Tabir Jeanne dan Johannes

1742 Words
Pagi ini adalah hari paling cerah bagi keluarga Johannes pasca ditinggal pergi untuk selamanya oleh bidadari keluarga tersebut. Luna, yang sejak Nyonya Johannes meninggal, tidak pernah tersenyum, hari ini untuk pertama kalinya kembali ceria. Ia pun sekarang sudah mengobrol dengan ayahnya seperti sedia kala, berbeda dengan hari-hari sebelumnya di mana dua orang penghuni rumah mewah itu hanya saling diam. Bahkan hari ini, untuk pertama kalinya setelah Nyonya Johannes meninggal, Luna bersantap pagi bersama ayahnya dengan raut wajah yang sangat ceria. Di tengah-tengah mereka, ada satu orang asing yang berjasa mengembalikan Luna seperti sedia kala. Ia adalah Jeanne, wanita paruh baya dengan wajah cantik terawat khas perempuan terpelajar yang hidup di tengah kota. Jeanne juga lah yang memasak hidangan sarapan hari ini, karena Luna yang memintanya untuk menyiapkan menu makanan spesial untuk dua orang penghuni rumah yang telah lama kehilangan cita rasa masakan seorang ibu. Matahari sudah mulai tinggi ketika keluarga Johannes selesai bersantap pagi. Selepas sarapan, Tuan Johannes mengajak Jeanne ke gudang agar ia segera bekerja, mengingat para pekerja lain telah memulai hari sejak tadi. Jeanne sempat sedikit menolak, ia ingin membantu Luna membereskan kekacauan yang ditimbulkan akibat drama masak memasak sebelumnya. Tapi dengan tegas, Luna menolak tawaran Jeanne dan memintanya untuk segera bekerja. "Urusan bersih-bersih biar Luna aja yang kerjain," ucap Luna dengan wajah sumringah. Jeanne pun tidak bisa menolak permintaan bidadari kecil keluarga Johannes, karena ia tidak tega melihat Luna yang sudah sangat bersemangat. Jika Jeanne membantu Luna, ia berpikir akan membuat gadis itu kecewa dan mematahkan semangatnya. Tuan Johannes dan Jeanne tersenyum lega melihat Luna bersemangat mengangkat satu demi satu piring kotor dari meja makan. "Luna, Ayah dan Bu Jeanne berangkat dulu ya?" seru Tuan Johannes sambil mengajak Jeanne berdiri dari meja makan. "Iya, Yah … hati-hati!" sahut Luna dari dapur. Jeanne dan Tuan Johannes terkekeh melihat Luna yang penuh semangat. Mereka berdua pun akhirnya meninggalkan rumah, menyerahkan seluruh urusan kebersihan rumah kepada Luna. Tuan Johannes dan Jeanne pun berjalan melintasi perkebunan teh, demi tiba di gudang. Sepanjang jalan, beberapa warga melihat mereka berdua dengan tatapan aneh, heran, dan merasa tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depannya. "Ya ampun, lihat deh, Pak Duda dan Bu Janda lagi jalan bermesraan, " ucap seorang wanita paruh baya kepada lelaki tua yang kebetulan sedang lewat di sampingnya. Lelaki itu pun berhenti, lalu menengok ke arah Tuan Johannes dan Jeanne yang tampak sedang berbincang sambil berjalan. "Lah iya, bukannya baru setahun ya istrinya meninggal? Tuan Johannes udah gandeng wanita lain aja" celetuk lelaki itu. Matanya tidak lepas dari arah Tuan Johannes. Beruntung, jarak yang cukup jauh membuat Tuan Johannes tidak menyadari jika dirinya sedang menjadi bahan gosip. "Ish, gak malu apa ya? Jalan berduaan pagi-pagi gini," sahut si wanita menanggapi celetukan lelaki tua di sampingnya. "Duh, udah kelihatan kayak keluarga ya mereka? Tadi pagi, Luna jalan bareng sama Bu Jeanne. Sekarang, Tuan Johannes. Kayaknya desa kita habis ini bakal ada hajatan gede nih," ucap wanita berbaju merah yang tiba-tiba muncul di antara dua orang yang sedang bergosip. Mereka bertiga pun hanya bisa memandangi Tuan Johannes dan Jeanne dari jauh, karena mereka sadar jika memiliki status ekonomi dan kasta berbeda dengan orang yang sedang mereka gosipkan. Tuan Johannes adalah konglomerat yang berasal dari kota besar, serta Jeanne yang juga terlihat berpendidikan meski tidak terlalu kaya. Setibanya di depan pintu gudang, Tuan Johannes lagi-lagi mengucapkan terima kasih kepada Jeanne atas bantuannya terhadap Luna. Jeanne hanya tersenyum mendengar ucapan Tuan Johannes. "Tuan, gak mau mampir dulu?" ajak Jeanne sambil memutar kunci. "Enggak ah, kita juga gak ada keperluan buat ngobrol kan?" jawab Tuan Johannes sambil berbalik membelakangi Jeanne, hendak pergi dari gudang. "Yakin?" sahut Jeanne dengan nada bicara yang ia buat sedikit lembut dan mesra, membuat Tuan Johannes kembali menengok ke arahnya. Tuan Johannes menyungging bibir, lalu memandangi Jeanne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sejenak kemudian, Tuan Johannes menatap tajam Jeanne, membuat jantung wanita itu seakan melayang. "Mampir aja dulu …." Jeanne membuka pintu, lalu berjalan pelan memasuki gudang. Tuan Johannes mengikuti langkah Jeanne sambil melihat ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya masuk ke gudang dan hanya berdua dengan Jeanne. Di dalam gudang, Jeanne segera menghidupkan komputer dan duduk di mejanya. Tuan Johannes menutup pintu gudang, lalu melangkah ke belakang Jeanne. Jeanne hanya melirik Tuan Johannes sambil tersenyum, sebelum kemudian ia kembali fokus pada komputer di depannya. Tiba-tiba, tangan Tuan Johannes bergerak perlahan, memegang bahu Jeanne. Lalu, Tuan Johannes mengelus-elus bahu Jeanne dan memijatnya perlahan. "Kamu pasti capek ya? Semalam udah jagain Luna, hari ini masak bareng Luna," ucap Tuan Johannes. Jeanne hanya terkekeh kecil, "enggak kok, Mas, ngapain capek? Ini kan emang perjuangan kita buat merebut hati Luna." Tuan Johannes menghentikan pijatannya pada bahu Jeanne. "Ngomong-ngomong, gimana cara kamu bisa bikin Luna balik kayak dulu lagi? Setahun ini rasanya aku gak bisa apa-apa ngadepin anak itu," keluh Tuan Johannes. Jeanne menggerak-gerakkan jari jemarinya di udara. Tiba-tiba, kerlipan cahaya berwarna ungu muncul di sela-sela jari Jeanne. "Dengan ini," jawab Jeanne sambil memamerkan kemampuan magisnya. Tuan Johannes terpukau dengan kerlipan indah itu, seakan ada bintang-bintang terang yang menyinari jari jemari Jeanne. Mata Tuan Johannes berbinar, wajahnya termangu. Pantulan bintang-bintang berwarna ungu tampak jelas pada iris mata Tuan Johannes. "Kamu hebat banget … makasih udah bikin Luna suka sama kamu. Bentar lagi, kita pasti bisa menikah." Mata Jeanne terbelalak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tuan Johannes. Senyum di bibirnya seketika mengembang, wajahnya berubah merah. Ia tidak menyangka, kalimat itu akan keluar secepat ini. Tiba-tiba, Tuan Johannes melingkarkan tangan ke leher Jeanne, sambil mendekatkan kepala ke telinga wanita di depannya tersebut. Sontak Jeanne mengelus pelan kepala Tuan Johannes yang ada di sampingnya. Jeanne berusaha sekuat tenaga untuk menahan jantungnya yang akan meledak karena terlalu berdebar. Sebagai seorang wanita yang lama tidak disentuh oleh lelaki, ia merasakan ada getaran aneh pada dirinya. Tapi Jeanne tetap bersikap seolah semuanya baik-baik saja dan ia sudah terbiasa dengan perlakuan tersebut. "Sekarang Luna udah suka sama aku kan? Berarti udah gak ada lagi yang menghalangi kita. Istri Mas udah mati, anak Mas udah pasti merestui sekarang," ucap Jeanne dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya. "Gimana lagi, Sayang … aku harus tetap menjaga citra di depan para warga kan? Kalau citraku rusak, nanti warga gak ada yang percaya sama aku dan akhirnya aku bangkrut. Kamu gak mau itu terjadi kan?" sahut Tuan Johannes. "Jelas enggak dong, Mas, makanya kita bikin kematian istrimu itu kayak kecelakaan kan?" Jeanne menggeleng tidak percaya dengan apa yang telah ia dan Tuan Johannes lakukan selama beberapa waktu ke belakang. Mereka merencanakan segalanya bukan hanya dalam rentang waktu satu atau dua bulan, tetapi sangat jauh sebelum itu. Hari di desa masih terasa normal. Para pemetik teh tetap bekerja setiap pagi, sopir truk masih tetap mengantar teh ke pabrik, para petani masih tetap merawat tanaman teh dengan memberikan pestisida, dan seluruh kegiatan lain yang biasa berlangsung di desa. Hari terasa berlangsung begitu cepat. Lampu-lampu mulai hidup pertanda hari mulai gelap. Para hewan penghuni Hutan Agnisaga, terasa seperti berganti jadwal jaga. Hewan-hewan diurnal atau yang hidup di siang hari, segera beristirahat ketika matahari mulai tenggelam, digantikan oleh para hewan nokturnal atau hewan malam yang selalu berjaga, berkeliaran di gelapnya malam, bermain-main dan menari-nari tanpa peduli betapa seramnya Hutan Agnisaga. Seekor burung hantu bertengger di salah satu cabang tertinggi di hutan, sedang menikmati bulan sabit sambil mengawasi seluruh isi Hutan Agnisaga. Kemampuan penglihatan yang sangat bagus di malam hari, membuat burung hantu itu mengemban tugas dari kerajaan hewan untuk selalu berjaga setiap malam. Tapi malam ini, ada satu hal berbeda yang terjadi di hutan. Seekor kelelawar yang biasa hidup di dalam goa, beterbangan ke sana kemari seperti sedang panik. Ketika mengetahui ada burung hantu yang berjaga, kelelawar itu segera terbang melesat ke arahnya. Setibanya di depan burung hantu, kelelawar itu mempertahankan posisi di udara dengan terus mengepakkan sayap. Ia tidak bertengger, posisi hinggap yang terbalik membuatnya tidak nyaman jika harus menyampaikan kabar. "Ada apa? Kenapa kau tampak panik?" tanya burung hantu. "Anu … Tuan Burung Hantu, ada sesuatu yang aneh dengan kotak pusaka," jawab kelelawar. "Kotak pusaka? Aneh? Malam ini bukan bulan purnama, bagaimana bisa? Kau yakin dengan hal itu?" Burung hantu terlihat ragu dengan ucapan kelelawar. "Saya yakin, Tuan, kotak pusaka itu mengeluarkan getaran frekuensi rendah yang hanya bisa didengar oleh kaum kami. Kami sangat tidak nyaman berada di dalam goa karena getaran itu. Para bayi kelelawar menangis tanpa henti, para jantan terbang memutar, mengepakkan sayap dengan kencang agar getaran itu tidak terdengar. Tetapi tidak bisa, Tuan! Getaran itu terlalu kuat!" keluh kelelawar kepada burung hantu. "Baiklah, Kelelawar. Sekarang, kembalilah ke goamu. Aku akan membereskan ini" perintah burung hantu. "Baik, terima kasih, Tuan!" Kelelawar itu pun segera terbang melesat, memberitahu kepada kawanannya bahwa burung hantu sudah menerima kabar tersebut. Burung hantu memutar kepala perlahan ke belakang, membuat kepala dan badannya menghadap ke arah berlawanan. Ia mencari serigala berkaki dua yang menjadi pengawal setia dari orang yang dibelenggu di dalam kotak pusaka. Setiap inci dari Hutan Agnisaga, tidak lepas dari matanya. Ia memeriksa setiap sudut hutan hanya dari tempatnya berdiri saat ini. "Itu dia!" ucap burung hantu ketika melihat serigala berkaki dua sedang berjalan santai di salah satu sudut hutan. Burung hantu merentangkan sayap, lalu terbang melesat melewati pepohonan hutan yang rimbun. Ia menukik ke bawah, dengan cepat tiba di samping serigala berkaki dua, lalu hinggap di salah satu cabang yang ada di atas serigala tersebut. "Hei Tuan Pengawal!" sapa burung hantu. "Ah!" sahut serigala itu terkejut. Kepakan sayap burung hantu yang tidak menimbulkan suara, membuat kehadirannya nyaris tidak bisa dirasakan oleh makhluk lain di sekitarnya. "Kau membuatku terkejut! Ada apa? Kenapa kau meninggalkan penjagaanmu?" tanya serigala berkaki dua itu. "Seekor kelelawar baru saja memberitahu kepadaku jika ia merasakan getaran aneh pada kotak pusaka," ucap burung hantu. "Getaran? Aku tidak merasakan apapun!" sahut serigala berkaki dua. "Aku pun tidak merasakannya. Tetapi kelelawar berkata jika getaran itu hanya bisa dirasakan oleh dia dan kawanannya," terang burung hantu. Serigala berkaki dua menggeram pelan, menunjukkan taring tajam yang mengkilap memantulkan sinar rembulan. "Baiklah, aku akan memeriksanya. Kau kembalilah ke tempatmu berjaga, Burung Hantu," titah serigala tersebut. Burung hantu segera mengepakkan sayap sekuat tenaga, terbang memecah malam guna kembali berjaga. Sementara, ada kilatan cahaya berwarna putih yang terlihat mengelilingi tubuh serigala berkaki dua. Bulu berwarna perak kehitaman di tubuhnya mengembang, membuat badan serigala itu tampak jauh lebih besar. Lalu, serigala tersebut bergerak secepat kilat, meninggalkan garis cahaya berwarna putih di belakangnya. Hanya dalam waktu sepersekian detik, serigala itu telah sampai di depan kotak pusaka berwarna emas yang mengeluarkan sinar redup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD