Keputusan untuk meminta pertolongan pihak security mall membuahkan hasil, Fira bisa pulang dengan rasa aman tanpa diikuti oleh Brata. Sementara Brata sejak tadi mengumpat tidak jelas sepanjang perjalanan menuju pulang ke mansionnya. Arya sepanjang perjalanan pun hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.
Sekitar satu jam perjalanan dari mall ke mansion, akhirnya mobil yang ditumpangi Brata sampai di bangunan mewah berlantai tiga tersebut. Kepala pelayan sudah tampak berdiri untuk menyambut kepulangan tuannya, dengan sigapnya membuka pintu mobil dan mempersilahkan tuannya untuk turun.
“Nyonya sudah pulang?” tanya Brata sembari melepaskan jas berwarna abu-abu itu, lalu memberikannya kepada kepala pelayannya.
“Nyonya belum pulang, Tuan Brata,” jawab Akmal sembari menyusul langkah Brata yang sudah masuk ke dalam mansion.
Pria itu hanya berdeham, sebenarnya pertanyaan barusan hanya basa basi saja karena Bianca terbiasa pulang di atas jam makan malam karena kesibukan mengurus butiknya, kecuali jika sudah ada janji pada suaminya baru akan cepat pulang.
“Tumben sudah pulang Brata, biasanya kamu akan selalu pulang bareng dengan istrimu itu,” sindir Mama Winda yang sedang menyesap teh hangatnya di ruang utama sembari membaca beberapa majalah.
Brata menarik napas sembari menjatuhkan bobotnya ke sofa single, lalu menatap wanita yang sudah berumur dan masih terlihat cantik itu.
“Pulang cepat salah, pulang terlambat juga salah,” gerutu Brata, terdengar kesal.
Mama Winda mencebik, lalu kembali menyesap teh hijaunya tersebut. “Ya, Mama hanya melihat kebiasaanmu saja dalam beberapa tahun ini, semakin lama mansion ini sudah seperti hotel, di datangi hanya untuk tidur selebihnya mansion sebesar ini sepi seperti tidak ada penghuninya,” balas Mama Winda sembari mengedarkan pandangannya ke semua arah.
Mansion mewah yang menyerupai hotel bintang lima memang bisa dikatakan sepi, penghuninya hanya kedua orang tua Brata, Brata dan Bianca karena Brata hanya anak tunggal, selebihnya beberapa maid yang bekerja di mansion itu pun mereka semua menempati paviliun yang ada di belakang mansion.
“Andaikan kamu dan Bianca sejak dulu sudah memiliki anak, mungkin mansion ini akan terasa ramai, dan kamu pasti selalu pulang cepat dari perusahaan, karena ada anak yang selalu menanti kepulanganmu,” ucap Mama Winda kembali menatap anak satu-satunya.
Akmal sang kepala pelayan kembali datang ke ruang utama dengan membawa nampan di tangannya, kemudian meletakkan isi nampan tersebut berupa cangkir teh hangat untuk Brata, dan pria itu langsung menyesapnya perlahan-lahan.
“Jadi kapan istri yang sangat kamu cintai itu memberikan Mama dan Papa seorang cucu, kamu sudah 5 tahun menikah tapi Bianca masih belum hamil,” tanya Mama Winda agak menyindir, padahal sebenarnya Mama Winda tahu jika menantunya tersebut memiliki masalah di rahimnya, tapi tetap saja menuntut cucu kandung dari Brata.
“Bisakah Mama tidak selalu menanyakan masalah anak, anak dan anak terus! Aku jenuh Mah kalau setiap hari selalu membahasnya terus. Mama'kan tahu jika rahim Bianca bermasalah sulit untuk memiliki anak dan sekarang kami sedang berusaha mencari jalan lain agar aku memiliki anak kandung. Dan jangan Mama menyuruh aku menikah hanya demi mendapatkan keturunan, karena istriku cukup satu yaitu Bianca Zayla Azka,” jawab Brata tampak kesal.
“Mungkin gak kalau Bianca itu tidak bisa mengandung, karena karma buatmu setelah mengusir Nadira yang belum pulih setelah keguguran,” celetuk Mama Winda agak ketus. Ingatan wanita tua itu pada menantu pertamanya masih terekam jelas, ada rasa kesal pada putranya yang main mengusir begitu saja walau memang Fira bukan menantu yang dia harapkan, tapi paling tidak jika ingin mengakhiri sebuah pernikahan sebaiknya dilakukan secara baik-baik. Dan entah kenapa hari ini pun Mama Winda teringat dengan menantu pertamanya.
Brata menyugar rambut tebalnya ke belakang, sembari mengembuskan napas beratnya. “Tolong Mah, jangan mengungkit-ungkit nama wanita itu, apalagi di depan Bianca!” tegas Brata.
“Andaikan saat itu Nadira tidak keguguran, mungkin cucu Mama sudah umur 5 tahun, dan Mama sudah dipanggil Oma sama anakmu itu,” lanjut kata Mama Winda dengan santainya, tidak peduli pada Brata yang tidak menyukai kata-katanya tersebut.
“Cukup, Mah!” Agak meninggi suara Brata, lalu dia beranjak dari duduknya.
Mama Winda mendongakkan wajahnya. “Brata mungkin ada baiknya kamu mencari Nadira, dan minta maaflah padanya dengan tulus. Siapa tahu aja karma tersebut bisa hilang, dan istri yang selalu kamu puji itu dimudahkan untuk mengandung anakmu, kalau memang kamu tidak mau menikah lagi dengan wanita lain,” pinta Mama Winda. Tanpa dicari Brata juga sudah bertemu dengan Fira, akan tetapi kehilangan jejaknya.
“Mah! Semuanya ini tidak ada hubungan dengan wanita itu! Tidak ada namanya karma! Nadira keguguran bukan karena kesalahanku atau ada sangkut pautnya dengan Bianca!” Brata tampak semakin kesal pada mamanya, lalu dia memilih bergerak meninggalkan Mama Winda begitu saja.
Wanita tua itu hanya bisa mengembuskan napas kecewanya, lalu menolehkan wajahnya ke belakang bahu menatap punggung putranya.
“Brata, jangan lupa sebentar lagi makan malam, Mama masak makanan kesukaanmu!” ucap Mama Winda agak sedikit berteriak saat anaknya pergi begitu saja. Brata tak menjawab, hanya melambaikan tangannya dan bergegas menuju lift.
Mama Winda kembali menatap lurus, dan menghela napas panjangnya. “Apa kabarnya Nadira sekarang, di mana kini dia berada,” gumam Mama Winda tampak sedih.
Bibinya Fira Nadira masih bekerja di mansion, terkadang Mama Winda menyempatkan diri untuk menanyakan tentang Fira, tapi sayangnya bibinya Fira menutupi keberadaan keponakannya tersebut, alhasil dia pun tak bisa memaksakan kehendaknya yang ingin tahu.
Kedua orang tua Brata sangat menyesali perbuatan Brata yang kala itu telah merusak gadis yang baru saja bekerja di mansionnya, lalu berakhir begitu saja, Mama Winda sebagai wanita sangat marah ketika mengetahui Brata mengusir Fira.
“Andaikan suatu hari bertemu dengan Nadira, aku ingin sekali meminta maaf padanya,” gumam Mama Winda sangat berharap.
__________
Di waktu yang sama Fira juga sudah tiba di rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh di Depok, rumah milik keluarga temannya yang ditempati oleh empat orang termasuk dirinya, Fira, Erika dan sang anak pemilik rumah bernama Galuh si pria perkasa, namun agak gemulai, serta salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di sana bernama Bik Yuyun.
Rumah yang termasuk mewah itu menjadi tempat tinggal Fira setelah berkali-kali pindah kontrakkan usai diusir oleh Brata dari mansion, dan akhirnya dia bertemu dengan orang baik saat dirinya mulai kuliah di salah satu universitas negeri di Depok, tidak lain adalah Galuh kakak seniornya di kampus tersebut yang rupanya masih saudara sepupu dengan Erika teman sekelasnya.
Hidup sendiri di Jakarta itu sangatlah berat bagi Fira, walau ada bibinya di Jakarta tetap saja dia enggan untuk meminta bantuan, apalagi bibinya masih bekerja di mansion Brata dan tak mungkin dia mengganggunya.
“Fira, tumben kamu udah pulang biasanya suka lembur?” tanya Erika saat menyambut kepulangan sahabat.
Fira mengangkat wajahnya dan mencoba untuk tersenyum, tapi sayangnya netranya sudah memerah dan sembab, sepanjang perjalanan pulang rupanya Fira menumpahkan kesedihannya, hati siapa yang tidak akan sedih jika hamil anak dari pria yang pernah menikahinya.
“Fira, kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Erika agak cemas.
Bersambung ...