Jeanne dan Luna

1892 Words
Gemerlap bintang di malam gelap menjadi teman bagi dua orang perempuan yang berjalan menyusuri desa. Dinginnya malam, membuat dua orang perempuan yang sedang berjalan, yaitu Luna dan Jeanne, mengenakan pakaian tebal untuk melindungi tubuh mereka. Suasana desa yang remang-remang, membuat Jeanne dan Luna harus berhati-hati, agar tidak tersandung atau terjerembab ke dalam lubang. Beberapa saat berjalan, Luna dan Jeanne tiba di sebuah rumah sederhana yang berada di tengah wilayah pemukiman warga. Suara gemerincing kunci yang keluar dari saku, memecah keheningan malam. Luna memperhatikan dengan seksama wanita paruh baya yang berdiri di depannya. Tatapan Luna masih tetap sinis, meski ia sudah menceritakan banyak hal kepada Jeanne. Luna hanya berpikir, lebih baik malam ini menginap di rumah Jeanne daripada ia harus ribut dengan ayahnya di rumah. Sesaat kemudian, Luna mendengar suara gagang pintu yang berputar. Rumah Jeanne yang gelap, menyambut dua orang perempuan yang akan menghabis malam bersama-sama. "Bentar, Bu Jeanne hidupin lampu dulu," ucap Jeanne sambil menyelonong masuk, meninggalkan Luna sendirian di luar rumah. Beberapa detik kemudian, bagian dalam rumah Jeanne tampak terang. Terlihat sudah perabot rumah tangga sederhana yang ada di dalam rumah tersebut. "Masuk aja, Luna!" seru Jeanne dari belakang. Luna tampak ragu ketika ingin memasuki rumah tersebut. Ia merasa tidak aman. Rasanya, kediaman Jeanne tampak seperti rumah penyihir yang penuh dengan mantra gelap. Meski lampu telah menyala, tidak mengurangi aura gelap yang terasa pekat di dalam rumah tersebut. Dengan ragu, Luna melangkah perlahan. Tetapi saat ia tinggal satu langkah lagi memasuki rumah tersebut, rasa ragu kembali menghantui pikirannya. Tiba-tiba, Jeanne muncul dari pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dan ruang tengah. "Loh, kok masih di luar? Ayo sini." Jeanne berjalan santai dari dalam rumah, menghampiri Luna yang masih mematung di tempatnya. Luna semakin ragu, ia mundur satu langkah menjauh dari pintu rumah Jeanne. "Lu–Luna pulang aja deh, Bu Jeanne … Luna gak pernah nginep di rumah orang lain sebelum ini," ucap Luna sambil memegang telapak tangannya sendiri. "Loh, kenapa? Di sini gak apa-apa kok … Bu Jeanne cuma sedikit kuatir sama Luna, keadaan di rumah kan lagi gak baik-baik aja … Bu Jeanne takut nanti Luna tambah berantem sama ayah Luna." Jeanne keluar dari pintu rumah, mendekati Luna perlahan dan memberikan elusan lembut pada punggungnya. "Tapi …." Luna tampak ragu. Tetapi tanpa Luna sadari, Jeanne mendorong perlahan-lahan punggung Luna, membuat kaki gadis itu melangkah sedikit demi sedikit di tengah keraguan yang melanda pikirannya. "Masuk aja dulu … kalau gak betah, nanti Bu Jeanne bakal anter Luna pulang," ucap Jeanne meyakinkan Luna jika tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan saat ini. "Bu Jeanne …," sahut Luna ketika tanpa sadar, kaki kirinya telah melewati pintu rumah Jeanne. Gadis manis itu tetap mengenakan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah. Sejenak, Luna merasa tidak kuasa menolak ajakan Jeanne untuk masuk ke dalam rumahnya. Rasanya, sekuat apapun Luna Menolak, badannya tanpa sadar bergerak mengikuti perkataan Jeanne. Luna pun merasakan sesuatu yang aneh pada telapak tangan Jeanne yang menempel pada punggungnya. Ada rasa hangat yang tidak wajar. Tatapan mata sayu dan takut yang ada di mata Luna, tidak membuat Jeanne berhenti mendorongnya. Bahkan Jeanne menambah tenaga dorongan, agar Luna segera memasuki rumahnya. Sebuah paksaan yang dilakukan dengan sangat halus. Saat memasuki rumah Jeanne, raut wajah Luna berubah drastis. Rasa takut yang semula ada di matanya, kini sirna sudah, tergantikan dengan wajah ceria yang khas, seperti ketika Nyonya Johannes masih hidup. Senyum di bibir Luna mengembang, ia dengan santai melangkah semakin dalam ke ruang tamu rumah Jeanne. Bahkan Luna tanpa sungkan langsung merebahkan diri di sofa sederhana yang ada di depannya. "Astaga … nyaman banget rumah Bu Jeanne, kenapa gak dari dulu Luna main ke rumah ini …." Luna menggosok-gosok badannya ke sofa, seperti kucing yang menemukan tempat tidur nyaman. "Gimana, Luna? Gak kalah nyaman sama rumah kamu kan, meski sederhana?" ucap Jeanne sambil duduk di ujung sofa yang ditempati Luna. "Iya, nyaman banget, Bu Jeanne … tahu gini Luna gak perlu takut mau masuk tadi, hehehe …." Luna terkekeh seperti tidak memiliki dosa. Raut wajah ini, kegembiraan ini, kepolosan ini, adalah Luna yang selama ini ia kenal. Seorang gadis yang tidak pernah menunjukkan kesedihan di depan orang lain, seorang gadis dewasa yang masih bertingkah seperti anak-anak, inilah jati diri Luna, bukan seperti yang terlihat di rumah keluarga Johannes tadi. "Emang kenapa tadi Luna takut?" tanya Jeanne menelisik. "Ya … Luna kira, rumah ini serem. Soalnya kadang Bu Jeanne kelihatan kayak penyihir, hehehe," jawab Luna sambil terkekeh. Jeanne sangat terkejut mendengar jawaban Luna, namun ia berusaha sebaik mungkin menyembunyikan itu dari gadis yang sedang rebahan di sampingnya. Jeanne menutupi rasa terkejut itu dengan senyum hangat khas wanita paruh baya yang meneduhkan bagi anak-anak. "Kok penyihir? Emangnya Bu Jeanne sejahat itu ya? Kan Bu Jeanne gak pernah jahat sama orang lain …." Jeanne iseng menggelitik pinggang Luna, membuat gadis itu tertawa terbahak-bahak sambil menendang-nendang, berusaha melepaskan diri dari gelitikan Jeanne karena tidak kuasa menahan geli. "Bu Jeanne, berhenti! Hahahaha …." Luna berusaha meraih tangan Jeanne yang tidak berhenti menggelitik pinggangnya. Namun, secepat apapun Luna berusaha meraih, tangan Jeanne bergerak lebih cepat, membuat Luna semakin merasa geli karena perbuatan Jeanne. "Ampun, Bu Jeanne, ampun!" Luna menggeliat, berguling, hingga terjatuh dari sofa, membuat Luna dan Jeanne pun akhirnya tertawa bersama-sama. "Udah, Bu, udah!" Luna merentangkan kedua tangan ke depan, agar Jeanne berhenti. Dua perempuan ini tidak terlihat seperti ibu dan anak, tetapi lebih tampak seperti kakak dan adik. "Kenapa, hem? Emangnya Bu Jeanne jahat sama Luna? Sampai dibilang penyihir itu," protes Jeanne. "Ya … gak gitu sih, tapi Luna mikirnya rumah ini tuh serem, banyak hantunya, huwa!" Luna mengangkat kedua tangan, memperagakan pose serigala yang akan menerkam mangsanya. Tingkah lucu Luna membuat Jeanne tertawa semakin keras. Tingkah lucu gadis itu benar-benar menghibur seorang wanita yang tinggal sendirian seperti Jeanne. "Ngomong-ngomong, Bu Jeanne … Bu Jeanne sendirian di rumah ini?" tanya Luna yang masih duduk di lantai. Badannya terasa sangat lemas setelah digelitiki oleh Jeanne, membuat Luna tidak sanggup bangkit untuk duduk di sofa dengan benar. Jeanne menghela nafas mendengar pertanyaan dari Luna. "Sekarang sih sendiri, karena anak-anak Bu Jeanne sedang kuliah di Jember," jawab Jeanne lesu. "Wah … Bu Jeanne punya anak?" tanya Luna antusias. "Punya dong, Luna … anak Bu Jeanne ada dua, perempuan semua, cantik-cantik seperti Luna," sahut Jeanne sambil menyentil hidung Luna pelan, membuat Luna semakin salah tingkah karena mendapat kasih sayang dari orang lain setelah ibunya meninggal. Malam ini, dua perempuan itu akhirnya menghabiskan waktu dengan saling mencurahkan isi hati masing-masing. Luna bercerita panjang lebar tentang momen-momen kebersamaan dengan ibunya sejak kecil, sedangkan Jeanne bercerita tentang bagaimana ia menghadapi kesepian, menghadapi perceraian, serta bagaimana ia dan mantan suami membagi waktu untuk anak-anaknya. Malam ini, Luna belajar banyak hal dari Jeanne, tentang apa saja yang diperlukan untuk menjadi dewasa. Keesokan pagi, Jeanne mengantar Luna pulang ke rumahnya. Tapi, berbeda dengan semalam yang langsung melewati daerah pemukiman, pagi ini Luna meminta Jeanne menemaninya berkeliling area perkebunan. Senyum sumringah masih terpancar dari wajah Luna. Sinar matahari yang hangat, mampu memecah dinginnya wilayah pegunungan pagi ini. Luna terlihat sangat bersemangat, berjalan santai di bawah terik matahari pagi. Jeanne mengikuti langkah Luna dari belakang. Para warga yang sedang beraktivitas di kebun merasa takjub dan heran dengan kehadiran Luna di tengah-tengah mereka. Satu tahun sudah, anak dari Tuan Johannes ini tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Pemandangan lagi ini terlihat cukup langka bagi warga desa. "Luna kelihatan sehat-sehat aja sih ya?" bisik salah seorang warga berbaju biru yang sedang memetik teh. "Setahun ini dia ke mana ya? Apa disekap sama ayahnya?" sahut warga yang lain yang mengenakan pakaian merah. "Heh, jangan ngawur sampean! Tuan Johannes itu orang baik, masa iya dia menyekap anaknya sendiri?" bantah warga berbaju biru. "Ya siapa tahu kan? Orang Luna itu mirip banget sama ibunya. Siapa tahu Tuan Johannes itu takut kejadian yang menimpa istrinya menimpa Luna …," jawab warga berbaju merah. "Jangan sampai kayak gitu sih. Tapi kalau sampai itu yang beneran terjadi … ya ngeri sih," sahut warga berbaju biru dengan tetap berbisik. Beruntung, jarak kedua warga itu cukup jauh dari Luna dan Jeanne, sehingga dua orang perempuan yang tampak gembira itu tidak terganggu dengan obrolan liar dari warga yang bergosip di belakangnya. Setelah melewati perkebunan teh yang luas, akhirnya Luna dan Jeanne tiba di rumah Tuan Johannes. "Ayaaah!" seru Luna sambil membuka pintu belakang dengan semangat. Sayangnya, Luna harus kecewa karena tidak mendapat jawaban dari sang ayah. Namun sayup-sayup, Luna mendengar suara seseorang sedang mengguyur badan di kamar mandi. Luna tersenyum kecut sambil memicingkan mata, kesal karena kedatangannya tidak disambut. "Luna, Bu Jeanne pamit dulu ya? Habis ini Bu Jeanne masih harus kerja," ucap Jeanne yang tidak ikut masuk ke rumah Luna. Wanita paruh baya itu berbalik dan hendak melangkah pergi, namun Luna dengan sigap memegang tangannya. "Bu Jeanne sini dulu, kita makan bareng." Luna menarik tangan Jeanne dengan lembut, menuntunnya duduk di meja makan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka dari kamar mandi. Luna memberi isyarat kepada Jeanne agar tetap diam, namun ia sendiri harus menahan tawa ketika Tuan Johannes berdiri di depan mereka dengan hanya mengenakan sehelai handuk. "Luna? Bu Jeanne?" ucap Tuan Johannes terkejut. "Ayaaaah!" Luna segera bangkit dan memeluk ayahnya dengan erat. "Eh bentar, Ayah ganti baju dulu, malu dilihat sama Bu Jeanne." Tuan Johannes melepaskan diri dari pelukan Luna, lalu segera berlalu menuju ke kamarnya. Sepanjang jalan, mata Jeanne tidak lepas dari tubuh Tuan Johannes. Bagaimana tidak? Meski usia pria paruh baya itu sudah tidak muda lagi, tetapi aktivitas fisik yang padat membuat badan Tuan Johannes masih tampak terjaga. Tidak bisa dipungkiri jika Jeanne merasakan desiran aneh di belakang lehernya. Sebagai seorang wanita yang sudah lama tidak merasakan tubuh lelaki, sangat normal apabila Jeanne merasa sedikit tergoda dengan tubuh Tuan Johannes yang terpampang di depannya. "Kalian bikin kaget aja, muncul tiba-tiba," ucap Tuan Johannes yang baru saja keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian lengkap. Tampak dari wajahnya jika Tuan Johannes masih sangat malu dengan kejadian yang baru saja dialami. "Luna tadi masuk, panggil Ayah, tapi Ayah gak denger," sahut Luna sambil cemberut. Tuan Johannes melirik Jeanne dengan tatapan penuh tanda tanya. Baru semalam Luna bersamanya, tetapi gadis itu telah berubah menjadi seperti sedia kala. Jeanne yang menyadari tatapan aneh dari Tuan Johannes hanya mengangkat bahu, ia tidak berkomentar apapun tentang perubahan perilaku Luna. Tuan Johannes harus berpikir cepat. Sepertinya, pagi ini bukan saat yang tepat untuk membahas apa yang terjadi kemarin. Tuan Johannes harus memanfaatkan suasana hati Luna yang sedang baik, berjaga-jaga jika Luna kembali murung seperti sebelumnya. "Luna udah makan?" tanya Tuan Johannes. "Belum, tadi di rumah Bu Jeanne, Luna pengen bantuin masak. Luna tuh pengen belajar masak yang bener, Yah, soalnya Luna sekarang cuma bisa masak mie instan aja. Tapi kata Bu Jeanne, kasihan Ayah kalau ditinggal makan sendirian. Jadi Bu Jeanne nganter Luna pulang deh." Luna bercerita dengan sangat bersemangat. Belum sempat Tuan Johannes menjawab perkataan Luna, gadis itu sudah kembali melontarkan kalimat. "Bu Jeanne, ayo!" Luna menarik tangan Jeanne menuju ke dapur. Dengan setengah terpaksa, Jeanne berdiri dari tempatnya dan berjalan ke dapur. Tuan Johannes hanya terkekeh melihat betapa akrabnya dua orang perempuan ini. Ia tidak menyangka, padahal kemarin Luna dan Jeanne tampak seperti musuh bebuyutan yang saling membenci. Tuan Johannes berharap, semoga suasana hati Luna tetap baik hingga seterusnya. Namun pria paruh baya itu tidak sadar, jika ada aura gelap yang terpancar dari tubuh Luna, hingga membuat kotak pusaka yang ada di tengah Hutan Agnisaga bergetar meski tidak sedang bulan purnama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD