Chapter 7

2340 Words
*POV AUTHOR* Setelah malam pesta di rumahnya, Dani merasa telah menyakiti perasaan Jinan. Ada sedikit perasaan tidak enak menggelanyar hatinya. Hati kecilnya berkata mamanya memiliki andil besar dalam hal ini. Tak ingin masalahnya semakin larut, keesokan pagi setelah malam pesta itu, Dani buru-buru menghampiri Jinan sepagi yang ia bisa. “Ini masih pagi, Mas,” ujar Jinan, suaranya masih parau khas orang bangun tidur saat menerima panggilan telepon dari Dani. “Nggak usah mandi. Cuci muka dan gosok gigi lalu temui aku di depan gang.” Dani menyelesaikan panggilan teleponnya demi menghindari pertanyaan lanjutan dari Jinan. Berselang lima belas menit sejak Dani menelepon untuk meminta ketemuan, Jinan sudah ada di hadapan Dani. Sesuai perintah Dani tadi, Jinan hanya cuci muka dan gosok gigi. Dari samping mobil, Dani menatap iba pada Jinan yang masih mengenakan pakaian tidur lusuh lengkap dengan mata masih bengkak karena kurang tidur dan akibat menangis semalam. Dani membukakan pintu mobil untuk Jinan dan meminta kekasihnya itu segera masuk mobil. “Mau ke mana, Mas? Aku belum mandi dan hari ini shift pagi.” “Jam sembilan kan bukanya?” “Tapi jam tujuh aku sudah harus ada di toko menyiapkan semuanya.” “Jam tujuh?” Dani bertanya dengan ekspresi heran sekaligus ingin marah. Dani yakin sebenarnya Jinan tidak harus sepagi itu masuk kerjanya. Seingat Dani saat meminta pekerjaan itu pada mamanya untuk Jinan, dia pernah berkata supaya tidak memberikan Jinan pekerjaan yang terlalu berat, tidak memperlakukan Jinan sewenang-wenang apalagi memanfaatkan keluguan Jinan. Dani ingin protes pada mamanya, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat mengurusi hal itu, karena urusannya dengan Jinan belum selesai. “Semalam kamu gimana pulangnya? Bukannya aku sudah bilang untuk menunggu sebentar saja dan aku yang akan mengantar kamu pulang, Nan.” “Mas Dani lagi asyik sama dia. Aku takut ganggu.” “Hah?” Dani mengernyit heran dan bertanya kembali. “Trus kamu pulang naik apa?” “Aku..., aku..., aku naik gojek.” “Trus kenapa kamu nggak balas chatku atau terima teleponku?” “Aku capek dan ngantuk banget.” “Bisa tidur nyenyak kamu ya, Nan? Kamu nggak tau kayak apa khawatirnya aku, waktu tau kamu pulang sendirian dan sama sekali nggak menghiraukan chat maupun panggilan teleponku? Astaga Jinan, jangan kayak gitu lagi ya, pleaseee!!” “Maaf,” jawab Jinan dengan kepala menunduk. “Kamu nggak nyaman dan marah soal Gracia?” “Gracia?” tanya Jinan kali ini dengan kepala terangkat. “Perempuan yang kamu maksud semalam bersamaku itu namanya Gracia. Mamanya teman baik mamaku. Dia cuma teman masa kecilku. Kami sudah lama nggak ketemu karena dia sekarang kuliah di Amerika. Mama meminta aku menemani dia untuk menghormati sebagai tamu jauh. Kamu nggak perlu cemburu sama dia. Aku menganggap Gracia nggak lebih dari seorang adik perempuan bagiku,” ujar Dani dengan nada bicara lebih rendah dari sebelumnya. Lagi-lagi Jinan percaya dan menerima apa pun alasan Dani mengacuhkannya tadi malam. Apalagi Dani berjanji akan memperlakukan Jinan lebih baik lagi setelah ini. Jinan semakin luluh dan tidak lagi memendam kekecewaan pada Dani. Sikap Dani berubah seratus delapan puluh derajat. Dia benar-benar memperbaiki hubungannya dengan Jinan. Dia melakukan hal-hal yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya setelah resmi menjadi pasangan kekasih. Hubungan mereka hangat kembali karena pada dasarnya Jinan sangat menyayangi Dani dan tentu akan dengan mudah memaafkan apa pun kesalahan Dani. Kini Dani memiliki lebih banyak waktu untuk Jinan. Dani bersedia menjemput dan mengantar Jinan bekerja. Dani terang-terangan menampakkan hubungannya dengan Jinan pada semua orang termasuk karyawan Ana’s Bakery. Dani bahkan tidak segan menunggui Jinan di toko kue mamanya hingga selesai bekerja. Keduanya juga sering menghabiskan waktu berdua di apartemen Dani. Dani sudah tidak mempermasalahkan lagi soal penolakan Jinan tinggal bersama, karena Jinan masih mau menginap sesekali saja bila terpaksa. Malam minggu seperti ini adalah hari melelahkan bagi Jinan jika mendapatkan shift sore. Irza sedang diajak liburan keluar kota oleh daddy-nya. Jinan trauma diganggu oleh Roman jika tinggal seorang diri di kosan Irza yang selalu sepi saat akhir pekan. Jadi Jinan memutuskan menginap di apartemen Dani. Dengan senang hati Dani melajukan motornya menuju apartemen setelah menjemput Jinan pulang kerja. *** “Kamu besok shift apa, sayang?” tanya Dani ikut bergabung dengan Jinan di sofa sambil menonton tayangan televisi, saat menghabiskan malam minggu di apartemen Dani. “Siang. Kenapa?” jawab Jinan. “Bagus.” “Eh..., kenapa nih? Mas Dani seneng gitu kayaknya?” “Ya lah seneng. Artinya kan aku bisa manja-manja sama kamu sampai besok siang.” Jinan tergelak melihat ekspresi wajah Dani yang menggemaskan menurutnya. Dani merebahkan kepalanya di atas paha Jinan. Kemudian mengarahkan tangan Jinan untuk mengusap dan memijat kepalanya dengan lembut. “Suka dipijet gini?” Dani mengangguk seraya memejamkan kedua matanya. “Aku lapar,” ujarnya masih dalam kedaan mata terpejam. “Mau makan apa?” tanya Jinan serius. “Pengen makan kamu,” jawab Dani, beranjak duduk kemudian mengecup bibir Jinan. Jinan tersenyum atas perbuatan Dani. Kecupan ringan tadi berubah menjadi lumatan dan berangsur meraup dengan rakus bibir yang sekarang berubah warna menjadi kemerahan akibat ulah Dani. Dani melepas pagutannya dan berlarian menuju kamar mandi. Jinan melihat keanehan pada diri Dani bergegas menyusul kekasihnya itu yang ternyata memasuki kamar mandi. “Mas Dani kenapa?” tanya Jinan sambil menggedor pintu kamar mandi. “Nggak apa-apa, sayang,” jawab Dani yang sedang berusaha menahan hasratnya. Dia tidak ingin menjadi laki-laki b***t bagi Jinan. Dia sangat ingin menjaga kehormatan Jinan sebagaimana dia menjaga perasaan perempuan yang sangat dicintainya itu. Sekitar lima belas menit kemudian Dani keluar kamar mandi dengan tampang kuyu. Dia duduk di sofa dengan menyandarkan punggung sepenuhnya. Napasnya masih terdengar sedikit berkejaran karena kini dia tengah berjuang menahan hasrat sexualnya. Jinan tidak tega melihat Dani yang saat ini seperti orang sedang tidak enak badan, berinisiatif mengambil minuman dingin dan memberikannya pada Dani. “Mas Dani sakit?” tanya Jinan dengan tampang lugunya. Dani hanya menahan senyum sambil bergumam dalam hatinya, ‘lugunya pacar gue.’ Dani meraih tangan Jinan yang sedang memeriksa suhu badan Dani dengan punggung tangannya. “Aku sayang banget sama kamu, Nan,” ujar Dani seraya mengecup punggung tangan Jinan. “Aku juga sayang mas Dani,” balas Jinan kemudian memeluk tubuh Dani. Bisa terdengar saat ini dari telinganya yang menempel di d**a bidang Dani irama jantung laki-laki itu yang berdetak lebih cepat tapi menenangkan dan menimbulkan rasa nyaman di hati. *** Ana melihat Dani sedang menikmati makan malam yang disediakan oleh Martha saat turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua. Senyum licik mengembang di bibir tipis wanita itu. Bergegas ia menghampiri putra semata wayangnya saat melihat piring nasinya telah kosong. “Hai, Dan,” ujar Ana setelah berada di samping Dani. “Hai, Ma. Sudah makan? Maaf ya Dani makan duluan, abis laper banget nih.” “Mama sudah makan. Oya, Gracia pengen lihat toko kue Mama, bisa tolong kamu antarkan dia besok?” “Besok, Ma? Nggak janji ya soalnya aku sibuk banget besok.” “Sibuk apa? Kalau antar jemput gadis udik itu kamu punya waktu.” “Siapa yang mama maksud gadis udik?” tanya Dani tidak terima. “Siapa lagi? Nggak sudi mama nyebut namanya.” Dani hanya menggeleng dan berniat meninggalkan mamanya di ruang makan. Namun niat itu ia urungkan saat Mamanya memberi ancaman kecil pada Dani. “Dari awal kamu bawa dia ke toko, Mama sudah yakin kalau gadis udik itu sudah berhasil menggoda kamu. Dasar nggak tau diri, kayaknya Mama harus bikin perhitungan supaya dia berhenti menggoda kamu.” “Jangan ganggu Jinan! Dani nggak akan segan jadi pembangkang kalau sampai sesuatu hal yang buruk terjadi sama dia.” “Kamu benar-benar sudah tergoda. Sadar Dani, dia itu sama sekali nggak pantas untuk kamu apalagi berada di lingkungan kita.” “Jangan ganggu Jinan!” ucap Dani sekali lagi. Kali ini dengan tegas lalu meninggalkan Ana begitu saja. Sikap Dani yang frontal seperti ini semakin memperlihatkan pada Ana bahwa ada sesuatu yang sedang terjalin antara Dani dengan Jinan, dan Ana tidak menyukai hal itu. Sayangnya Ana curiga kalau yang menggoda lebih dulu adalah Jinan. Keesokannya Ana memaksa Dani mengantar Gracia ke Ana’s Bakery dan sudah mengatur Gracia supaya bersikap mesra tepat di depan mata Jinan. Dani mau menuruti permintaan Ana karena percaya pada ucapan Ana bahwa Jinan sedang libur hari ini. Jinan memang libur hari ini. Namun bukan Rhiana orangnya yang tidak bisa melakukan apa saja untuk memuaskan hasratnya menghancurkan kehidupan seseorang. Dia sudah terlatih dan sangat berpengalaman untuk hal yang satu itu. Ana sangat ingin memperlihatkan pada Jinan bahwa gadis lugu itu tidak pantas dan beda kelas dengan Dani. Jinan yang lugu dan polos memang tidak bisa dibandingkan dengan Gracia yang sempurna secara fisik. Namun di situlah letak keunikannya dan membuat Dani dengan mudahnya tertarik dan jatuh hati pada Jinan. Kepolosan dan ketulusan Jinan yang jarang dimiliki oleh perempuan kota besar, adalah nilai untuk dia mudah dicintai oleh laki-laki metropolitan seperti Dani. Jinan keluar dari dapur tepat saat Dani sedang bercanda dengan Gracia. Dia geram lalu masuk kembali ke dapur tanpa sepengetahuan Dani. Setahu Dani hari ini Jinan sedang libur dan Jinan memang lupa mengabari Dani, kalau diminta Ratih ke toko untuk membeli bahan-bahan roti yang menipis. Jinan yang lugu tentu mau-mau saja disuruh datang ke toko tanpa banyak protes dan bertanya lebih lanjut, alasan lain di balik tujuan Ratih memintanya belanja yang merupakan tugas Ratih atau Mia. *** Perbuatan licik Ana untuk membuat Jinan marah dan cemburu tak cukup sampai di situ, dia masih punya banyak rencana untuk menghancurkan hubungan asmara anaknya sendiri yang nyatanya sudah terjalin cukup kuat di luar dugaannya. Meski telah melalui berbagai cara busuk untuk menyakiti perasaan Jinan, nyatanya hubungan Dani dan Jinan masih tampak baik-baik saja menurut Ana. Akhirnya Ana mengambil jalan singkat untuk memisahkan Dani dan Jinan. Melalui kekuasaan Luthfi. Seperti yang dilakukannya saat ini. Ana yang sangat jarang sekali mendatangi kantor Khawas Group, kali ini muncul secara tiba-tiba di gedung 30 lantai itu. “Ada kepentingan apa kamu mendatangi kantorku, Ana? Tidak bisakah urusan rumah kita bicarakan di rumah saja?” tanya Luthfi dingin saat melihat Ana muncul di ruangannya. “Basa basi dikit nggak bisa ya? Tawari aku duduk dulu atau tanya aku ingin minum apa gitu.” “Aku tidak punya banyak waktu. Cepat katakan apa maumu?” “Kirim Dani kuliah ke luar negeri!” jawab Ana ketus. Luthfi yang sedari tadi duduk di kursi kerjanya beranjak berdiri lalu berjalan menuju sofa yang juga sedang diduduki oleh Ana. “Apa kamu sedang memerintahku?” tanya Luthfi dengan tatapan penuh intimidasi setelah berada di hadapan Ana. “Jangan salah paham gitu, Mas,” jawab Ana sedikit melemah. “Bukannya dulu kamu menolak mentah-mentah rencanaku yang ingin mengirim Dani untuk melanjutkan kuliah di Aussie? Sekarang kenapa kamu bersikap seperti sedang menjilat ludahmu sendiri, Ana?” “Setelah aku pikir-pikir Dani memang lebih baik kuliah di universitas berskala internasional.” “Universitas tempat Dani kuliah sekarang nggak kalah dengan universitas berskala internasional.” “Tapi dia akan punya nilai lebih di mata rekan bisnis dan saingan Mas Luthfi kalau lulus dari universitas luar negeri.” “Ya nanti aku pikirkan lagi. Aku juga harus bertanya dulu pada Dani. Dia mau atau tidak kuliah di luar negeri. Kalau tidak mau aku tidak akan memaksanya.” “Pokoknya..., bagaimanapun caranya, Mas Luthfi harus berhasil mengirim Dani kuliah ke luar negeri. Terserah negara mana saja asal yang sangat jauh dari Indonesia.” Suara Ana mendadak meninggi. Sumbu emosinya seperti tersulut dan siap meledak kapan saja. Baru membayangkan Dani menolak kuliah di luar negeri dengan alasan Jinan saja sudah berhasil mempermainkan emosi Ana. “Kamu kenapa, Ana? Sedang bermasalah dengan Dani? Atau ada masalah lain?” “Nggak ada masalah apa-apa. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk putra semata wayangku. Itu saja. Kalau Mas Luthfi nggak bisa bantu, aku sendiri yang akan mengurus semuanya.” “Ya sudah kamu pulang saja. Nanti aku kasih keputusannya.” Luthfi menjadi curiga soal keinginan Ana yang tiba-tiba ini. Dia sangat ingat betul bagaimana frontalnya Ana saat menolak rencana Luthfi yang akan mengirim Dani kuliah di Autralia waktu itu. Luthfi tahu betul kalau Ana sangat tidak bisa berpisah dengan putra semata wayangnya itu. Sambil jalan mencari tahu alasan Ana meminta sesuatu hal yang sangat tidak dia inginkan sebelumnya, Luthfi justru memenuhi permintaan Ana. Luthfi mulai mengurus dengan rapi urusan Dani ke Amerika. Di antara rekan bisnis maupun saingan bisnisnya, memang hanya Dani yang sampai detik ini masih mengenyam bangku pendidikan di dalam negeri. Sedangkan anak lain bahkan ada yang sejak sekolah menengah atas sudah menempuh pendidikan di luar negeri. *** Dani kecewa mendapati kenyataan bahwa Papanya akan mengirimkan dia ke negeri Paman Sam untuk menuntut ilmu selama bertahun-tahun di sana. Dani merasa ada yang aneh. Dia terus mendesak Luthfi untuk memberinya alasan kenapa harus mengirimkan dia ke US hanya untuk menuntut ilmu, padahal masih banyak negara-negara lebih dekat dengan Indonesia yang juga memiliki universitas mumpuni dan cukup diperhitungkan di kancah pendidikan internasional. Luthfi yang terdesak akhirnya hanya bisa mengatakan, "Mama kamu yang meminta Papa melakukan ini semua." Keyakinan Dani semakin kuat semuanya pasti ada hubungannya dengan Jinan. Hal yang ditakutkan oleh Dani terjadi, Ana akhirnya tahu soal hubungannya dengan Jinan dan kini sedang mencoba memperlihatkan kekuasaannya. Dani takut hal buruk akan terjadi pada Jinan kalau dia tidak menuruti perintah Mamanya. Namun Dani justru lebih takut hal lebih buruk lagi akan terjadi pada Jinan, kalau dia tetap bertahan di sisi Jinan. Dani terlalu mencintai Jinan dan takut Ana bertindak lebih jauh menghancurkan Jinan yang terlalu lemah untuk menjadi lawan Mamanya. Dani juga yakin pesta malam itu diatur juga untuk menyakiti hati Jinan dan bertujuan membuat Jinan meninggalkan Dani. "Dani akan menuruti perintah Papa dan Mama dengan satu syarat, setelah ini hentikan lelucon Mama yang mencoba mempermainkan perasaan gadis serapuh Jinan. Dia bukan lawan yang tepat untuk Mama,” ujar Dani setelah perdebatan sengit terjadi antara dia dan Ana, saat dia menolak mentah-mentah kuliah di Amerika. "Maksud kamu apa, Dani?" "Setelah ini tolong jangan ganggu Jinan lagi!" "Pernyataan kamu itu sudah cukup membuktikan kalau kamu punya hubungan khusus dengan gadis penggoda itu." "Mama ngomong apa?" "Mama nggak akan tinggal diam. Dia sudah berani-beraninya menggoda kamu. Dasar perempuan nggak tahu diri!" "Cukup, Ma! Jangan menghina Jinan lagi." "Fine! Sudah cukup pembelaan kamu untuk gadis udik itu. Kamu sudah berhasil menyakiti hati Mama, Dani!” pekik Ana, menangis lalu meninggalkan kamar Dani. *** Hari ini Dani mengajak Jinan ketemu untuk menjelaskan soal rencananya kuliah di luar negeri. Jinan marah dan kecewa pada Dani dan menganggap Dani sengaja pergi meninggalkan dia untuk kuliah di US demi mengejar Gracia, karena Jinan tahu kalau perempuan yang membuatnya cemburu itu juga sedang melanjutkan studi di US. Dani menjelaskan kalau dia benar-benar akan kuliah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Gracia. Namun kali ini Jinan tidak percaya begitu saja, lantas meminta hal yang cukup mencengangkan. “Mas Dani pilih putus atau bertahan tetap di sini bersamaku?” tanya Jinan dengan wajah sudah berurai air mata. Tentu hal tersebut menjadi pilihan yang sulit bagi Dani. Namun Dani bertekad ingin melepas Jinan dari jerat kelicikan Ana. Dengan berat hati akhirnya Dani mengambil pilihan pertama. Keputusan itu tidak hanya menghancurkan perasaan Jinan yang masih naif, tetapi juga menghancurkan perasaan Dani yang sudah terlanjur jatuh hati pada segala kepolosan dan keunikan dalam diri seorang Jinan. ~~~ ^vee^  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD