Bab 9. Enyahlah dari mataku ini, Nadira!

1123 Words
Bukan hal yang mudah memutuskan menggugurkan kandungan seperti yang sekarang dihadapi oleh Fira. Usai makan malam, Erika yang sudah sedikit bercerita kepada Galuh kakak sepupunya akhirnya mengajak untuk berbincang dengan Fira. “Bebs, dengerin Mas ya. Mas sangat tidak setuju kalau Bebs sampai mau menggugurkan kandungan. Kalau Bebs tidak mau anak tersebut, bisa anaknya kasih sama Mas, biar Mas yang mengasuhnya,” tegur Galuh dengan gaya tangannya yang melambai. “Mas Galuh, tapi ini anak dari pria yang sangat be-jat. Aku tidak mau mengandung anaknya, sudah cukup dulu dia menginjak-injak harga diriku, sampai dia sendiri berbicara semoga anaknya yang aku kandung mati sebelum dilahirkan. Itu sangat menyakitkan Mas Galuh,” balas Fira agak tercekat saat berbicara. Pria tampan nan gemulai itu menatap dalam pada Fira, lalu menyentuh tangan wanita tersebut dan menangkupnya. “Bebs, dengarkan Mas ya. Kamu sekarang sudah menjadi wanita sehebat ini sebenarnya ada andil dari pria b***t itu, pria yang telah menyia-nyiakan istri secantik dan sebaik ini. Dengan dia melukai dan menginjak-injak harga dirimu justru membuat kamu memiliki keinginan mengubah nasibmu di Jakarta, dan ternyata kamu berhasil. Kamu menyelesaikan kuliahmu dengan baik, lalu memiliki pekerjaan yang dengan jabatan yang bagus. Sekarang ada calon bakal anak yang tidak bersalah yang kamu kandung, cukup kamu lupakan pria itu, toh kamu tidak akan bertemu dengannya kembali. Dan belajarlah untuk menerima kehadiran calon baby yang kamu kandung. Kalau perlu Mas akan menikahimu agar kamu tidak malu saat perutmu semakin membesar,” imbuh Galuh. Jika sudah bicara serius seperti ini maka suara gemulai Galuh berubah menjadi suara bariton yang penuh wibawa, bikin Fira terharu dan tersentuh dengan kebaikan Galuh. “Terima kasih Mas Galuh atas kesediaannya, tapi menikah bukanlah sebuah ajang permainan Mas. Tidak semudah itu Mas Galuh ingin menikahiku, aku tidak mau Mas terlibat dengan masalah sejauh itu,” tolak Fira secara halus. Erika yang ada di antara mereka berdua, agak mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Galuh serta Fira secara bergantian. “Mas Galuh, ada baiknya biarkan Fira berpikir dengan tenang dulu. Mengandung seorang anak itu tidak semudah yang kita bayangkan Mas. Apalagi Fira sendiri dulu sempat mengalami trauma kehilangan bayi yang di kandungnya. Dan benar kata Fira, walau Mas Galuh bersedia untuk menikah dengan Fira, pernikahan itu bukan mainan Mas. Bagi kami sebagai wanita pernikahan itu sangat sakral, kalau bisa cukup sekali untuk seumur hidup, jadi mari kita menghormati Fira untuk saat ini agar keadaannya tenang dan jangan berbuat hal apa pun terlebih dahulu,” imbuh Erika tampak serius. Sesaat keheningan pun terjadi di ruang santai, Fira menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan tampak lelah. Sementara Galuh menatap iba pada Fira. “Baiklah, kalau begitu kamu pikirkan dulu dengan hati dan jiwa yang tenang, jangan bertindak gegabah. Jika memang sudah pasti keputusan kasih tahu ke Mas dan Erika. Tapi Mas sangat berharap jangan ada niat yang buruk dengan kandunganmu itu, ya,” pinta Galuh, mulai suara gemulainya terdengar. “Iya Mas, aku akan pikirkan dulu,” balas Fira, mendesah lelah. Andaikan kedua orang tuanya masih hidup, mungkin ini akan menjadi beban yang berat bagi Fira. Tapi di satu sisi dia sangat merindukan kedua orang tuanya yang telah lama meninggal akibat kecelakaan tabrak lari di saat dia duduk di kelas 2 SMU. Kini, semua yang terjadi dalam kehidupannya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Malam semakin larut, Fira kembali masuk ke kamarnya, akan tetapi sebelumnya dia ke dapur dan memakan beberapa potong buah nanas muda tanpa sepengetahuan Erika dan Galuh. “Maaf,” gumam Fira sendiri, tangan kanannya terulur mengusap perutnya yang masih rata tersebut. Sementara itu di mansion Brata ... Bianca sudah pulang dengan wajah lelahnya, dan tanpa banyak basa basi pada suaminya, wanita itu setelah mandi langsung merebahkan tubuhnya. Melihat hal seperti itu Brata memilih untuk ke ruang kerja menyelesaikan beberapa pekerjaannya untuk dia bawa ke perusahaan yang baru dia beli. Sebenarnya Arya sudah membantu menyelesaikan pekerjaan Brata, tapi Brata sepertinya sengaja mencari kesibukan dan sedang mengalihkan pikirannya agar wajah wanita yang dia renggut kehormatannya itu lenyap dari pelupuk matanya. “Argh! Kenapa wajahnya masih belum pergi juga!” sentak Brata sembari membanting pulpen yang dia pegang dengan kasarnya. Mau seberapa keras Brata berusaha menghempaskan bayangan Fira yang mampu mencuri perhatiannya hari ini, setelah enam tahun tidak berjumpa, ternyata bayangan Fira tak bisa dienyahkan begitu saja. “Argh!” Brata geregetan sendiri, lalu menghempaskan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi kerjanya. “Enyahlah dari mataku ini, Nadira!” geram Brata. Dalam keadaan seperti itu pintu ruang kerjanya terketuk. “Permisi Tuan, saya mau antarkan kopi pesanan Tuan,” ucap wanita yang baru saja mengetuk pintu. “Masuklah!” sahut Brata agak sedikit berteriak, dia baru teringat tadi sempat memesan kopi. Dan masuklah maid tersebut dengan nampan di tangannya, tampak wanita paruh baya itu enggan menatap tuannya, terlihat tangannya agak gemetar saat meletakkan cangkir kopi di atas meja kerja Brata. “Silakan Tuan Brata, ini kopinya,” ucap Bik Dewi bibinya Fira dengan menundukkan wajahnya usai meletakkan cangkir kopi tersebut. Brata menegakkan kepalanya lalu menatap Bik Dewi tersebut. “Saya permisi Tuan,” pamit Bik Dewi merasa sudah selesai urusannya dengan Brata. “Tunggu sebentar Bik Dewi,” cegah Brata saat melihat wanita paruh baya itu berbalik badan. Langkah kaki Bik Dewi pun berhenti, lalu kembali menghadap tuannya. “Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya Bik Dewi tanpa menatap jelas pada tuannya. Brata masih menatap wanita paruh baya tersebut, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kerjanya, mendadak hati pria itu meragu untuk bertanya, tapi rasa ingin tahunya menyergap hatinya. Bik Dewi dengan memeluk nampan masih terlihat sabar menanti perintah dari Brata. “Selama ini Bik Dewi pernah bertemu dengan Nadira?” tanya Brata dengan ekspresi datarnya. Terkesiaplah Bik Dewi mendapat pertanyaan seperti itu dari mulut Brata, karena sudah bertahun-tahun Brata tidak pernah menanyakan keponakannya setelah Fira diusir. Dan justru dirinya serta maid yang mengenal Fira tidak boleh menyebut nama Nadira atau membicarakan wanita itu di mansion kalau masih mau bekerja di sana. “Bik Dewi dengarkan apa yang saya tanya barusan?” tanya Brata sekali lagi, dan agak kesal karena wanita paruh baya itu tidak langsung menjawabnya. “Eh anu Tuan, saya sudah lama tidak bertemu dengan Nadira, kalau boleh tahu ada apa ya Tuan menanyakan Nadira.” Sangat terpaksa Bik Dewi berbohong, dari pada nanti ada kesalahan kembali mengingat tuannya orangnya sangat saklek. Ada tarikan napas kecewa yang berembus dari Brata. “Keluarlah!” pinta Brata, dan dia tidak menjawab pertanyaan Bik Dewi, justru dia mengumpat dirinya yang menanyakan Nadira pada maidnya. “Ck ... Kurang kerjaan sekali aku sampai menanyakan Nadira,” batin Brata. Dengan rasa penasaran Bik Dewi bergegas keluar dari ruang kerja Brata. “Tumben Tuan Brata menanyakan Nadira, ada apa tiba-tiba teringat dengan keponakan saya?” gumam Bik Dewi jadi bertanya-tanya sendiri selepas dia keluar dari ruang kerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD