Fira memeluk erat tubuh sahabatnya, tak bisa dipungkiri dirinya kembali menangis, dan Erika lantas mengiring untuk duduk di ruang keluarga, sementara Bik Yuyun bergegas mengambil barang belanjaan Fira lalu mengambil minum untuk wanita muda tersebut.
Pikir Fira, dia bisa tegar menghadapi kenyataan yang dihadapinya hari ini, tapi ternyata dirinya tidak setegar saat menghadapi Brata bersama istrinya. Hatinya kembali lemah ketika sampai di rumah.
Erika mengusap lembut punggung sahabatnya dan membiarkan wanita itu menangis dalam pelukannya, walau dirinya sangat terkejut melihatnya karena selama ini sangat jarang melihat Fira menangis, terakhir melihat Fira menangis waktu mereka pertama kali mereka bertemu, dimana kehidupan Fira begitu terpuruk seorang diri.
Menangis bukan berarti dirinya wanita cengeng atau lemah, tapi menangis sebuah bentuk emosi hati yang sudah tidak bisa dibendung lagi hingga memilih untuk menangis dan biasanya setelah itu ada kelegaan di hati. Usai Fira menumpahkan kesedihannya barulah dia meregangkan pelukannya dan mengusap wajahnya yang basah dengan tangan kosong.
“Minum dulu Fira biar agak tenang,” pinta Erika sembari mengambil gelas yang sudah diletakkan oleh Bik Yuyun di meja.
“Makasih,” ucap Fira ketika menerima gelas tersebut, lalu meneguknya perlahan-lahan.
“Apa yang membuat kamu menangis begini ... hem?” tanya Erika sangat lembut sembari mengusap lengan Fira.
Fira menatap bingung pada Erika, entah harus bercerita mulai dari mana. Tapi yang jelas permasalahan dirinya tidak bisa dia sembunyikan kepada kedua temannya tersebut.
“Erika, kamu ingatkan kalau bulan lalu aku berobat ke dokter kandungan?”
“Iya, bagaimana hasilnya? Bukankah katamu hari ini ke rumah sakit, terdeteksi penyakit’kah?” cecar Erika agak cemas, dan langsung mengira jika sahabatnya ini menangis mungkin berhubungan dengan hasil papsmearnya.
Usai bertanya, Erika mengambil kotak tisu dan membiarkan Fira untuk membersihkan ingusnya yang keluar karena tangisannya, sembari dia menyiapkan hati untuk mendengar hasil papsmear milik Fira.
“Erika, pihak rumah sakit melakukan kesalahan yang sangat fatal dan—,” Fira menarik nafasnya yang terasa sangat menyesakkan, kemudian menarik tas kerjanya untuk mengambil berkas miliknya dari rumah sakit untuk ditunjukkannya pada Erika. Dan sudah tentu Erika membuka amplop tersebut dengan cepatnya, lalu netranya terbelalak saat membaca surat permohonan maaf dari rumah sakit, mulutnya menganga tak menyangka.
“Fir, jadi kamu bukannya melakukan papsmear tapi inseminasi?” Erika bertanya lagi untuk memastikan dan kelihatan terkejut.
Fira mengangguk pelan. “Dan ... aku hamil Erika gara-gara inseminasi itu,” jawab Fira agak bergetar suaranya.
Erika langsung memeluk sahabatnya. “Astagfirullah, kenapa jadi begini.” Turut prihatin atas kejadian yang menimpa sahabatnya, dan ini bukanlah kabar baik.
Lepas dari pelukan Erika, Fira kembali mengusap wajahnya yang basah air mata dengan sehelai tisu.
“Pihak rumah sakit harus dituntut Fira, nanti kita bilang sama Mas Galuh untuk bantu mengurusnya,” ucap Erika agak geram dengan kecerobohan tersebut.
Fira menggeleng samar, lalu menangkup tangan Erika. Dan mulailah dia bercerita mengenai hari ini di rumah sakit, tanpa ada yang terlewati, bisa dipastikan Erika semakin tercengang mendengarnya.
Erika mengatur napasnya yang mulai naik turun sembari meminta Bik Yuyun mengambilkan minuman dingin untuk dirinya, sementara Fira sudah mulai lega setelah bercerita pada Erika.
“Selama 6 tahun kamu tidak bertemu dengan pria yang pernah menikahimu atau entahlah mau sebut suamikah atau sudah jadi mantan suami, dan hari ini kamu bertemu dengannya bersama istrinya, lalu kamu hamil anak pria itu melalui inseminasi. Astaga dunia ini memang hanya selebar daun kelor. Ibarat kata dia ada di selatan sedangkan kamu ada di pusat, dan selama ini kamu gak pernah bertemu, tapi hari ini bertemu, sungguh luar biasa,” imbuh Erika tidak habis pikir.
“Non, ini minumnya.” Bik Murni sengaja membuat es teh manis untuk Erika, dan wanita itu langsung meneguknya hingga tandas, agar adem hatinya yang sempat memanas.
“Aku saja tidak menyangka bisa bertemu lagi dalam keadaan seperti ini,” ucap Fira agak memelas.
“Terus sekarang apa yang ingin kamu lakukan jika tidak mau menuntut kecerobohan pihak rumah sakitnya?”
Fira kembali mengambil tas kerjanya, lalu mengeluarkan amplop coklat pemberian Bianca dan menaruhnya di atas meja sofa.
“Istrinya memberikanku uang sebagai ganti rugi dan sepertinya ini cukup untuk menggugurkan kandunganku,” ucap Fira dengan tenangnya.
Erika kembali dibuat terhenyak, lalu menolehkan wajahnya ke arah meja, tangannya pun terulur memijat pangkal hidungnya.
“Jadi keputusanmu adalah ingin menggugurkan kandunganmu itu?” tanya Erika.
“Ya, aku ingin menggugurkan kandunganku,” jawab Fira dengan tegasnya.
Wanita berambut pendek itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu kembali menatap sahabatnya. Dan memosisikan tubuhnya agar lebih dekat dengan Fira.
“Fira, aku ingin menyarankan untuk saat ini sebaiknya kamu menenangi dirimu sejenak, jangan mengambil keputusan di saat pikiran dan hatimu sedang berkecamuk. Mungkin jika aku ada di dalam posisimu pasti akan berpikir seperti itu juga. Tapi ingatlah kalau kita memiliki Allah tempat kita mengadu dan meminta pertolongannya atas segala masalah yang kita hadapi. Kamu tahukan jika menggugurkan kandungan itu berdosa, dan di luar sana banyak sekali wanita ingin mengandung tapi belum juga terwujud, ya seperti istrinya si itu hingga memilih mencari ibu pengganti. Jadi aku mohon tenangkan pikiranmu dulu, nanti kita akan bicarakan bersama-sama dengan Mas Galuh, mencari solusinya yang terbaik,” imbuh Erika sangat lembut, agar segala masukannya bisa dicerna oleh Fira.
Wanita cantik itu menghembuskan napas lelahnya, dan menjawab iya. Semua perkataan Erika memang benar jika menggugurkan kandungan itu dosa, tapi banyak hal yang mendorong dirinya untuk memilih keputusan tersebut, terutama karena anak yang di kandungnya dari benih Brata!
“Kalau begitu sekarang sebaiknya kamu bersih-bersih dulu, lalu kita makan malam, Bik Yuyun sepertinya sudah selesai masak,” pinta Erika sembari beranjak dari duduknya.
“Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu,” pamit Fira ikutan beranjak, dengan langkah kaki yang tergontai dia masuk ke kamarnya yang ada di lantai satu.
Sementara itu di mansion Brata ...
Ruang makan yang tampak mewah tampak sunyi tak ada yang berbicara, yang ada hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Papa Arvin dan Mama Winda tampak hikmat menyantap makan malamnya, sementara Brata sesekali menatap bibinya Fira yang sedang sibuk menaruh hidangan selanjutnya.
“Brata, kamu jadi membeli perusahaan Cipta Adiguna?” tanya Papa Arvin sembari meneguk air putih.
Pandangan Brata ke Bik Dewi langsung buyar, lantas dia menatap papanya. “Jadi Pah, besok rencananya aku akan ke perusahaan Cipta Adiguna untuk mendeklarasi kepemilikan perusahaan tersebut.”
Perusahaan Cipta Adiguna salah satu perusahaan skala menengah ke bawah yang membutuhkan bantuan dana segar untuk tetap bisa menjalankan usaha pengembangan property. Sebagai pebisnis, Brata menawarkan untuk menjual perusahaan tersebut kepadanya dengan memberikan keuntungan dalam transaksi jual beli perusahaan, dan rupanya pemilik perusahaan menyambutnya dengan baik. Esok pria itu akan ke sana dan apa yang terjadi di sana?