bc

BLAME IT TO CUPID

book_age16+
90
FOLLOW
1K
READ
dare to love and hate
sweet
bxg
campus
like
intro-logo
Blurb

si CUPID yang sudah lama mengintai, menarik lagi tali busurnya.

Eh, dia pakai ngedipin mata dulu, seakan-akan dia bilang, “New love is coming! Be ready!”

Beneran lho, kamu ditembak.

Dan sebelum menerima cinta baru ini,

kamu menyempatkan pergi ke laboratorium buat mengukur kadarnya.

Katamu, “Oke lah, ya. Give it a try. Why not? I feel, this one is even better than a previous one.”

Yihaaaa! Dari status soon to be lovers,

kini kalian berdua sepakat mengupdate status ‘in relationship’. Asyiik!

Tapi di sana.., iya, di sana...!

sang mantanmu merana.

Dia baru sadar, telah melepaskan permata, demi mengejar cinta sesaat.

Tahu dia bilang apa?

“Gara-gara CUPID! Aku akan bikin perhitungan denganmu!”

*

Ikuti kisah Kelvin-Rheinatta-Bramantyo-Sylvanie-Kendra dalam mencari cinta sejati mereka, lengkap dengan hingar bingar kehidupan anak band dan me time mereka sebagai pecinta alam yang pasti bikin kamu teringat kala pertama ketemu soulmate yang sekarang

chap-preview
Free preview
‘Bukan Momen Idaman’
POV Kelvin Wiryawan Dari semua orang yang ada di sini sekarang, kelihatannya cuma gue yang paling banyak menempatkan diri jadi Pendengar doang. Buat sekadar menimpali omongan mereka saja gue merasa nggak punya niat dan alasan yang cukup. Uh..! Ya, sejujurnya gue sedang berusaha keras buat menikmati celoteh riang semua Orang yang sekarang ada di sekitar gue. Gue nggak tahu, apakah Teman-teman gue ini paham sama apa yang gue rasakan sekarang. Terutama, berbagai perasaaan bersalah dan menyesal yang berkecamuk di hati gue. Memang, tadi itu perjalanan menuju ke lokasi terbilang lumayan lancar. Gue perhatiin, Bramantyo juga kelihatan enjoy duduk di belakang kemudi.  Nggak heran. Memang hatinya dia lagi happy dan nggak ada beban pikiran, mungkin. Banyak saat di mana Bramantyo mengomentari keadaan jalan dan obyek apa saja yang terlihat di luar sana, dan terdengar begitu normal, nggak adabkesan dibuat-buat. Sesekali Dia juga bercanda dan terang-terangan memancing tawanya Rheinatta. Mereka berdua terlihat lumayan kompak. Kalau Bramantyo melontarkan satu gurauan, Rheinatta menimpali, dan sebaliknya. Mirip Orang yang 'nggak ada matinya' dalak berbalas pantun. Selintas Keduanya terlihat seperti ‘Soulmate’ saja. Kalau Orang yang nggak tahu, bisa jadi bakalan menganggap mereka berdua itu lagi pendekatan satu sama lain, atau malah baru saja jadian di mana semua bahasan dan ucapan terasa serba nyambung satu sama lain karena berada di frekuensi yang sama. Jujur, gue enggak tahu harus bersikap bagaimana sebagai reaksinya. Nggak tahu,lah, rasanya nggak enak melihat keakraban berlebih mereka berdua ini. Bingung gue sama perasaan gue sendiri.  Padahal kan biasanya juga mereka begitu. Tapi sekarang, tepatnya di detik ini memang beda sih.  Gue merasa gue ini berada di tempat yang salah, bisa jadi di waktu yang salah juga.. Gue merasa tersisih. Dan andai Teman-teman gue ini tahu, gue berusaha keras lho, sedapat mungkin nggak menunjukkan betapa perasaan gue enggak nyaman, sekarang ini. Begitu sampai di tempat tujuan dan kami melapor ke pos sementara Bramantyo menitipkan mobil, kami semua memutuskan untuk beristirahat sebentar. Ada yang mengobrol ringan, ada juga yang menggerak-gerakan tangan sama kakinya seperti Orang yang sedang melakukan pemanasan. Yang terutama, ya mengecek ulang bekal makanan dan minuman di tas carrier kami masing-masing. Hitung-hitung, ini sekadar persiapan akhir sebelum memulai pendakian. Sebagai Orang yang sudah sering mendaki gunung, gue jelas mencoba keras untuk menghalau semua perasaan yang mengganggu gue. Gue berusaha keras buat menegarkan hati gue. Salah satunya, gue sampai menarik napas panjang berkali-kali dan menyempatkan menjauh sementara dari semua Teman seperjalanan gue. Merasa itu belum cukup, gue menyulut sebatang rokok dan mengisapnya pelan. Dan saking merasa iseng gara-gara 'gabut', gue juga mengibas kepulan asap rokok gue pakai telapak tangan gue. Gue sadar sepenuhnya, terlalu berbahaya untuk melakukan pendakian gunung tanpa memiliki konsentrasi yang penuh. Ini bukan masalah persiapan fisik semata. Berbaur dengan alam itu nggak boleh sembarangan. Nggak boleh asal ngomong, nggak boleh celetak-celetuk seenak jidat dan pantang berkelakuan minus. Terus ini yang terpenting, IT'S REALLY A BIG NO kalau dibawa ngelamun segala. Memangnya mau sengaja kesambet atau terbawa sama yang halus-halus, terus terlarut dan dibikin melenceng dari jalur, terpisah sama semua Teman yang lainnya lalu ujung-ujungnya jadi hilang? Enggak! Amit-amit deh! Gue enggak mau jadi ngetop dengan cara itu. Gue nggak mau jadi omongan di klub pecinta alam yang gue cintai dan sudah menjadi bagian dari hidup gue, keseharian gue di kampus. Huh! Itu baru tanggung jawab menjadi Seorang Pendaki. Nah ini, bisa dibilang selain Bramantyo, gue juga pasti diandalkan untuk memimpin dalam pendakian ini. Lagi pula, gue merasa wajib buat melindungi Rheinatta biarpun secara diam-diam dan tanpa setahu dia. Ya ampun! Sumpah, nggak enak banget posisi gue sekarang. Rasanya gue khawatir kalau-kalau Rheinatta masih terbawa sama perasaan kesalnya. Hhhh! Kalau Nicky, gue sih percaya banget bahwa suasana hatinya pasti lagi bagus-bagusnya. Nggak usah nuduh gue ge er dalam hal ini. Faktanya memang begitu, kok! Gue memang bukan pakar mikro ekspresi. Tapi kalau melihat muka Nicky yang cerah ceria macam Artis pendatang baru yang ditimpa ribuan spot light dan mengangkat piala kemenangan di tangannya terus tergagap-gagap dalam memulai pidato ucapan terima kasihnya, sejuta persen gue yakin bahwa hatinya Nicky, tentu saja sedang berbunga-bunga. Tapi Rheinatta? Mau sehalus apa pun dia menghindar, gue tahu bahwa dia itu menjauhi gue. Cewek tersayang itu seperti ogah ngomong sama gue. Kelihatan jelas bagaimana dia terang-terangan nggak mau melihat ke arah gue. Seolah gue ini TERLARANG buat dilihat. Begitu kira-kira. Seakan-akan dosa besar buat Rheinatta kalau tatap matanya sampai sempat bersirobok sama tatap mata gue.  Keterlaluan. Dan satu hal lagi. Rheinatta sengaja berdekatan sama Bramantyo terus sejak dia datang ke meeting point tadi. Sementara Bramantyo, kelihatannya kasihan sama dia. Atau..., jangan-jangan Dia baper? Apa? Bramantyo baper? Kok gue jadi nggak enak hati memikirkan kemungkinan ini ya? “Hati-hati Syl, pelan-pelan aja ya. Jalannya licin lho itu,” pesan Kendra berkali-kali. Sesekali Kendra juga mengulurkan tangan, menggandeng Sylvanie pada medan yang dirasanya cukup sulit bagi Gadis itu. Wajar banget kalau Kendra berulah macam itu. Sepertinya dia paham, Sylvanie ini new bie kalau menyangkut kegiatan mendaki gunung begini. Mereka berdua juga setahu gue belum lama ‘jadian’. Lagi sayang-sayangnya deh, kalau kata Orang. Gue amati, Sylvanie juga begitu patuh sama pesan Kendra yang banyaknya melampaui refrain lagu itu. Wajah Sylvanie juga terlihat begitu ceria biarpun ada peluh yang mengalir di paras dia. Dia kelihatan menikmati benar pendakian perdananya ini. Rasanya gue kepengen teriak sekerasnya, “Bee, kamu juga dulu begitu kan? Kamu sampai nggak kenal yang namanya capek. Kamu tuh begitu excited. Dan kamu sampai kelihatan seperti Orang mau menangis saking terharu, saat menjejakkan kaki kamu di puncak gunung buat pertama kalinya! Seakan-akan itu melebihi yang namanya meraih sebuah prestasi. Pencapaian pribadi. Dan jujur, saat itu aku hampir lepas kontrol dan mau memeluk kamu karena ikut senang. Untung saja Bramantyo yang menangkap gelagat itu berdeham keras, mengingatkan ke aku supaya enggak kebanyakan melakukan kontak fisik apalagi mengumbar kemesraan. Nggak ada bagusnya kalau dilihat Teman-teman kita, dan nggak pantas juga.” “Duluan deh, Bram,” cetus Rheinatta lirih saat Bramantyo mengisyaratkan Rheinatta untuk menyusul Sylvanie, Nicky dan gue yang sudah lebih dulu melewati tanjakan lumayan curam itu. Serius, gue enggak tahu maksud dia apa ngomong seperti itu. Gue nggak tahu, apa yang dipikirkan oleh Rheinatta saat dia bisa-bisanya bilang begitu ke Bramantyo. Gue yang pertama kali melewati tanjakan itu, lalu bersiap di atas sini, mengulurkan tangan membantu satu per satu dari Para Cewek yang menyusul setelahnya, yaitu Nicky dan Sylvanie. Tadi itu, sewaktu Nicky menyambut uluran tangan gue yang membantu dia naik, secara nggak sengaja gue melihat Rheinatta sampai sempat memejamkan mata. Dia juga memalingkan wajah dia ke samping. Sumpah, gue merasa dia pasti sakit hati sama gue. Tapi gue harus bagaimana, coba? “Hei … ayo dong Non, itu Cewek lain sudah sampai di atas semua. Ayo, jalan gih.” G Gue mendengar bujukan Bramantyo kepada Rheinatta. Tapi gue memergoki Rheinatta menolak. “Bram…, please…! Elo naik aja duluan, sana,” pinta Rheinatta sungguh-sungguh. Teramat pelan, tetapi toh tertangkap juga sama telinga gue. Dalam hati, gue mengeluh. Saat melihat Cewek tersayang itu menyempatkan meneguk minuman dan membenarkan letak carrier di pundaknya, rasanya susah buat gue untuk mencegah keinginan turun lagi dan membimbing dia naik. Kalau perlu, sedikit menyeret Cewek yang kadang bandel dan nggak mau nurut apa kata gue ini. Iya, gue tahu, gue mulai tahu apa yang ada di otak Rheinatta sekarang. Gue nggak b**o-b**o amat kok. Dia pasti berharap, Bramantyo yang sampai duluan di atas sebelum dia akan membantunya, bukannya gue. Nyesek rasanya d**a gue! Mau rasanya gue tegur dia, “Bee! Begini cara kamu membalas ke aku? Sumpah, ini nggak enak banget Bee! Dari pada kamu begini, mending kamu gamparin muka aku sampai puas, kamu maki aku pakai kata-kata makian yang paling kotor juga boleh. Atau kamu mau mukulin d**a aku sampai kamu puas? Nggak apa Bee! Aku layak buat diperlakukan seperti itu!” Sepertinya terjadi sedikit perdebatan di bawah sana. Gue nggak berhenti melihat ke arah sana.  Sementara di belakang gue, Nicky dan Sylvanie saling bertanya ada apa dan sedang menunggu apa Teman-teman kami yang di bawah sana? Gue mengabaikan celoteh Dua Cewek itu. Mana gue tahu? Kalau saja gue tahu, gue juga sudah teriakin mereka itu, supaya nggak membuang waktu percuma.  “Ya udahlah Bram, nggak masalah. Elo naik dulu. Kan masih ada gue di belakang sini. Amit-amit nih sifatnya, kalaupun Rheinatta sampai perlu bantuan nanti, gue kan bisa tolongin dia. Gih, jalan sekarang!” suruh Kendra akhirnya. Oh itu toh! Ternyata masih meributkan soal Siapa yang mau naik dulu, Bramantyo ataukah Rheinatta! Sial banget! Sepertinya Kendra memahami keinginan Rheinatta, walau Cewek itu sama sekali tak mengucapkan secara verbal ke dia. Rasanya kepengen gue jitak keras-keras kepala tuh Anak! Bikin gue jadi mikir, dia itu Teman gue atau bukan sih? Masa dia malahan membela Cewek itu? Lupa banget atau sekadar lupa, kekompakan kami di klub pecinta alam kampus? Dasar Kutu kupret! Gue mengamati Bramantyo yang menatap Rheinatta dan Kendra bergantian. Juga saat Dia menepuk pundak Rheinatta yang terlihat mengembangkan sebuah senyum. Gila, di detik itu, apa yang gue rasakan mirip-mirip sama perasaan Kontestan Idol saat mendengar Sang Pemandu Acara membacakan jumlah vote dan bilang, “Kelvin, posisi kamu tidak aman.” Asem. Dasar asem memang! Ini artinya, gue terancam dieliminasi, kan? “Oke. Titip Rheinatta ya, Ken,” kata Bramantyo setelahnya. Hati gue terusik mendengar pilihan kata dari Bramantyo.  Tapi sekali lagi, gue bisa apa? Lalu Bramantyo mulai melangkahkan kaki. Dengan tangkas dan mantap Bramantyo melewati tanjakan itu. Maklum, selain tanjakan itu memang sudah lumayan ‘akrab’ sama dia, Sahabat gue yang satu ini memang sedang nggak punya beban. “Biar gue aja yang tolongin dia.” Itu sambutan gue begitu Bramantyo baru saja melewati tanjakan dan langsung mengambil posisi berdiri di dekat gue. Serius, itu bukan kalimat berita. Itu kalimat perintah! Kalimat perintah dan keputusan dari Seorang Kelvin Wiryawan! Biar dia sadar diri, bahwa gue lebih berhak untuk membantu Rheinatta, bukannya dia! Aneh. Bramantyo malahan menatap mata gue. Seolah-olah dia mau memastikan, gue sungguh-sungguh dengan apa yang gue ucapkan barusan. Atau..., entahlah! Apa dia meragukan gue? Huh! Dalam kapasitas apa? Punya hak apa dia melakukannya? Ke gue, pula!  Akhirnya, Bramantyo mengembuskan napas tanpa mengatakan apa-apa. Gue juga malas dan merasa enggak perlu-perlu banget, buat mengatakan sepatah kata saja ke Bramantyo. Sejujurnya, gue malah kesal, melihat dia pakai acara menatap ke bawah, ke arah Rheinatta yang gue lihat sudah mulai naik. Bramantyo seperti mengamati gerakan Rheinatta yang jelas jauh lebih cepat daripada Sylvanie maupun Nicky.  Rheinatta sudah hampir sampai di dekat gue dan Bramantyo, ketika sekali lagi gue merasa perlu untuk menegaskan ke Bramantyo supaya menggeser sedikit posisinya. Maksud gue, supaya gue bisa lebih leluasa untuk mengulurkan tangan gue ke Rheinatta sebentar lagi. Iyalah, area di mana kami berdua berdiri itu kan lumayan sempit. Ya kali mau desak-desakan terus bersinggungan macam Orang di gang senggol? Tolong deh! “Terserah,” kata Bramantyo kemudian, seiring gerakan badannya menggeser posisi ke belakang tubuh gue, setelah mengedikkan bahunya. Gue nyaris tersenyum miring, merasa puas karena sudah ‘memenangkan’ momen ini. Tapi apa yang gue saksikan kemudian malah membuat hati gue sakit. Sakit banget! Siapa sangka, gerakan Bramantyo yang mendadak itu nggak luput dari pandangan Rheinatta? Dan..., ya ampun! Konsentrasi Rheinatta kelihatannya terpecah gara-gara hal yang di luar 'skenario' dia. Akibatnya, salah satu pijakkan kakinya meleset. Meski gerakan refleks tangannya yang dengan sigap meraih batu besar untuk berpegangan supaya nggak jatuh dan mencari pijakan yang baru bersamaan dengan itu, posisi badannya sepertinya sedikit kurang stabil. Betisnya nggak luput dari goresan batu tajam. Celana panjangnya terkoyak beberapa senti di bagian betis kanannya.  Gue bisa menangkap ekspresi kaget di wajah Kendra yang masih ada di bawah sana. “Aduh!” teriak Rheinatta sambil meringis kesakitan.  Mata gue yang terus mengawasi dia melihat adanya darah yang mulai menetes dari lukanya. Gue benar-benar tersentak. Cepat-cepat gue mengulurkan tangan gue. Dalam hitungan detik, gue bahkan menggapai tangan Rheinatta dan menggenggamnya erat. OMG! Rasa cemas gue sudah sampai ke puncak tertinggi, ini! Kepala gue serasa mau pecah. Gue nggak mau luka Rheinatta lebih parah lagi. Tapi apa reaksi Rheinatta? Alih-alih bersikap manis, Rheinatta yang sudah mantap lagi pijakan maupun cekalan tangannya dibandingkan beberapa detik sebelumnya, menepis dengan kasar tangan gue sehingga genggaman gue ke tangan dia terlepas. Hampir saja badan gue limbung karena nggak ada antisipasi sama sekali. Tapi syukurlah, hanya Bramantyo dan Kendra yang melihat jelas kejadian itu. Sahabat gue itu langsung menepuk keras bahu gue. “Elo keterlaluan. Tolong minggir Bro,” perintah Bramantyo, super tegas. Seakan-akan, sudah cukup lama dia berjuang memendam rasa kesal, hanya karena menghargai privasi gue dan Rheinatta. Dan seakan-akan, sudah cukup bagi dia untuk menahan diri. Terus sekarang, akhirnya meluap juga kekesalannya ke gue. Gue mati gaya jadinya. ** Hello, yang barusan dibaca sama Sobat Tersayang itu adalah salah satu episode dari kisah romantis dengan judul BLAME IT TO CUPID. Yang pasti, ada lucu-lucunya, ada sedih-sedihnya, ada gurauan khas Orang-orang di usia menjelang atau awal dua puluhan, sampai dengan ketika lewat masa itu nanti. Kisah romantis ini akan hadir walau mungkin di awal agak lambat update nya. Tapi pada saatnya nanti, pasti rutin menyapa Sobat Tersayang. Nah, sementara baca EX!ST2, NO MATTER WHAT, MISTY AND TRANSACTIONAL LOVE dulu saja, yang rutin menyapa Sobat Tersayang setiap harinya. Yuk, dukung dengan klik ADD atau tap ikon LOVE, ya. Terima kasih!  * $ $  Lucy Liestiyo  $ $

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Unpredictable Marriage

read
281.7K
bc

Rewind Our Time

read
164.1K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
118.4K
bc

Me and My Broken Heart

read
35.2K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.6K
bc

Love Match

read
176.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook