi yang bisa ia terima. “Hahhh … ya udah, nanti saya coba ngobrol sama Luna. Semoga dia bisa diajak ngobrol,” ucap Tuan Johannes sembari berdiri dari kursi, lalu perlahan melangkah pergi dari gudang, kembali bekerja bersama para warga yang lain. Sore hari pun tiba, Tuan Johannes kembali ke rumah setelah seharian bekerja. Rasa lelah menghinggapi seluruh tubuh Tuan Johannes. Ingin rasanya melepas penat bersama Nyonya Johannes, karena hanya istrinya lah yang tahu bagaimana membuat Tuan Johannes bersemangat lagi usai bekerja. Tapi sayang, ia harus menghadapi kenyataan jika sekarang ia telah sendiri, menjadi seorang ayah tunggal bagi putri yang tidak ingin tumbuh dewasa. “Luna … Ayah pulang!” seru Tuan Johannes sambil membuka pintu samping. Tuan Johannes menengok ke kanan dan kiri, mencari keberadaan anak semata wayangnya yang tidak tampak di mana batang hidungnya. Tapi di atas meja makan telah tersedia menu lengkap untuk makan malam. Mata Tuan Johannes mulai mengembun setiap kali melihat betapa dewasanya Luna saat ini, mengingatkan ia akan kehadiran Nyonya Johannes yang selalu menyambutnya ketika pulang bekerja. Rasanya baru kemarin, tidak terasa sudah satu tahun. Tuan Johannes masih tidak rela kehilangan wanita yang paling bisa mengerti dirinya itu. “Luna!” Tuan Johannes kembali berteriak sambil berjalan ke lantai atas, tempat kamar milik Luna berada. Sesampainya di depan pintu kamar Luna, Tuan Johannes menghentikan langkah. Sebenarnya sangat memungkinkan jika Tuan Johannes menyelonong masuk. Ia adalah ayah dari Luna, bukan sebuah pelanggaran jika dirinya tiba-tiba masuk. Tetapi tidak, Tuan Johannes sangat menghormati ranah pribadi anaknya. Meski Luna memang selalu berkata jika ia tidak ingin menjadi dewasa, namun usia Luna yang sudah menginjak dua puluh dua tahun membuat Tuan Johannes harus memperlakukannya seperti wanita dewasa pada umumnya. Tuan Johannes mengetuk pintu, lalu memanggil nama Luna dengan lembut, “Luna ….” Mendengar suara ayahnya tepat di luar pintu kamar, membuat Luna yang sedang duduk menghadap jendela berdecak kesal. Ia merasa sangat malas jika harus bertemu dengan ayahnya. Dengan kasar, Luna membuka kunci pintu kamar dan memutar gagang pintu dengan keras. “Apa sih, Yah?” sahut Luna sambil menatap ayahnya dengan tatapan penuh rasa benci.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD