“Nek ono masalah, ojo digawe nesu-nesuan.
Seng ati-ati ojo gawe wong wedok loro ati.
Ora apik.
Engko kabeh usahamu ora diberkati Gusti Allah.”
Mbok Sumi – Wejangan Sesepuh
⠀
Amarahnya sedikit teredam ketika melihat kucuran air mata yang membanjiri wajah tirus Chana. Gadis itu memucat dengan tubuh bergetar menatap dirinya, ketakutan. Daniyal sungguh belum pernah semurka hari ini.
Ia kira Chana akan membantah ucapannya, jadi ia bisa lebih lama meluapkan kekesalannya. Namun gadis itu justru terdiam seribu bahasa, menunduk dengan berurai air mata. Tampak begitu ringkih. Membuat Daniyal tidak tahu mesti bersikap apa.
Ia belum pernah berhadapan dengan wanita yang menangis selain Kirani. Kalau itu Kirani, Daniyal pasti sudah memeluk dan menghapus butiran bening itu. Tapi anehnya …, entah mengapa Daniyal juga merasakan hasrat ingin menghapus jejak air mata di wajah Chana. Menenangkan wanita itu. Menghiburnya.
Huff ...! Daniyal menghela napas lelah. Memijit sekat di antara kedua alisnya.
Harusnya ia bicara baik-baik dengan Chana lebih dulu. Tapi Daniyal terlanjur emosi karena melihat kamar pribadinya – semua kenangan Kirani yang telah ia pertahankan sekian tahun lamanya agar tetap sama – hancur begitu saja.
Daniyal membatalkan niatnya kembali ke kamar. Buat apa, kamar itu sudah berantakan. Sebaiknya Daniyal ke paviliun barat saja. Ia harus mendapat penjelasan dari Mbok Sumi dan Pak Mansur, apa saja yang sudah dilakukan Chana selama tinggal di mansion ini. Selain itu, ia ingin si Mbok menyiapkan kamar tamu untuk Chana di lantai bawah sebelum jam makan malam. Mungkin sebaiknya besok pagi si Mbok saja yang membersihkan kembali kamar Kirani seperti sediakala.
Baru saja Daniyal hendak mengetuk pintu paviliun, Mbok Sumi sudah membukakan pintu duluan. Mereka sontak terperanjat dan bicara berbarengan.
"Uh, Mbok ....”
"Den Mas? Ada suara ribut-ribut apa tadi, Den?" tanya Mbok Sumi lembut.
Daniyal menarik napas mengendalikan emosinya. Ia tidak bisa bersikap keras pada Mbok Sumi. Perempuan Jawa itu sudah seperti Ibu ke dua baginya. Pengasuhnya sejak kecil dan sahabat Bundanya pula. Mbok Sumi juga sangat menyayanginya layaknya anak sendiri.
"Ayo masuk dulu," lanjut Mbok Sumi lagi dengan logat Jawa yang kental.
Daniyal duduk di ruang tamu mungil itu.
"Aku mau tanya, Mbok," ucapnya to the point. "Tamu yang tinggal di rumah utama, siapa yang suruh nempatin kamar Kirani, ya, Mbok?"
Mbok Sumi tercenung, menatap Daniyal bingung.
"Bukan pacar Den Mas, toh? Den Ayu sendiri yang pilih kamar itu. Mbok juga ragu, mau ngelarang ndak enak, takut Den Ayu tersinggung. Den Mas juga ndak ada bilang, toh?"
Daniyal meringis. Benar juga, ia tidak begitu detail menjelaskan kedatangan Chana pada Mbok Sumi. Siapa Chana, di kamar mana Chana harus tidur. Kesibukannya di Rumah Sakit membuat ia lupa kalau Chana sudah diperbolehkan pulang.
Kalau bukan karena Pak Sukri, sopirnya, menelepon Daniyal masalah penjemputan Chana, mungkin Daniyal sudah benar-benar lupa. Jadi ia buru-buru menghubungi si Mbok, sekadar mengatakan akan ada tamu yang menginap di mansion. Daniyal meminta si Mbok dan Pak Mansur untuk membersihkan mansion serta melayani tamu mereka dengan baik.
Daniyal juga sudah memberi resep obat untuk ditebus Pak Sukri. Jadi si Mbok nantinya bukan hanya menyediakan menu makanan sehat yang dibutuhkan Chana, tetapi juga mengatur obat yang harus Chana minum. Cuma itu yang bisa ia katakan karena Daniyal sudah ditunggu di ruang operasi. Pastinya Mbok Sumi sendiri juga bingung harus bersikap apa terhadap Chana.
“Mbok kira Den Ayu dan Den Mas ….”
"Bukan, Mbok,” potong Daniyal risi. “Uhm … dia itu cuma pasien yang numpang tinggal sementara di sini."
"Oh ... gitu, toh. Pasien, ya. Maaf, Den …, Mbok ndak tahu."
Daniyal menarik napas. "Aku nggak nyalahin Mbok, kok. Aku juga lupa menjelaskan siapa dia ke Mbok sama Bapak."
Mbok Sumi menatap Daniyal lamat-lamat, tampak berpikir keras.
"Hmm ... maaf ya, Den, kalau boleh Mbok nanya, kenapa kok ndak dirawat di Rumah Sakit saja? Apa ndak dikasih tahu sama pihak keluarganya?"
Daniyal menceritakan semua tentang Chana pada Mbok Sumi. Pertama kali mereka bertemu, Chana yang begitu mirip dengan lukisan Kirani. Kecelakaan yang dialami Chana, sampai mengalami amnesia. Identitasnya yang tidak bisa ditemukan dan gadis itu hanya ingat bahwa namanya adalah Chana. Lalu hasil pemeriksaan dan visum Chana yang mencurigakan.
"Kenapa ndak lapor polisi toh, Den?"
"Melapor ke polisi harus ada persetujuan yang bersangkutan, Mbok atau izin keluarga. Ini yang bersangkutan aja lupa siapa dirinya, mau ngelaporin opo, Mbok," Daniyal mendesah.
Mbok Sumi manggut-manggut. "Bener juga ya, Den."
"Tapi aku sudah ngubungin Neil, Mbok."
Daniyal mengacu pada adiknya yang yang bekerja sebagai abdi negara.
"Neil punya firasat, Chana masih dalam bahaya. Dia sempat melacak lokasi kecelakaan, kemungkinan besar itu bukan kecelakaan biasa. Itu sudah terencana, Mbok. Jadi, siapa pun yang mencoba membunuh Chana dan tahu bahwa gadis itu selamat, ada kemungkinan bakalan mencoba lagi."
"Duh, Gusti ... pripon saget ngene ki?" Mata wanita paruh baya itu terbelalak kaget, reflek mendekap jantungnya. "Onten nopo masalahe?"
Daniyal mendesah berat, mengangkat bahu. "Ndak tahu, Mbok. Masih diselidiki."
Mbok Sumi menghela napas. Merasa iba dengan wanita mungil yang saat ini menghuni mansion. Pantas saja tubuh gadis itu begitu kurus. Kadang ia juga sering mendapati Chana termenung dengan tatapan kosong. Apa yang telah dilalui wanita ringkih itu sebelumnya? Sungguh kasihan.
"Nganti kapan Den Ayu arep manggon neng kene, Den?"
Daniyal mengangkat bahu. "Aku ndak tahu, Mbok. Lihat nanti aja. Dia juga 'kan, belum sehat. Mudah-mudahan ingatannya bisa segera pulih."
Mereka terdiam sejenak.
"Lah, ngopo mau Den Mas tak rungokno kok mureng-mureng karo Den Ayu? Mosok wong wedok lagi loro kok diseneni? Opo ora kasihan, Den Mase?” Mbok Sumi menegurnya lembut.
Daniyal tersenyum kecut. Merasa malu. Sebenarnya ia juga heran kenapa sampai sebegitu marahnya pada Chana. Padahal tadinya amarahnya sudah mulai padam berganti kecemasan ketika Chana tidak ditemukan di mana pun. Hanya saja ... kenapa juga wanita itu harus berenang tanpa busana! Dan kenapa Daniyal malah terpesona melihat itu semua?!
Daniyal teringat kembali bagaimana Chana berdiri menatapnya saat di kolam tadi. Rambut panjang hitam berkilau tertimpa cahaya mentari senja, masih meneteskan air dan melekat dengan estetis pada kulitnya yang putih mulus. Wajah oval yang merona. Lekukan dan tonjolan yang menarik, begitu pas dengan tubuhnya yang mungil. Dan ... gadis itu mengejapkan mata dengan imut layaknya kelinci putih kecil yang terciduk harimau buas. Mana pakai acara menggigit bibirnya pula!
What a deadly charm!
Memikirkannya saja sudah membuat tubuh Daniyal terasa bergelora. Ia menelan ludah, gelisah.
⠀
"Den Mas ...?"
Mbok Sumi melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Daniyal. Membuatnya tersadar dari lamunan syur nya.
"Oalah ..., malah ngelamun ...."
"Uh … a-apa? Uhm ... Mbok bilang apa tadi?" ucap Daniyal terbata-bata. Sejenak ia seolah terlempar ke universe lain. Ia benar-benar lupa. Ia bahkan tidak bisa berkonsentrasi sama sekali menyimak omongan Mbok Sumi.
Semua gara-gara Chana! Cih!
"Ono opo seng dipikiri toh, Den? Sampai merah gitu mukanya?" goda si Mbok.
Daniyal mengusap tengkuknya, tersenyum salah tingkah. Mukanya memang terasa memanas.
"Mbok tadi tanya, nanti Den Ayu disuruh pindah tidur di kamar tamu atau gimana, Den? Biar Mbok rapihkan dulu kamarnya. Tapi tolong bilang dulu sama Den Ayu, Mbok takut nyinggung perasaan orang .... Nanti dikira Mbok ngusir," ucap perempuan paruh baya itu lagi.
Kalau dipikir-pikir memang betul juga, sebaiknya Chana di kamar tamu saja. Daniyal teringat lagi bagaimana kondisi kamar Kirani. Menggelengkan kepala heran. Gadis itu bahkan tidak merapikannya. Benar-benar jorok!
"Iya, Mbok. Mbok bersihkan saja kamar tamunya. Nanti aku yang akan bilang ke Chana."
Daniyal berpikir sejenak. Ia sudah ingin bertanya hal ini sejak tadi.
"Mbok, selama aku nggak ada di rumah, dia ngapain aja?"
Mbok Sumi mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir sejenak.
"Pertama kali datang, mungkin karena sudah malam, habis makan Den Ayu ketiduran di sofa ruang tamu. Si Bapak yang bangunkan, suruh tidur aja di kamar. Tapi mungkin si Bapak lupa ngasih tahu kamar yang mana. Maklum, si Bapak sudah pikun.
Jadi …, waktu pagi Den Ayu turun dari kamar Den Mas, Mbok ndak bisa ngomong apa-apa. Takutnya Den Mas sendiri yang kasih izin." Si Mbok menatapnya dengan pandangan penuh arti.
Daniyal mendehem kecil. Ia sangat mengerti maksud tatapan itu.
"Tadinya Mbok pikir, Den Ayu calonnya Den Mas. Makanya Den Mas suruh tempati kamar atas. Apalagi Den Ayu-nya cantik dan imut-imut ...."
Wajah Daniyal semakin terasa panas ditatap begitu lekat sama Mbok Sumi. Tatapan wanita tua itu persis cara Bunda saat menggodanya. Orang kalau bersahabat, jadi kelihatan mirip, ya?
Mbok Sumi mengulum senyumnya. Merasa senang dengan respon Tuan Mudanya. Sejak pertama kali melihat Chana datang ke mansion ini, Mbok Sumi punya firasat gadis itu akan membawa kehidupan lagi di rumah ini. Apalagi dengan sifat Chana yang ceria.
"Trus Mbok?" ucap Daniyal berusaha tak acuh.
"Hari ke dua itu ... Den Ayu nyapa si Mbok, tapi Mboknya lagi sakit batuk dan flu, suara Mbok hilang, jadi ndak bisa ngomong, cuma ngasih isyarat aja. Makan atau gimana, gitu," lanjut Mbok Sumi lagi.
Daniyal cuma meng-'Oh'.
"Nah, hari ke tiga Den Ayu mulai muter-muter penjuru rumah. Halaman, pekarangan, sampai ketemu menara. Lama bangeet ... Den Ayu di atas menara. Trus dia bolak balik kamar-menara, menara-kamar. Mbok lihat Den Ayu ternyata juga suka seni kayak Kanjeng Putri."
Mbok Sumi menepuk jidatnya dengan kedua mata melebar.
"Oh! Den Mas belum lihat, 'kan, Den Ayu nemu sulaman Kanjeng Putri yang belum selesai. Pas Den Ayu kasih lihat si Mbok, sulamannya sudah jadi. Bagus, rapih lagi. Telaten bikinnya. Mbok rasa nangis terharu jadinya. Kalau Kanjeng Putri lihat, pasti seneng banget. Den Ayu juga pengen sulamannya dikasih pigura kaca, biar tambah cantik katanya."
Daniyal menelan ludah. Jantungnya rasa di remas begitu kuat. Terbayang kilasan air mata Chana yang mengalir deras saat ia meluapkan amarahnya tadi. Daniyal makin merasa bersalah. Tidak seharusnya ia semarah itu. Kondisi kesehatan Chana bahkan belum terlalu pulih dan Daniyal sudah kembali menekan mentalnya. Daniyal berdecak kesal, menyesali yang telah ia lakukan.
"Den Ayu suka nyanyi-nyanyi kalau kerja. Suaranya juga bagus. Walaupun kadang Mbok ndak ngerti. Kadang pakai nari segala loh, Den …. Lucu juga," si Mbok tertawa. Lalu terbatuk.
Daniyal dengan cepat menyambar air putih di atas meja. Menyerahkannya pada Mbok Sumi. Sepertinya Mbok Sumi memang belum sehat betul.
Daniyal tersenyum membayangkan perkataan si Mbok. Bagaimana jadinya kalau ia sendiri yang melihat Chana menari?
Nope!
Ia sudah melihatnya. Bayangan Chana menari di dalam air kembali berenang di pelupuk matanya. Sepertinya ini tak baik, sangat berdampak buruk untuk ketenangan jiwa raganya.
"Jadi ..., Chana bawa kain-kain dari menara ke kamar itu mau dibikin apa, Mbok?" tanya Daniyal lagi, berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai melenceng ke mana-mana.
"Kata Den Ayu mau disulam dulu, baru dijahit jadi ... apalah namanya itu, seprai atau alas meja patwok ... ndak jelas si Mbok ...," Mbok Sumi menggaruk-garuk sanggulnya, berusaha mengingat, "Alas meja ... pat ... pat ...."
"Patchwork maksudnya mungkin, Mbok."
"Ya, itu dia, Den. Kain perca yang disambung-sambung. Mau dibuat macam-macam sama Dena Ayu," si Mbok tersenyum malu.
Namun raut wajahnya kembali berubah serius.
"Nek ono masalah karo Den Ayu, ojo digawe nesu-nesuan. Seng ati-ati ojo gawe wong wedok loro ati, ora apik, engko kabeh usahamu ora diberkati Gusti Allah, loh Den ...," si Mbok menasehatinya.
Daniyal meringis. Sepertinya ini pertanda waktunya untuk pulang, sebelum wejangan Mbok Sumi semakin panjang. "Ngeh, Mbok. Aku balik dulu ya, Mbok. Aku baru sampai rumah, belum mandi, dah bau."
"Waduh, belum mandi, toh. Pantesan ...." Mbok Sumi tergelak.
Daniyal hanya tersipu seraya bangkit dari duduk menuju pintu.
"Jangan lupa minta maaf, Den. Tolong jelasin juga ke Den Ayu, apa-apa saja yang dilarang di rumah ini. Jadi Den Ayunya ndak bikin salah lagi, Ngeh? Ndak baik marah-marah, ngerusak rezeki, Den."
"Ngeh, Mbok."
Pamit disertai wejangan sesepuh ini memang bikin cepat-cepat pengen mandi, biar sekalian ngapusin dosa.
"Oh ya, Mbok, tentang Chana, jangan cerita-cerita ke Bunda dulu, ya Mbok."
"Lah, ono opo to, Den?"
"Aku takut dipaksa cepet kawin, Mbok," Daniyal terkekeh.
"Ya ora opo-opo to, Den. Malah bagus." Si Mbok tersenyum kecil.
"Ah, si Mbok, ono-ono wae."
Daniyal melangkah cepat pergi dari sana. Lalu berlari menuju mansion. Melintasi halaman samping, masuk melalui pintu teras samping dan menaiki tangga spiral ke lantai atas.
Ah! Iya, dia lupa!
Daniyal mengendap-endap menuju kamarnya dan Kirani. Sayup-sayup terdengar suara Chana bersenandung kecil dari dalam. Tapi ada suara isak tangis juga.
Benarkah?
Apa ada orang yang menangis sambil menyanyi? pikirnya.
Ya, ada.
Chana!
⠀
"Tak adakah orang yang berusaha mencariku?
Tak adakah orang yang ‘kan menjemputku?
Malam ini sangat dingin.
Hujan dan badai.
Dipersimpangan aku menggigil.
Maukah kau menggandengku?
Bawa aku ke tempatmu.
Aku tak mengenal siapa dirimu.
Namun aku ….
Aku ikut bersamamu.
Aku ikuti langkahmu.”
⠀
Daniyal mengeluh dalam hati. Jantungnya seolah diremas oleh sesuatu yang tak kasatmata. Rasa bersalahnya semakin membuncah. Ia seakan tersindir oleh makna lagu tadi. Seperti itukah perasaan Chana saat ini padanya? Apa Daniyal sudah menghancurkan kepercayaan Chana?
Daniyal mendesah berat. Ingin rasanya ia mengetuk pintu kamar ini. Menghampiri Chana. Kemudian mengatakan bahwa ia sudah tidak marah lagi dan semuanya baik-baik saja. Tapi ia takut Chana masih belum mau memaafkannya. Daniyal mondar mandir di depan pintu, sebelum akhirnya memutuskan lebih baik ia membersihkan badan dulu, biar segar. Biar ia juga bisa berpikir lebih tenang, mencari solusi bagaimana cara menghadapi Chana nanti.
Daniyal beranjak menuju kamar di sebelah kamar utama. Kamar kerjanya yang juga dilengkapi dengan kamar mandi, lemari pakaian dan ranjang pula.
Apa yang harus ia katakan nanti pada Chana?
Bagaimana caranya meminta maaf pada gadis itu? pikirnya sambil berendam di bathtup. Daniyal menghempaskan napas keras, menenggelamkan dirinya ke dalam air.
Semoga nanti Chana tidak menangis lagi.