Luna

1858 Words
Suasana tegang tergambar jelas di ruang makan rumah Keluarga Johannes malam ini. Luna dan Jeanne duduk berseberangan, sementara Tuan Johannes duduk di antara keduanya. Meja makan kecil yang sederhana menjadi saksi perang dingin yang terjadi. Dengan santai, Jeanne mengambil makanan yang ia bawa, lalu diberikan kepada Luna. Senyum hangat tidak lepas dari bibirnya. Cara Jeanne melihat Luna, seakan melihat anaknya sendiri. Luna memakan dengan malas, hidangan yang diberikan oleh Jeanne. Ia semakin tidak nyaman karena Tuan Johannes dan Jeanne tidak ikut makan bersamanya, tetapi hanya menyaksikan Luna menyantap makanannya. Baru beberapa suapan, Luna sudah meletakkan alat makannya di atas meja. “Kenapa, Luna? Gak enak makanannya?” Jeanne tampak terkejut dengan tindakan Luna, ia menatap gadis dua puluh dua tahun itu dengan heran. Mendengar pertanyaan dengan nada protes dari Jeanne, Luna hanya mengangkat bahu sambil mengalihkan pandangan dari dua orang dewasa di depannya. "Udah kan? Luna udah makan, sekarang Luna mau balik ke kamar," ucap Luna ketus. "Luna, kita mau bicara dulu sama kamu," ucap Tuan Johannes mencegah anaknya beranjak. Luna mendengus kesal, lalu kembali duduk. "Ngomong apa? Ayo cepet ngomong!" Gadis itu melipat tangan ke depan, sambil menatap ayahnya dengan sinis. "Luna …," ucap Jeanne dengan lembut. Sapaan lembut Jeanne hanya dibalas dengan lirikan tajam dari gadis di depannya. Jeanne melirik ke arah Tuan Johannes, lalu pria paruh baya tersebut menghela nafas dan pergi dari ruang makan. "Luna … maaf kalau Bu Jeanne terkesan ikut campur urusan kamu. Bu Jeanne di sini orang luar. Tapi Bu Jeanne dapet kabar dari ayah Luna, kalau Luna sekarang udah gak ngobrol sama ayah Luna sejak ibu Luna meninggal ya? Bu Jeanne boleh tahu alasannya apa?" Jeanne berusaha selembut mungkin memperlakukan Luna, agar gadis itu tidak tersinggung dan merasa terganggu dengan apa yang dilakukan olehnya. "Cih, Bu Jeanne ikut campur aja sih! Bu Jeanne udah tau kan kalau Bu Jeanne itu orang luar? Kenapa masih kepo?" jawab Luna ketus. "Iya, Bu Jeanne tahu kalau Bu Jeanne orang luar, makanya Bu Jeanne tadi minta maaf dulu ke Luna. Bu Jeanne di sini cuma pengen bantu sedikit. Bu Jeanne tanya deh, apa perasaan Luna sekarang? Marah? Sedih? Merasa kehilangan?" Jeanne mencoba mengulik isi hati Luna. "Gak tau ah, males!" sahut Luna dengan kasar. "Gini, Luna … kita tuh butuh ngomong, kalau emang ada perasaan jelek di dalam kepala. Misal marah, sedih, Luna ngomong aja. Bu Jeanne di sini gak akan menyalahkan Luna, dan ayah Luna juga nanti Bu Jeanne kasih tahu agar gak marah sama Luna. Kalau perlu, Luna boleh nginep di rumah Bu Jeanne untuk sementara, misal Luna takut sama ayah Luna. Luna cerita sedikit-sedikit sama Bu Jeanne ya?" Jeanne tidak menyerah untuk merayu Luna perlahan-lahan. Ia yakin, ada suatu hal besar yang disembunyikan Luna di dalam pikirannya. Sesuatu yang membuat keluarga Johannes tidak seharmonis ketika Nyonya Johannes masih hidup. Pertanyaan Jeanne membuat Luna berpikir. Suasana malam ini berubah hening, suara jangkrik yang bernyanyi mengiringi malam, terdengar jelas di ruang makan tempat Luna dan Jeanne berada. Perlahan, Luna kembali mengambil sendok di depannya, lalu ia mainkan mengelilingi makanan di atas piring. Jeanne hanya menunggu, ia tidak ingin mengganggu proses berpikir dari gadis di hadapannya. Ia tahu, semakin Luna dipaksa secara kasar, isi hatinya tidak akan keluar. Sekitar lima belas menit waktu berjalan, tidak ada obrolan lain yang terlontar dari mulut Jeanne dan Luna. Keduanya masih tetap diam. Hingga akhirnya, satu kata pembuka keluar saat Luna meletakkan kembali sendok di tangannya. "Jadi …." Luna pun menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Kisah ini bukan hanya peristiwa yang baru terjadi, melainkan sebuah rangkaian kejadian yang bergulir sejak waktu yang lama. Luna adalah anak yang sejak kecil terkenal penurut, manis, dan polos. Ia lahir di sebuah kota besar, dengan seluruh fasilitas dan kemudahan yang ada di sana. Setelah usia Luna menginjak enam tahun, Tuan Johannes pindah ke desa di lereng Gunung Gumitir, membawa serta anak dan istrinya. Meski saat itu Luna masih sangat kecil dan belum terlalu mengerti tentang lingkungan, namun Luna sudah memiliki situasi di mana ia merasa nyaman. Sebagai anak kecil, Luna merasa sangat nyaman hidup dan tinggal di kota. Ketika ia menginginkan mainan, ayahnya selalu sedia membelikan di toko mainan yang tidak jauh dari rumah mereka. Saat Luna ingin makan di restoran, keluarga bahagia itu hanya tinggal membawa mobil beberapa menit hingga sampai ke restoran cepat saji kegemaran Luna. Awal mula Luna pindah ke desa, ia sangat rewel karena tidak bisa lagi pergi ke restoran kegemarannya dan tidak bisa bebas meminta mainan seperti sebelumnya. Akses menuju ke pusat kota sangat jauh. Untuk pergi ke pusat kota Banyuwangi saja, butuh waktu sekitar tiga jam perjalanan dari desa. Ke Jember, butuh waktu dua jam. Bagi Tuan Johannes yang cenderung sibuk di desa, waktu dua jam terasa sangat panjang dan berharga. Menginjak tujuh tahun, Luna mulai terbiasa bermain sendiri. Hal itu karena ayah dan ibunya cenderung membiarkan Luna ketika gadis kecil itu merengek dan menangis. Sehingga terpupuk lah di dalam pikiran Luna, jika tidak ada yang akan datang membantu saat ia menangis. Hal itu secara terpaksa membentuk Luna menjadi seorang gadis yang tidak pernah mengeluh. Ia selalu menyimpan semua kesedihan. Bahkan saat sendiri pun, Luna tidak pernah menangis karena sadar jika tidak ada yang kasihan terhadapnya. Menginjak usia delapan tahun, Luna mulai merasa jika ia diperlakukan berbeda dengan anak-anak seusianya. Jika anak-anak yang lain pergi sekolah, Luna hanya berdiam diri di rumah. Sebenarnya, Luna sangat ingin pergi sekolah seperti anak-anak yang lain. Namun sayang, ia hanya bisa menyaksikan gelak tawa anak-anak lain dari balik jendela kamar. Tuan dan Nyonya Johannes sepakat untuk mendatangkan guru ke rumah, demi mengajari Luna seluruh materi yang ia butuhkan, seperti baca tulis dan berhitung, sejarah, pengetahuan umum, serta materi-materi lain sesuai dengan usianya. Meski Luna tidak pernah sekolah formal, namun ia tetap mendapatkan ijazah. Usia empat belas tahun, sebenarnya merupakan usia yang cukup matang untuk seorang gadis mengenal lawan jenis. Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Luna. Di saat banyak anak-anak seusianya yang mulai meninggalkan desa karena harus menempuh pendidikan, Luna masih tetap "terkurung" di desa karena rasa posesif yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Desa tempat Luna tinggal memang kecil. Untuk pendidikan, hanya tersedia sekolah hingga tingkat SD. Untuk tingkat SMP atau SMA, anak-anak di desa harus pergi ke Kalibaru yang berjarak setengah jam dari desa. Beberapa anak desa masih pulang-pergi dan berinisiatif untuk bangun lebih pagi, demi mengejar angkot yang mengantar mereka ke sekolah. Sebagian lain memilih untuk kos di Kalibaru, demi menghemat waktu perjalanan. Masa remaja yang seharusnya banyak dihabiskan untuk menjelajah dan mengenal hal baru, tidak dapat dinikmati oleh Luna. Gadis yang merupakan anak semata wayang bagi keluarga Johannes tersebut, menghabiskan sebagian besar waktu berada di rumah. Untuk urusan pendidikan, Tuan Johannes memanggil guru untuk mengajar di rumah. Hal itu kembali terulang ketika Luna menginjak usia tujuh belas tahun, di mana anak-anak yang lain mulai menginjak usia SMA, Luna hanya menghabiskan waktu di rumah, belajar bersama guru yang diutus ayahnya. Dua puluh tahun adalah usia yang cukup tua untuk seseorang yang baru lulus SMA. Sayangnya, usia masuk sekolah waktu kecil yang terlambat, membuat Luna baru menyelesaikan pendidikan saat usianya menginjak kepala dua. Tepatnya, dua tahun yang lalu. Sejak saat itu, Luna mulai diperbolehkan untuk bermain di luar. Menghabiskan masa kecil di rumah, membuat Luna seakan menemukan kesenangan ketika ia bermain di luar rumah. Dibanding menghabiskan waktu bersama orang-orang sebaya, Luna lebih memilih untuk mencari kembali kebahagiaan yang tidak ia dapatkan ketika kecil. Luna lebih sering mengajak anak-anak desa bermain permainan tradisional. Sebagai anak yang berusia jauh di atas anak-anak desa pada umumnya, membuat Luna dengan mudah memenangkan beberapa permainan melawan anak-anak desa. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena akhirnya Luna bisa merasakan kesenangan yang sama saat ia berperan menjadi pengasuh dan penjaga anak-anak. Hal itu membuat anak-anak desa senang, karena mereka bisa mendapat teman bermain dan pengasuh di waktu yang sama. Kapan lagi mereka memiliki pengasuh yang tidak banyak memberikan aturan? Hanya Luna lah yang mampu bermain dan mengasuh di waktu yang bersamaan. Di luar, Luna bisa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun jauh di dalam hati, Luna merasa kesepian. Sikap posesif yang ditunjukkan ayah dan ibunya sejak Luna kecil, memupuk beban di dalam pikirannya. Terkadang, Luna membandingkan dirinya dengan anak-anak desa yang lain. Luna terkadang merasa iri, di mana anak-anak bisa bermain bebas di luar rumah, sementara ia harus menunggu hingga berusia cukup matang hanya untuk sekadar bermain di luar. Selain itu, Luna juga merasa jika pertumbuhan karakternya sangat lambat. Terbiasa dimanjakan sejak kecil, membuat Luna tumbuh menjadi seorang pribadi yang tidak mandiri. Luna bahkan belajar mengerjakan pekerjaan rumah tangga dari rumah warga yang biasa ia datangi setiap hari. Miris memang, sebuah keluarga yang terlihat penuh kasih sayang di luar, memiliki ruang rapuh yang sangat besar di dalamnya, yang jika tersentuh sedikit saja, bisa menciptakan kehampaan yang tampak gelap dan dingin. "Lalu, kenapa sikap Luna berubah semenjak ibu Luna meninggal?" tanya Jeanne menanggapi cerita panjang yang diutarakan oleh Luna. "Karena Luna gak siap," jawab Luna singkat. Matanya mulai berkaca-kaca, tangan lembutnya mengepal erat di atas meja. Ada kemarahan besar yang berusaha ia tahan saat ini. "Gak siap soal apa, Luna?" Jeanne masih menggunakan intonasi lembut, karena merasa mulai berhasil menyentuh titik terdalam di hati gadis manis di depannya. Seketika, tangis Luna pecah. Air mata yang selama ini ditahan di hadapan orang lain, mengalir tanpa permisi. Luna harus menundukkan kepala, ia tidak berani melihat ke arah Jeanne. Malu rasanya, seorang Luna yang terbiasa menghapus air matanya sendiri sejak kecil, harus menangis di depan orang lain. Terakhir kali ia menunjukkan sisi lemah, adalah ketika ibunya tiada. Setelah itu, Luna kembali berlagak kuat, hingga hari ini, di mana Jeanne berhasil mengetuk pintu terdalam di hatinya. "Luna gak siap, kalau harus menggantikan posisi ibu. Luna gak sanggup, gak bisa kalau harus bersikap dewasa. Sejak kecil, Luna gak bisa menikmati waktu seperti anak-anak yang lain. Luna baru bisa menikmati waktu bermain setelah gede. Lalu, baru aja Luna gede, ibu udah gak ada. Rasanya kepala Luna mau pecah kalau terus mikirin itu!" Luna memegang kepala dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mengepal dan mengetuk-ngetuk kepala dengan sedikit keras. Jeanne coba mengerti. Ia tidak ingin menyalahkan Luna mengenai apa yang ia lakukan selama ini. Tapi, apa yang dikatakan oleh Luna belum cukup. Ada suatu hal yang masih ingin Jeanne ketahui. "Kalau Luna emang gak siap menggantikan posisi ibu Luna, kenapa Luna menolak bantuan dari orang lain?" tanya Jeanne menelusur. "Karena …." Luna berdiam beberapa saat. Pandangan matanya sayu ke bawah, ia masih terisak. "Karena Luna gak bisa mikir. Luna harus jadi dewasa, Luna gak bisa," jawab Luna dengan polos. "Luna kangen sama ibu Luna?" tanya Jeanne. Luna hanya mengangguk pelan, tangisannya belum juga mereda. "Malam ini Luna mau nginep di rumah Bu Jeanne? Biar Bu Jeanne yang izin ke ayah Luna. Gimana? Mau?" Sambil terisak, Luna mencoba berpikir. Satu sisi, ia bingung. Kenapa ia harus menginap di rumah Bu Jeanne? Tapi sisi lain, apa yang dikatakan oleh Bu Jeanne di awal memang ada benarnya. Bisa jadi, Tuan Johannes sakit hati mendengar cerita yang dikatakan oleh Luna. Beberapa saat terakhir, Luna sempat bertengkar dengan ayahnya. Saat ini, Luna tidak ingin mendengar kemarahan dari ayahnya. Akhirnya gadis itu berpikir, mungkin memang tidak salah jika ia mengambil kesempatan untuk menenangkan diri si rumah Jeanne.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD