Sean tak henti merapalkan doa. Sampai-sampai tak menyadari jika sang ibu datang.
"Nak, bagaimana keadaan Keano?" panik sang ibu, merasa bodoh karena hidup satu rumah dan tak mengetahui jika putranya sakit.
Sean hanya menggeleng, dalam hati ia merasa kecewa terhadap kedua orang tuanya yang terkesan tak terlalu peduli dengan keadaan Keano. Semenjak Keano dewasa, ayah dan ibunya tak lagi melanjutkan pengobatan adiknya.
Tak lama sang ayah datang sembari membawa sebuah berkas entah apa.
Sean hanya menatap datar sang ayah, yang terlihat sama sekali tak ada raut sedih di wajahnya.
"Papa sudah mengganti nama mu dengan nama Keano. Pernikahan akan tetap dilaksanakan namun Keano yang akan menikahi Valentina."
Sean menunduk, dia tidak sedih karena harus melepaskan Valentina, yang ia risaukan hanya keadaan Keano. Apa dia siap menjalin hubungan dengan Valentina? Sean paham betul dengan sikap Valentina yang sangat membenci Keano.
Beberapa hari telah berlalu, keadaan Keano sudah mulai membaik. Wajah pemuda itu nampak murung. Sean tersenyum dan duduk di sebelah adiknya tersebut.
"Kak, maafkan aku." Kedua mata Keano berkaca-kaca. Ingin sekali rasanya dia memberikan nyawanya dengan suka rela untuk di lenyapkan sang kakak.
"Maaf? Untuk apa?" tanya Sean.
"A-aku sudah melakukan hal menjijikkan itu. Aku ingin jujur padamu, tapi aku tidak sanggup."
Sean mendengus dan memeluk tubuh sang adik. "Aku tidak marah padamu. Aku hanya ingin tahu kenapa bisa kau melakukan hal itu pada Valentina? Apa kalian saling mencintai?" Tanya Sean lembut, sembari mengelus pucuk kepala sang adik.
Keano menyembunyikan wajahnya di d**a sang kakak. Menahan isakan tangis kekecewaan di dalam hatinya. Dia berusaha menceritakan apa yang terjadi pada saat itu bersama Valentina. Tanpa ada kebohongan sedikitpun.
Sean mengangguk mengerti, dia tidak bisa menyalahkan Keano di sini. Adiknya hanya menjadi korban. Salahkan Valentina yang memiliki hoby mabuk dan hal itu termasuk alasan Sean membeci gadis tersebut.
Jika saja Valentina tidak hamil, mungkin Sean akan meminta Keano untuk menolak pernikahannya dengan Valentina. Tapi keadaan sudah berbeda, Keano harus menjadi pria yang bertanggung jawab.
"Kakak akan selalu mendukungmu. Jika suatu hari nanti terjadi sesuatu denganmu, jangan sungkan untuk memberitahu Kakak. Aku akan selalu ada untukmu." bisik Sean.
Valentina menangis sejadinya, meratapi nasibnya mengerikan yang kini menimpa hidupnya. Dia hanya ingin menikah dengan Sean, tapi kenapa justru sekarang harus berubah menikah dengan pria sakit-sakitan seperti Keano?
"Semua ini karena mu! Aku benci! Aku benci! Kenapa kau tidak mati, hah?!" Marahnya sembari memukul perutnya sendiri. Gara-gara anak itu dia gagal menikah dengan Sean. Valentina tak pernah berpikir akan bernasib seperti ini.
Keano menatap kosong ke arah luar jendela, dia memang mencintai Valentina. Di ingin menikah dengan gadis tersebut dan sekarang semua apa yang di inginkan sudah tercapai. Tapi bukan pernikahan paksa seperti ini yang ia inginkan, tanpa ada rasa cinta dari kedua belah pihak itu sangat menyiksa. Terlebih Keano mengetahui jika Valentina begitu membenci dirinya.
Keano menoleh ke arah pintu, mendengar suara benda itu terbuka. Di sana ada sang ayah yang menatapnya tak bersahabat.
BRAKK!
Sebuah map pria paruh baya itu lemparkan ke samping Keano. Keano menatap kertas berwarna biru itu tanpa berucap.
"Papa sudah mengalihkan saham perusahaan pusat atas namamu. Sebentar lagi kau akan menikah, kau harus bekerja sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluargamu kelak. Jangan merepotkan mama dan Papa lagi." Setelah berucap demikian, sang ayah pergi meninggalkan Keano sendirian.
Keano tersenyum getir rasanya dia benar-benar sudah dibuang oleh keluarganya sendiri. Tapi apa yang ayahnya katakan itu benar. Keano tidak boleh menyusahkan orang tuanya lagi. Dia akan segera melawan ujian kehidupan yang sesungguhnya.
Satu Minggu berlalu. Hari ini adalah hari dimana pernikahan Keano dan Valentina terlaksana. Tak ada yang spesial sama sekali. Lebih terlihat seperti acara duka cita kematian. Tak ada raut kebahagiaan dari pihak manapun, terlebih dua pengantin di atas altar. Bahkan terlihat sang mempelai wanita hanya bisa menangis dan menjaga jarak dengan mempelai pria.
Selepas acara resepsi, kelurga Valentina memberikan sebuah hadiah berupa mansion untuk anak dan menantunya. Mereka sudah menyiapkan hadiah tersebut jauh sebelum tahu jika pernikahan mereka berubah dari sisi pria.
Keano mengemasi semua pakaiannya, dia berusaha kuat agar tidak menjadi pria lemah. Apapun kesakitan yang dia rasakan harus dia tahan sendirian.
Sean membantu mengemasi pakaian sang adik, air mata sedari tadi tak henti membanjiri kedua pipinya. Rasanya sangat sulit membiarkan adik nya pergi.
"Apa kau yakin akan baik-baik saja? Ingat pesan Kakak. Hubungi aku jika terjadi sesuatu padamu."
Keano tersenyum dan merengkuh tubuh sang kakak dalam pelukannya. "Kakak tenang saja, aku sudah besar."
Berakhir Sean mengantarkan Keano turun ke lantai bawah sembari mengangkat koper besarnya. Dia menelisik ke segala arah mencari keberadaan Valentina.
"Di mana Valentina?" Tangannya.
"Dia sudah pergi terlebih dahulu." Sahut sang ibu sedih.
Sean melirik ke arah sang adik. Ini baru awal dan kehidupan Keano sudah di sambut dengan kesedihan. Berharap setelah ini kehidupan rumah tangga Keano akan baik-baik saja.
"Kakak akan mengantarmu sampai ke rumah baru mu."
"Biarkan dia pergi sendiri. Papa sudah memberikan mobil untuknya. Jangan terlalu memanjakan dia." Datar sang ayah, berjalan melewati kedua putranya.
Sean menatap sedih ke arah Keano, dia yakin jika adiknya sangat tertekan saat ini. Keano sudah banyak menderita semasa kecilnya dan sekarang cobaan hidup yang harus dia jalani akan lebih besar.
"Aku akan pergi sendiri. Kakak tidak perlu khawatir. Lihatlah, aku bukan lagi anak kecil." Tawa hambar Keano, berusaha membuat sang kakak agar tersenyum. Namun nyatanya Sean tidak bisa tersenyum sedikitpun, pancaran wajah Keano tidak bisa berbohong. Terlihat sekali kesedihan yang kini pemuda itu rasakan.
Keano meraih koper yang dipegang sang kakak. "Aku pergi dulu." pamitnya. Beralih menuju ke arah sang ibu.
"Aku pergi dulu, Ma."
"Jaga dirimu baik-baik, hm." Senyum sendu sang ibu. Memeluk erat tubuh Keano dan menumbuhkan tangisannya. Rasanya tidak rela melihat kepergian sang putra namun di sisi lain dia tidak bisa membantah keinginan suaminya.
"Em, aku pasti baik-baik saja. Jaga kesehatan Mama." Pungkas Keano, perlahan dia melangkahkan kakinya pergi keluar dari mansion yang sudah menjadi saksi kehidupannya selama ini. Dan sekarang dia keluar dari mansion itu untuk menuju kehidupan barunya.
Berbekalkan alamat mansion barunya, Keano melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Beberapa jam setelahnya akhirnya Keano sampai di tempat tujuan. Dia menghentikan mobilnya di depan mansion mewah di sampingnya. Menyatakan jika mansion itu memang benar mansion yang harus dia tempati bersama dengan istrinya. Ah, istrinya ya? Kenapa sangat lucu dengan seratus sakral itu?