Chapter 8

2201 Words
*POV AUTHOR* Sudah satu minggu sejak Dani meninggalkan Indonesia. Dia sama sekali tidak pernah memberi Jinan kabar. Sepertinya hubungan mereka berdua benar-benar telah berakhir. Jinan tentu patah hati, tetapi dia tidak memiliki kesempatan untuk meratapi kesedihannya. Saat ini dia sedang berjuang menghadapi kekejian seorang Ana. Rupanya wanita itu mengingkari janjinya pada Dani, untuk tidak mengganggu Jinan jika Dani memenuhi keinginannya kuliah di US. Sejak kepergian Dani dari rumah, Ana menjadi semakin tidak terkendali dan menganggap Jinan sebagai alasan Dani pergi ke luar negeri. Ana memanfaatkan Ratih dan Mia untuk mengganggu Jinan. Berakhir dengan dia berhasil memecat Jinan dan hanya memberi bayaran separuh bulan pada Jinan yang sudah bekerja satu bulan penuh di bulan itu, sebagai sanksi karena Jinan dianggap lalai dalam pekerjaannya. Ternyata tindakan keji itu belumlah cukup memenuhi kepuasan hati Ana yang sedang diselimuti rasa amarah. Ana gelap mata dan membayar Roman untuk melakukan pelecehan seksual pada Jinan. Beruntung Irza datang tepat waktu dan berhasil menggagalkan Roman yang hampir saja memperkosa Jinan. Dunia Jinan seketika hancur. Dia kehilangan segalanya, kekasih, pekerjaan, mata pencaharian dan mengalami trauma berat karena pernah mengalami pelecehan seksual. Jinan tidak bisa berbuat apa-apa karena Roman mengancam akan membunuhnya jika Jinan melaporkan tindakannya pada pihak yang berwajib. Jinan marah pada semesta yang terlalu mempermainkan kehidupannya. Dunianya kini gelap dan dia harus menghadapi kenyataan pahit itu tepat di usianya yang baru memasuki angka 19 tahun. Suatu hari tiba-tiba Tiwi menghubungi Irza untuk menanyakan kabar Jinan sekaligus mengabarkan kalau Ayahnya sedang sakit. Tiwi tidak bisa mengabarkan langsung kepada Jinan karena Jinan melarang Irza memberikan kontak ponselnya pada Tiwi. Jinan hanya meminta Irza untuk menyampaikan kepada Tiwi kalau dia baik-baik saja dan menceritakan hal baik-baiknya saja soal kondisi Jinan di Jakarta. Jinan juga meminta Irza untuk menyampaikan pesan supaya tidak menghubunginya lagi. Hati Jinan telah tertutup awan gelap bernama kecewa pada takdir. Kini tidak ada lagi yang ia pedulikan kecuali caranya bertahan hidup di kota metropolitan. "Kamu kenapa kelihatan gelisah gitu, Ir?" tanya Irza saat melihat teman baiknya itu keluar masuk kamar tanpa tujuan. "Percuma cerita..., elo juga nggak bakalan bisa bantuin masalah gue." "Ya apa dulu? Kamu aja belum cerita, gimana aku mau bantuin kamu? Masalah apa? Utang? Kamu butuh uang?" "Gue udah nggak pernah mempersoalkan soal duit lagi semenjak ada sugar daddy." "Ya terus apa dong?" Jinan mulai kesal karena Irza hanya memutar-mutar jawaban saat ditanya seserius itu. Irza meraih ponselnya. Masuk ke halaman situs daring bernama Baby and Daddy. Irza meminta Jinan supaya mendekat padanya. "Awalnya gue mencari seorang sugar daddy di website itu," ujarnya serius. Jinan mengernyitkan kening. Sama sekali tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Irza ini. Dia pilih tak banyak bertanya dulu sebelum Irza menyelesaikan ceritanya. "Jadi gue udah apply jadi member di website itu. Tinggal nunggu aja ada pria mapan yang approve gue jadi sugar baby-nya. Udah berbulan-bulan nggak ada yang minta gue jadi sugar baby, jadi gue buka akun lagi di website kencan online biasa. Dan di situ gue ketemu sama daddy gue yang sekarang ini." "Ya terus masalahnya sekarang apa? Kamu ketahuan jadi wanita simpanan? Lagi dicari-cari sama istri sah daddy kamu itu?" "Bukan soal itu. Kalau itu gue udah nyiapin diri dari sejak lama. Gue cukup beruntung karena daddy gue itu duda. Secara agama dia udah cerai dengan istrinya." "Makin muter-muter deh, kamu! Singkat aja kenapa!" "Jadi sekarang ini tiba-tiba ada permintaan menjadi sugar baby di web yang pernah gue tinggalin dulu. Gue nggak sengaja menerima permintaan itu. Yang gue bingungin sekarang ini, nggak mungkin kan gue jadi sugar baby untuk dua orang sugar daddy sekaligus? Sedangkan kalau gue menolak permintaan itu atau nggak melanjutkan prosedur di web itu, gue bisa diblokir, bahkan dituntut secara hukum. Gue bisa membusuk di penjara gara-gara ini." "Dituntut? Masuk penjara? Yang bener aja kamu, Ir!" Irza mendesah lesu. Napasnya terdengar berat. Tidak mengerti lagi bagaimana cara menjelaskan pada Jinan. Sebuah panggilan telepon di ponselnya membuyarkan lamunan Irza dan Jinan. "Kok ndak diangkat?" tanya Jinan. "Dari suruhan orang yang minta gue jadi sugar baby-nya." "Ya kamu jelasin aja permasalahannya." "Udah. Tapi dia nggak mau tau. Dia minta ketemuan dan minta supaya gue menyampaikan permohonan maaf secara langsung sama dia. Setelah itu mau dilanjutkan atau nggak bisa dibicarakan baik-baik saat pertemuan." Wajah Irza terlihat semakin murung. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Selama Jinan berteman dengan Irza, perempuan itu tidak pernah menunjukkan ekspresi segusar ini. Irza tergolong orang yang easy going terhadap persoalan apa pun yang sedang mendera kehidupannya. Jinan jadi mersa iba pada teman yang sudah banyak membantunya selama ini. "Apa yang bisa aku bantu, Ir? Katakan saja. Kalau bisa aku bantu, ya, aku bantu." Seulas senyum terbit di wajah manis Irza. Dia menghambur ke pelukan Jinan kemudian berujar, "lo mau gantiin gue nggak? Cukup datang aja ke pertemuan yang udah disiapkan sama calon sugar daddy itu. Kalo dia nggak mau memenuhi semua syarat yang lo ajuin, lo nggak apa-apa membatalkan jadi sugar baby untuk pria itu." Jinan terdiam sesaat. Tentulah dia berpikir lebih keras dari biasanya. "Memangnya apa tugas seorang sugar baby, Ir?" tanyanya setelah terdiam. "Lo hanya perlu ada saat sugar daddy itu butuh kehadiran lo. Selebihnya lo hanya perlu mempersiapkan diri untuk bersenang-senang dan meminta apa pun yang lo mau." "Apa kehadiran itu termasuk kehadiran di ranjang?" "Tergantung kesepakatan. Kayak gue nih. Awalnya kami sepakat nggak ada urusan ranjang. Tapi seiring waktu gue udah nyaman sama dia, ya nggak ada salahnya gue ngasih pelayanan ranjang. Dia juga selalu memenuhi semua kebutuhan gue, menuruti apa pun yang gue mau. Nggak ada salahnya kan gue nyenengin dia dengan cara itu." "Itu dosa!" Irza tertawa lantas berujar, "gue kok lupa dosa itu apa ya, Nan..." Kemudian Irza bangkit dari duduknya. "Kalau mau bantu gue, bersiap sekarang. Setengah jam lagi sopir pribadi calon sugar daddy itu datang menjemput." "Aku belum ngiyain loh, Ir." "Terserah! Kalau lo mau balas budi atas semua kebaikan gue selama ini, sekarang waktunya," jawab Irza lugas kemudian keluar dari kamar. *** *POV JINAN* Aku dan Irza memasuki sebuah hotel yang sangat mewah dan megah. Kata Irza ini hotel bintang lima paling besar di Jakarta. Aku lupa nama hotelnya. Pelafalannya susah, tidak cocok dengan lidah desaku. Sepanjang jalan tanganku tak lepas dari menggenggam tangan Irza. Dia sempat kesal karena mungkin cengkeramanku di pergelangan tangannya terlalu erat dan menyakitkan. Namun aku tidak peduli. Aku benar-benar dihantui rasa gusar yang begitu dalam saat ini, membutuhkan pegangan supaya tidak mati berdiri karena ketakutan. "Kalo elo ragu, mending kita balik sekarang. Biar gue yang nanggung semuanya," ujar Irza saat aku tak mau keluar dari lift. "Aku takut, Ir," cicitku. "Bilang takutnya seharusnya daritadi saat masih di kosan. Sekarang udah telat!" Akhirnya aku mengikuti langkah Irza yang sedikit cepat saat menyusuri koridor beralaskan karpet tebal seperti primadani. Aku menengok kanan dan kiri mengikuti apa yang dilakukan oleh Irza. Pintu kamar tertutup semua. Kurasakan hawa di sepanjang koridor sepi ini sangat dingin dan mencekam. "Ini kamarnya," ujar Irza, berhenti di depan sebuah  pintu kamar yang memiliki ukuran sangat tinggi dibanding tubuhku dan Irza. "Kamar siapa, Ir?" tanyaku bingung. "Astaga, Jinan! Ya kamar calon sugar daddy untuk elo." "Aku beneran takut, Ir. Kalau dia orang jahat dan berniat buruk seperti Bang Roman gimana?" "Ya, jangan disamain sama Roman b******n itu lah! Pria ini lebih berkelas. Dan gue yakin aja kalau dia pria baik-baik, jauh dari kata jahat yang ada di pikiran lo." "Kalau pria baik-baik dia ndak mungkin terpikir untuk punya simpanan." "Nggak semua pria punya simpanan itu orang nggak baik, Jinan. Dia pasti punya alasan kuat kenapa sampai mengambil keputusan untuk memiliki seorang simpanan. Udahlah, nanti lo wawancara sendiri aja itu calon sugar daddy kenapa memutuskan mencari sugar baby ketimbang cerai lalu menikah lagi." Irza memutar tubuhku hingga menghadap padanya. Dia menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Sedikit merapikan pakaian yang tengah aku kenakan saat ini. Baju model terusan dengan potongan sedikit terbuka pada bahunya dan memiliki panjang rok di atas paha. Baju ini milik Irza yang dipinjamkan kepadaku. Bisa dibilang pakaian terbaik dan termahal miliknya. Setelah menilik penampilanku, Irza menekan kedua pangkal lengan dan menatap lurus ke iris mataku kemudian berujar, "ingat pesan gue! Jangan ragu untuk menyampaikan syarat-syarat yang sudah gue ajarkan di kosan tadi. Kalau elo nggak mau ada pelayanan ranjang, ya, lo tegesin di awal. Kalau dia keberatan lo boleh nolak dan teguh sama pendirian lo. Jangan sampai lo ngerasa dirugiin, oke!" Aku mengangguk paham dan kembali menahan tangan Irza saat dia hendak berlalu dari hadapanku. "Gue ada di lobi. Jangan matiin handphone lo. Kalau pria itu ada gelagat mau berbuat jahat sama lo, segera telepon gue. Gue nggak akan meninggalkan hotel ini tanpa elo. Kalau gue sudah masuk lift, lo tekan bel ini, oke!" ucapnya dengan tegas, membuatku sedikit lega. Aku menatap kepergian Irza. Dia melambaikan tangannya dan memintaku untuk segera menekan bel sebelum pintu lift yang mengangkut Irza tertutup rapat. Dengan perasaan campur aduk aku menekan bel pintu kamar hotel di hadapanku ini sesuai perintah Irza. Satu kali, belum ada respon. Aku menekan bel untuk yang kedua kali. Pintu kamar terbuka sedikit, kemudian terdengar suara berat seorang pria yang sangat asing di telingaku mempersilakanku masuk. Dari jenis suaranya aku menebak pria di balik pintu kamar hotel ini berusia lebih dari 40 tahun, menjelang 50 tahun mungkin. Lututku semakin lemas saat ini. Aku berusaha menguatkan diri, perlahan membuka pintu kamar hotel. Aku sedikit terlonjak kaget saat pintu kamar tiba-tiba tertutup di langkah ketigaku masuk kamar. "Silakan duduk di sofa itu. Saya masih harus terima telepon penting," ujar pria di belakangku yang masih belum aku ketahui seperti apa penampilannya karena kepalaku masih setia menunduk. Aku duduk di sofa yang ditunjukkan oleh pria tadi. Aku mengirimi Irza pesan singkat kalau sudah berada di dalam kamar dan sedang menunggu pria itu menerima panggilan telepon. Irza memintaku untuk tenang supaya semuanya berjalan lancar. Sekitar lima belas menit kemudian terdengar suara dehaman pelan tapi sukses membuatku terkejut dan membuat bulu kudukku meremang. "Maaf sudah membuatmu menunggu," ujar pria itu dengan sopan, kemudian ikut duduk, berjarak tidak sampai satu meter dari posisi dudukku. "Nama kamu siapa?" tanyanya sopan. Kepalaku masih tertunduk dalam. Jemariku saling bertaut menahan perasaan takut, gusar, gelisah atau apalah itu namanya yang sudah bercampur menjadi satu dan membuat jantungku bergemuruh hebat. Entah sudah berapa kali juga aku pura-pura merapikan rok yang rasanya terlalu pendek dan membuatku sedikit risih. "Saya sedang bertanya. Bisa tolong dijawab?" tanyanya sekali lagi. "Namaku Jinan," jawabku dengan suara lirih. "Siapa? Jihan? Atau Kinan?" tanya pria itu. Kali ini ibu jari dan jari telunjuknya menyentuh daguku dan perlahan mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk. Aku memberanikan diri menoleh untuk melihat seperti apa sosok pria yang sedang berada di sampingku ini. "Namaku Jinan," ujarku setelah kepalaku terangkat. Mataku mengerjap beberapa kali. Aku mendapati seorang pria yang tampak lebih muda dari dugaanku, sedang duduk menyandarkan punggung dan menyilangkan kakinya dengan anggun. Dia menatapku dengan tatapan teduh dan tersenyum ramah. "Nama yang bagus," ujarnya, semakin melebarkan senyumnya. "Saya Luthfi," katanya lagi. Aku hanya bisa membalas senyumnya itu dengan senyum terpaksa. "Apa yang mengantarmu mau memenuhi panggilan saya untuk menjadi seorang sugar baby?" tanyanya tanpa basa basi. "Aku hanya ingin membantu temanku yang akan dituntut kalau dia ndak memenuhi panggilan bapak." Pria bernama Luthfi itu awalnya diam, menatapku layaknya orang bingung pada sesuatu. Namun tidak sampai semenit wajahnya sudah terlihat seperti orang sedang menahan tawa. Dia menggeleng seperti tidak mempercayai semua ucapanku. Dia kemudian menegakkan tubuh dan memutar posisi duduknya hingga menghadapku. "Untuk apa saya menuntut teman kamu? Memangnya dia salah apa?" "Kata Irza kalau dia menolak panggilan bapak akan dituntut dan bisa masuk penjara. Jadi aku menggantikan posisi Irza. Aku ndak mau teman baikku itu masuk penjara gara-gara aku." Luthfi seperti tidak kuasa lagi menahan tawanya. Dia terbahak dengan satu tangan memegangi perutnya dan satu tangan lagi diangkat ke udara. "Sorry, sorry. Saya masih tidak habis pikir dengan semua yang kamu ucapkan. Kamu itu lugu, polos atau bodoh?" ujarnya. "Aku ndak suka dibilang bodoh! Aku sekolah, tamat SMA meski kejar paket C," ujarku membela diri karena Luthfi seperti sedang menghinaku. "Bagaimana tidak saya bilang bodoh, kamu itu sedang dibohongi mentah-mentah sama teman baikmu itu. Justru dia yang menawarkan kamu untuk saya melalui sugar daddy-nya. Memangnya dia sudah mengatakan kebohongan apa lagi padamu?" Aku lantas menceritakan dari A sampai Z soal Irza yang ternyata sudah tega menjualku pada p****************g seperti Luthfi ini. Ingin sekali saat ini aku menemui Irza kemudian mencaci bahkan menamparnya sampai dia memohon ampun kepadaku. "Ya sudah kamu jangan marah lagi pada temanmu itu. Ini kontrak perjanjiannya, silakan dibaca dengan cermat. Jangan terburu-buru, kamu enjoy saja bacanya. Kamu bisa baca sambil tiduran di tempat tidur yang ada di balik dinding ini. Saya tidak akan mengganggu," ujar Luthfi kemudian berdiri. "Bisa aku baca di kosan aja? Kasihan Irza nanti kelamaan menunggu di lobi," ujarku ikut beranjak dari sofa. Luthfi menarik napas panjang sambil menahan senyumnya. Dia menarik tanganku kemudian mengajakku ke balik dinding yang dia maksud tadi. Sambil menekan pundakku, dia memintaku duduk di atas ranjang empuk yang menghadap kaca besar dan ada televisi sangat lebar menghadap ke arah ranjang. "Kamu di sini saja. Saya harus kembali ke kantor. Jangan ke mana-mana sampai saya kembali. Oke!" "Nanti aku diusir petugas hotel! Trus kasihan Irza kalau nunggunya kelamaan." "Kamu tenang aja. Saya sudah booking kamar hotel ini untuk berhari-hari. Kalau kamu betah di sini, tinggal bilang saja. Soal Irza, jangan terlalu dipikirkan lagi." Belum sempat aku mencerna kalimat Luthfi, dia sudah berlalu dari hadapanku, dan kembali lagi sudah mengenakan jas serta sepatunya. Kini dia sudah berdiri tegak di hadapanku, “saya janji tidak lama. Sabar ya," ujarnya ramah, tak ketinggalan senyum yang mampu membuat debaran jantungku yang tadinya menggila, berangsur lebih tenang dan nyaman. Tubuhnya lalu menghilang di balik pintu kamar hotel yang sudah tertutup rapat. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD