03. Kehamilan Valentina.

1017 Words
Semenjak kejadian itu, Keano tak bisa tidur. Dia merasa begitu bersalah pada sang kakak. Bagaimana bisa dia tidur dengan wanita yang sebentar lagi akan menjadi kakak iparnya. Terlebih setiap hari wanita itu datang berkunjung ke kediamannya. "Sean, apa aku boleh menginap di sini?" tanya manja sang kekasih yang tak lain adalah Valentina. Sean hanya mengangguk dan fokus dengan layar laptopnya. Valentina mengerucutkan bibirnya, melirik sinis ke arah Keano yang kini duduk di depan TV. Ck, rasanya sangat malas sekedar melihat wajah pemuda yang pernah bergumul dengan dirinya. Ih, Valentina bergidik ngeri, jijik dengan tubuhnya. "Ada apa?" Tanya Sean yang merasa bahwa kekasihnya itu sangat aneh. "A-ah, aku baik-baik saja, hanya ada nyamuk menggigit tanganku." alasannya. Sean mengangguk dan mengabaikan Valentina. Sean beralih melihat ke arah sang adik. "Keano! Apa kau sudah meminum obatmu?" tanyanya. Keano menoleh ke arah sang kakak dan tersenyum. "Belum." "Hm, cepat minum. Jangan sampai terlambat." ujar Sean. Valentina merolling bola matanya malas. "Dasar manja." kesalnya. Sean melirik sinis kearah gadis di sampingnya. Dia tidak suka dengan ucapan Valentina mengenai adik kesayangannya. "Jaga ucapan mu! Kau tidak mengerti apa-apa." Sedikit sarkas ucapan Sean. Valentina tidak suka dengan sikap Sean yang tak ada lembutnya sama sekali. Dia memilih pulang daripada diabaikan oleh prianya. Selepas kepergian Valentina. Keano mendekati Sean. "Kakak tidak boleh bersikap seperti itu pada Valentina." "Aku hanya tidak suka sikapnya terhadap mu. Jika dia mau menikah dengan ku, dia juga harus bisa menyayangimu." Keano hanya menunduk, rasa sakit dan kecewa terhadap dirinya sendiri semakin menggerogoti di dalam sana. Ingin rasanya Keano berlutut dan meminta maaf pada sang kakak. Tak apa jika pria itu akan membunuhnya, dia rela. Tapi ... Keano kembali mengingat ucapan Valentina. Dia tidak ingin menghancurkan semuanya. Satu bulan berlalu, hari pernikahan Sean dan Valentina akan segera di selenggarakan. Hari ini jadwal Sean dan Valentina mencoba baju pengantin yang akan mereka kenakan di hari H. "Kau menyukai baju yang mana?" tanya Valentina sembari memeluk manja lengan Sean. Sean hanya menatap malas jajaran baju pengantin yang terpasang di tubuh manekin di hadapannya. "Terserah kamu saja." Terkesan tak ingin ambil pusing. Valentina mendengus lesu, kenapa rasanya seperti dirinya seorang yang antusias dalam pernikahan ini? Terlalu cinta pad Sean, Valentina tak ingin ambil pusing. Dia memilih sepasang baju pengantin berwarna putih. "Bagaimana dengan ini?" "Hm." Angguk Sean. Mereka berlanjut mencoba baju pengantin mewah di sana. Namun tiba-tiba kepala Valentina mendadak pusing dan perutnya terasa sangat mual. Dengan cepat dia membekap mulutnya, berlari menuju ke kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya. Sean merasa khawatir. Dia mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali. "Valent, apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Tak lama kemudian Valentina keluar dari dalam kamar mandi. Dengan raut wajah pucat. "Aku baik-baik saja, mungkin mag ku kambuh." lirihnya. "Kita ke rumah sakit, ya." Ajak Sean, dia hanya tidak ingin Valentina kenapa-kenapa. "Tidak, aku ingin pulang." Lirihnya. Sean mengangguk dan memilih mengantarkan Valentina pulang. Sesampainya di kediaman Valentina. "Maaf, aku harus kembali bekerja. Apa perlu aku menghubungi dokter untuk memeriksa keadaan mu?" Tanya Sean. Valentina menatap redup ke arah Sean. Kenapa prianya ini sama sekali tak memiliki perhatian terhadapnya? Apa benar dia akan menjadi suami nya? Valentina tersenyum paksa dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku hanya butuh istirahat saja." Sean mengangguk dan kemudian pergi meninggalkan sang kekasih. Valentina memutuskan untuk membersihkan diri, dia membuka lemarinya bermaksud mengambil pakaian ganti. Namun tatapan matanya tertuju pada bungkusan kotak berisikan pembalut di sana, yang masih utuh. Otaknya berputar mengingat sesuatu. "Apa aku tidak datang bulan, bulan ini?" Batinnya. Dengan cepat Valentina melihat ke arah kalender lipat yang ada di atas meja nakasnya. Matanya membola lebar saat menyadari jika satu bulan penuh dia tidak mengalami menstruasi. "Tidak, ini tidak mungkin." Gelisahnya, dia mengingat kejadian beberapa Minggu terakhir. Di mana dirinya sering mengalami kelelahan dan mual di setiap pagi. Tanpa menunggu lama Valentina pergi ke apotek terdekat, dia hanya ingin memastikan sesuatu. Setelah membeli benda yang ia inginkan, Valentina segera bergegas ke kamarnya, menuju ke ruang kamar mandi. Dengan perasaan cemas dia memejamkan matanya, melihat benda yang baru saja ia celupkan ke dalam air seninya. Perlahan kedua mata Valentina terbuka dan menatap benda pipih di tangan kanannya. Sontak kedua matanya membulat dengan bola mata bergetar. "Ti-tidak, ini tidak mungkin." Dua garis merah tergambar di badan benda pipih tersebut. Menandakan jika Valentina positif hamil. Tubuh Valentina melemah, tersandar di dinding belakangnya. Air mata mengalir deras tanpa di suruh. Kenapa semua ini terjadi? Dia harus apa? Apa yang akan ia katakan pada Sean? Tidak mungkin Valentina berkata jika dirinya pernah tidur dengan Keano. "Kenapa aku harus hamil? Tidak, aku harus menggugurkan bayi ini." Dengan langkah tergesa Valentina bergegas menuju ke suatu tempat. Keesokan harinya, keluarga Sean mengundang Valentina untuk makan malam bersama. Tentunya dengan senang hati wanita itu datang. "Mama lihat wajahmu sedikit pucat, apa kau sakit, Nak?" Tanya ibu Sean. Valentina hanya menggeleng lembut sembari tersenyum. "Tidak, Ma. Aku hanya terlalu lelah. Mungkin karena sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan Sean." Tuturnya. "Jaga kesehatanmu Sayang, jangan sampai kau sakit, ok." Valentina mengangguk dan mereka pun melanjutkan makan malam bersama. Selepas makan malam, Valentina menuju ke kamar Sean. Dia mengambil obat dari dalam tasnya yang baru saja ia beli tadi siang. Entah obat apa itu. "Obat apa?" Tanya Sean. "Oh, hanya vitamin." Sahut Valentina. Sembari mengambil dua butir pil dari dalam botol kecil di genggamannya. Seharusnya hanya satu obat yang di anjurkan untuk melancarkan sirkulasi darah, dengan kata lain akan mengugurkan bayi di dalam kandungan Valentina. Namun wanita itu ingin hasil cepat dan berkahir meminum melebihi dosis. Beberapa menit setelah minum obat, Valentina terlihat kesakitan. Keringat dingin membanjiri kening wanita tersebut. "Kau baik-baik saja?" panik Sean. "Perutku sangat sakit." Rintih Valentina. Dia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini namun rasa sakit di area perutnya semakin menjadi. Tanpa pikir panjang Sean langsung menggendong tubuh sang kekasih, membawanya ke rumah sakit. Seisi rumah di buat panik dengan keadaan Valentina yang tiba-tiba. Terlebih Keano, entah mengapa hatinya mendadak gelisah. Dia tak tega melihat kesakitan di wajah wanita yang teramat sangat ia sayangi. Dalam hati dia berdoa semoga Valentina baik-baik saja. Berbeda dengan Sean yang justru hanya diam tanpa ekspresi, entahlah ... Dia sama sekali tidak merasakan kasihan pada calon istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD