04. Pengakuan.

1094 Words
Sean segera menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang rawat kekasihnya. "Apa yang terjadi pada kekasihku, Dok?" tanya Sean. Keano hanya mengamati dari kejauhan. Sang dokter hanya menggeleng dan mengajak Sean ke ruang pribadinya. Ada hal penting yang harus dia katakan pada pria ini. Beberapa menit setelahnya, Sean keluar dari ruang pribadi dokter tersebut, nampak pria itu berjalan dengan langkah lunglai. Wajah lesu dan tatapan mata kosong. Sang ibu berlari menghampiri Sean. "Apa yang terjadi, Nak? Apa Valentina baik-baik saja?" Tanya menggebu wanita itu. Sean menatap redup wajah cemas sang ibu. "Dia baik-baik saja, tapi--" Ucapan Sean terhenti. Sang ibu mengguncangkan kedua bahu putranya. "Apa yang terjadi?! Katakan!" "Valentina hamil." Seng ibu terdiam sesaat namun setelahnya dia tersenyum lebar. "Bukankah itu bagus? Mama akan segera mempunyai cu-" "Tapi aku tidak pernah berhubungan dengan Valentina, Mam!" Sang ibu membeku, mendengar ucapan putranya. Lalu dengan siapa gadis itu hamil? Tubuh wanita paruh baya itu memundurkan tubuhnya yang mendadak lemah. Ayah Sean terlihat murka, dia segera membantu istrinya berjalan. Meninggalkan tempat tersebut. Terlalu kecewa dengan apa yang calon menantunya lakukan. Keano menatap kosong lantai di hadapannya, tubuhnya bergetar. Dia sangat yakin jika anak yang ada dalam kandungan Valentina adalah darah dagingnya. Namun dia bingung harus bagaimana. Sean mengusak rambutnya frustasi, tak habis pikir dengan kelakuan kekasihnya. Beraninya gadis itu bermain di belakangnya. Sean memang tidak mencintai Valentina namun dia juga sangat benci dengan yang namanya penghianatan. Sean memutuskan untuk masuk ke ruang rawat kekasihnya. Menatap sosok gadis yang kini bersandar di ranjang pesakitan nya. Tatapan mata pria itu terlihat penuh api amarah. Valentina hanya bisa menangis, dia yakin jika kekasihnya sudah mengetahui semuanya. "Sa-sayang ... aku bisa menjelaskan --" "Siapa ayah dari anak yang sekarang ada dalam kamdungamu?" Tanya Sean dengan nada dinginnya. Valentina tergagap, dia tidak bisa menjawab pertanyaan kekasihnya. Ingin hati melenyapkan anak pembawa sial di dalam perutnya, tapi justru rahasianya terbongkar dan nyatanya anak yang ada dalam kandungannya masih bisa diselamatkan. "A-aku ..." Isak Valentina. Dia tidak sanggup mengatakan kebenaran itu. "Katakan! Apa sulitnya mengakui kesalahan mu! Aku sangat membeci seorang penghianat!" Marah Sean. Keano yang tak tega melihat gadis tercintanya dalam keadaan terpojok segera menghampiri. "Kak, jangan menekan Valentina seperti ini, kasihan dia." "Keano, jangan ikut campur!" Keano diam, dia melirik ke arah Valentina yang kini menatap penuh kebencian terhadapnya. Beberapa hari setelah Valentina melewati perawatan. Kelaurga Sean memintanya datang ke rumah, guna menanyakan siapa ayah dari anak yang ada di dalam perut gadis tersebut. Di sini sekarang Valentina berada, di dalam ruang tamu keluarga Raegan. "Katakan padaku, siapa ayah dari anak yang kau kandung. Sean mengatakan jika dia tidak pernah menyentuhmu. Jadi, katakan pada kami, apa benar yang putraku katakan?" intimidasi ayah Sean. Valentina mengangguk takut. "Jadi, kau menghianati keluarga kami? Kami sudah sangat menyayangimu, Nak? Apa perhatian kami kurang bagimu?" tangis ibu Sean tak percaya. Dia sudah menganggap Valentina seperti anaknya sendiri dan sekarang gadis itu menghianati kepercayaan mereka semua. Keano berjalan mendekat ke arah Valentina. Kali ini dia tidak ingin menjadi pria pengecut, tak peduli jika Valentina marah kepadanya. Keano akan mengakui kesalahannya. "Aku yang menghamili Valentina. Aku yang akan bertanggung jawab atas anak itu!" Tegas Keano, membuat semua orang di sana terkejut. Bahkan Valentina terlihat begitu marah pada Keano. "Apa yang kau katakan, hah?!" Teriak Valentina. "Aku hanya mengatakan kebenaran, maafkan aku." Valentina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia menangis frustasi, bukan ini yang dia inginkan. Sang ayah berjalan cepat menghampiri Keano. "Anak kurang ajar!" PLAKK!! Satu tamparan melayang di wajah Keano. Membuat pemuda itu terpelanting jatuh ke lantai dengan darah mengalir dari sudut bibirnya. "Anak biadab! Aku tidak pernah mengajarkan hal menjijikkan seperti ini padamu! Kenapa kau bisa menghamili kekasih kakak mu sendiri, hah?! Kenapa?!" Amuk sang ayah. "Aku tidak sengaja, Pa." lirih Keano, tak ada kebohongan di dalam pancaran aura wajah nya. "Tidak sengaja kau bilang?! Dasar anak pembawa sial! Kenapa kau selalu merepotkan keluarga mu, hah?!" BUGH! Satu pukulan telak mengenai wajah Keano. Sean segera merengkuh tubuh sang ayah, tak ingin membiarkan ayahnya kilaf. "Hentikan, Pa! Keano sudah mengakui semaunya. Untuk apa Papa marah padanya?!" tak terima Sean. Dia tak apa jika Keano melakukan semua itu pada Valentina. Karena Sean tidak memiliki perasaan apapun pada Valentina. Keano memejamkan matanya erat, saat merasakan cairan dingin merembes dari lubang hidungnya akibat pukulan sang ayah yang tak main-main kerasnya. Dengan susah payah Keano berdiri dari tempat tersungkur nya, berjalan gontai menuju ke kamar pribadinya. Sean menatap sedih sosok adik tersayangnya, dia percaya pada Keano. Mengenai ketidak sengajaan yang di lakukan adiknya tersebut. "Pulanglah, aku akan memikirkan apa yang terbaik untuk mu dan adikku." Pinta Sean pada Valentina. Gadis itu pun pulang karena tak ingin menanggung malu terlalu lama. Dalam hari merutuki sikap Keano yang menghancurkan hubungannya dengan Sean. Keano terjatuh di atas ranjangnya, sembari menutup lubang hidung dengan dengan tisu. "Aku tidak boleh lemah, aku harus bertanggung jawab pada valentina." Gumam Keano meski kepalanya sudah tak sanggup mempertahankan kesadaran. Darah terus mengalir tanpa henti, bahkan seprey ranjangnya sudah basah akan darah yang mengalir dari lubang hidung Keano. "Apa aku harus mati sekarang? Aku selalu menyulitkan kehidupan kedua orang tuaku." Miris Keano, mengingat jika ayahnya sangat membenci dirinya. Keano hanya anak sakit-sakitan, dianggap tak berguna dan hanya bisa menghabiskan uang saja. Sean merasa ada yang tidak beres dengan adiknya, dia bergegas menuju ke kamar sang adik. "Keano, apa kau sudah tidur?" tanyanya sembari mengetuk pintu. Tak ada jawaban, Sean semakin tak tenang. Dengan segenap kemampuan dia mencoba mendobrak pintu kamar sang adik. "Apa yang kau lakukan?" Tanya sang ayah yang mendengar kegaduhan di depan kamar Keano. "Pa, bantu aku! Aku takut terjadi apa-apa pada Keano." "Kau terlalu berlebihan Sean. Anak itu pasti baik-baik saja, mungkin sekarang sudah tidur." Acuh sang ayah. "Ck." Decak Sean, dia memilih pergi meninggalkan sang ayah. Mencari kunci duplikat kamar sang adik. Tak lama Sean kembali dan membuka pintu kamar Keano. Gelap, hal pertama yang pria itu lihat. Dengan langkah penuh hati-hati, Sean mencari saklar lampu lalu menyalakannya. "Keano!" panik Sean saat melihat tubuh sang adik terkapar tak berdaya, bersimbah darah di atas ranjangnya. Tanpa membuang banyak waktu Sean segera dia menghubungi pihak medis untuk segera datang ke rumahnya. Sean segera melakukan langkah penanganan ringan yang sudah diajarkan dokter pribadi keluarganya, karena Keano sering mengalami pendarahan. "Sean, jangan panik. Keano pasti baik-baik saja." Sean membisikkan kata-kata pada dirinya sendiri. Dengan tangan bergetar dia mengambil cairan obat dan menyuntikkannya ke lengan Keano, setidaknya obat itu bisa menghentikan pendarahan Keano sebelum pihak rumah sakit datang. Bahkan Sean sampai lupa tak memberitahu ayah dan ibunya. Tak ada waktu untuk memikirkan mereka, mereka tak akan peduli pada adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD