POV Rheinatta
Bramantyo mengernyitkan alisnya sekilas. Tanpa mengatakan apa-apa kepadaku.
Aku tak mau kalah dan membalas dengan mengangkat-angkat alisku. Bahasa tubuh menantangnya, meminta penjelasan.
Lalu mendadak diam yang lumayan panjang. Hening. Padahal menurutku tidak ada yang salah dengan ucapanku barusan.
Lucu nih Dua Cowok ini. Aku perhatikan, Bramantyo dan Kelvin hanya beradu pandang, bukannya cepat-cepat menyahutiku. Ya kalaupun belum terpikir apa gagasan yang cocok, ya minimal kasih kek, tanggapan singkat atas ucapanku tadi. Jangan membuat Seorang Cewek menunggu-nunggu nggak jelas begini dong…! Nggak bagus, tahu!
Aku mengerling pada Bramantyo, tak sabar menanti reaksinya lebih lanjut. Yang dilirik malah tenang-tenang saja, tidak merasa masih mempunyai hutang jawaban ke aku Tak kehabisan akal, aku mengalihkan tatapanku kepada Kelvin, berharap dia paham akan kemauanku.
Cowok tersayang itu menghela napas panjang.
Lalu begitu melihat Bramantyo mengedikkan bahu pertanda tengah enggan menanggapi lebih jauh, Kelvin mengisyaratkan kepadaku agar berhenti mendesak.
Aku sedikit merengut jadinya
Menyadari hal itu Kelvin mencolek pipiku.
“Entar deh, Bee. Nanti kalau sudah ketemu jenis acaranya, baru kita cari waktu dan pikirkan soal itu bersama-sama. Sekarang ada yang lebih urgent,” tukas Kelvin.
“Apa?” balasku dengan malas. Pikiranku jadi negative. Aku merasa bahwa mereka berdua ini hanya mengulur waktu saja dan ujung-ujungnya juga menghindar. Alias, bayang-bayang bahwa akan ada pertunjukan asyik yang dimotori klub Pecinta Alam kebanggaan kami semakin menjauh, sembari melambaikan tangan kepadaku. Uh. Sedih, kan?
“Mendingan kita cari tempat yang lumayan enak buat menonton acaranya,” lanjut Kelvin. Ucapannya menyadarkanku bahwa beberapa langkah lagi kami bakal tiba di lokasi berlangsungnya acara.l, tujuan kami sedari tadi
Aku bereaksi dengan sedikit berjinjit dan mencoba untuk melayangkan pandang sejauh mungkin. Ya, aku sungguh-sungguh berharap, masih tersisa tempat yang cukup nyaman buat kami bertiga untuk menonton pertunjukan. Sayang seribu sayang, pandangan mataku terhalang oleh kerumunan sejumlah Orang yang berada di depanku. Jangkung-jangkung semua lagi, Orang-orang ini! Sedih juga ya, punya tinggi badan standard begini. Paling sedih kalau lagi mau menonton pertunjukan begini!
“Sesak banget ya, Hon? Masa kita berdiri di deretan paling belakang begini? Apa nggak ada kemungkinan buat kita supaya agak maju ke depan? Yuk, kita coba saja. Siapa tahu masih ada tempat duduk yang tersisa?” tanyaku penuh harap, sembari mengeker pada segenap deretan kursi di bawah tenda besar di hadapan kami. Aku menarik tangan Kelvin, agar segera melangkah ke depan.
Kelvin menggeleng.
“Bee, nggak usah deh. Percuma, pasti penuh. Ya dari sini saja sudah kelihatan kok!” cegahnya. Ucapannya tak serta merta mematahkan semangatku.
Aku justru menoleh pada Bramantyo, memberi kode keras agar Bramantyo bergerak cepat mengikuti kami. Bukannya mengikuti kemauanku, Bramantyo malah menggelengkan kepala dengan tegas. Dibiarkannya aku dan Kelvin, yang setengah kuseret, terus melangkah. Geregetan deh!
“Bram, ayolah!”
Sekarang aku bukan hanya menghentikan langkah kakiku dan sekadar mengajaknya, melainkan sekaligus menarik tangannya. Otomatis, aku menempatkan diriku di antara mereka berdua. Jadi, jika sebelum masuk venue tadi Kelvin berada di tengah, sekarang posisinya menjadi bergeser.
Saking fokus dengan usahaku supaya dua ‘Bocah Dewasa’ ini menurut, aku sampai mengabaikan tatapan Seseorang yang bersirobok dengan tatapanku.
Jujur saja, aku sedikit terusik. Sebab dari caranya menatap, sepertinya sudah agak lama dia mengikuti pergerakanku. Itu barusan bukan jenis tatapan tak sengaja. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati.
Lho, dia kan...? Bisa-bisanya dia tersenyum padaku, dari kejauhan begitu. Iya, benar, dia nyata-nyata sedang tersenyum ke arahku! Dan itu jelas bukan senyuman geli karena melihat poseku yang sama sekali tidak menarik, yakni bagaikan Emak-emak yang tengah menggeret dua Bocah Lelaki di sisi kiri dan kanan, supaya serentak mengikuti langkahku. Bukan! Sebab setelah itu, dia juga melambaikan tangan dan mengangguk. Serius, aku tidak bohong.
Eh, apa aku semenarik itu ya?
Di saat aku sedang memikirkan Seseorang yang mengamati aku dari tempatnya berdiri, suara Bramantyo terdengar. Konsentrasiku langsung buyar. Fokus perhatianku beralih kepadanya.
“Kalian saja deh, yang berburu tempat ideal buat nonton. Gue mu di sini saja,” kata Bramantyo. Ia berusaha untuk melepaskan tanganku.
Kontan, aku merengut dan memalingkan wajah pada Kelvin.
“Hon, bilangin temannya, nih! Nggak asyik banget, tahu! Kita kan datang kemari bertiga, ya masa mau pisah-pisah begini nontonnya?” rajukku seraya mempertahankan pegangan tanganku pada Bramantyo. Biar saja, toh tidak akan ada Cewek yang cemburu kepadaku. Kan hatinya Si Bramantyo ini belum punya tempat penitipan yang pas. Masih belum ada yang mengklaim.
Kelvin menarik napas panjang menanggapiku.
“Bee, kayaknya kali ini Bram benar deh. Ngapain juga kita sampai ke depan-depan segala? Berharap bakalan mendapat tempat duduk di area depan? You wish!”
Bisa-bisanya sih dia mengatakan ini. Aku langsung mendaratkan tatapan protes padanya.
Ada gerakan minim di sudut bibir Kelvin. Matanya juga menatapku lembut, sepertinya mau meredakan rasa ketidak puasanku. Aku sudah senang karena berpikir dia menyesali ucapannya.
Tapi.
“Di sini saja Bee, ini lumayan terlindung dari matahari kok, biarpun nggak dapat duduk,” berbeda dari harapanku, Kelvin malahan membujukku setelahnya.
Dan demi mendengar itu, Bramantyo pun tersenyum lebar. Bisa jadi dia merasa di atas angin.
“Dengar tuh, apa kata Pacarnya. Nurut deh! Sudah nonton gratis nggak perlu pakai halu segala. Dipikirnya kita-kita ini VVIP? Bukan, kan?” sela Bramantyo ringan.
“NIP, Bram. Not important person,” timpalku dengan sedikit sebal.
Bramantyo dan Kelvin kembali saling berpandangan.
Aku bereaksi.
“Ya deh, kalau kalian berdua sudah sepakat gitu, gue bisa bilang apa coba? Huh, kalian ini! Andaikan elo itu Seorang Cewek, Bram, pasti sudah gue cemburuin habis-habisan! Soalnya, elo itu membuat gue berasa punya Rival berat saja! Didengar banget, sama Kelvin. Mau tahu apa rasanya? Rasanya seperti lagi diselingkuhi sama Pacar tercinta, di depan mata, pula. Paham nggak?” ucapku dengan nada rendah, lalu kususul dengan aksi mengerucutkan bibirku. Setelahnya, aku mengurai pegangan tanganku pada Bramantyo. Buat apa? Kan sudah tidak ada gunanya. Keputusan Kelvin sudah bulat begitu kok!
“Eh…! Buset, itu bibir! Maju sampai lima senti begitu. Tadahin pakai tangan gih! Entar jatuh, repot lho mungutnya,” ejek Bramantyo kegirangan.
Aku hampir mengerling sadis ke arahnya, kalau saja tidak merasakan elusan tangan Kelvin di lenganku.
Kelvin menatapku sesaat, sebelum tertawa kecil menanggapi olok-olok Bramantyo.
Aku memilih berpura-pura tak mendengar. Padahal, sebenarnya sedang menyiapkan amunisi untuk menyahuti Bramantyo dengan balasan ejekan yang tak kalah telak. Mustinya, begitu, kalau tidak terdistraksi ulah Kelvin setelahnya.
“Sini Bee, biar kamu nggak kepanasan kalau panas matahari mulai nyentrong nanti,” kata Kelvin sembari mengarahkanku agar berdiri sedikit di depannya.
Gerakan tangannya yang menyentuh bahuku dibarengi ucapan lembut itu memang super gentle. Sungguh mustahil bagiku untuk menolaknya. Terlebih, dia menyempatkan menepuk pundakku sekilas.
Perhatian sekali, kan? Bagaimana bisa aku tidak terlena seperti judul lagu lawas yang berirama dangdut itu? Jadi lupa deh untuk membalas ejekan Bramantyo. Rasanya juga akan sia-sia. Dianya terlihat santai-santai saja, menatap arlojinya lalu mengalihkan pandang sekejap ke arah panggung hiburan nan kokoh di depan sana. Hm, sebaiknya memang kami menerima kenyataan tidak mendapatkan tempat duduk. Bisa berlindung di bawah tenda saja sudah bagus, kok!
Tatapanku berkelana, menyapu pemandangan apa pun yang tertangkap oleh bola mataku.
Aku berharap, Kelvin-ku tersayang dan Bramantyo bisa menikmati setiap suguhan acara nanti.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $