CB 8. Pria yang Murka — An Angry Man

1644 Words
“Kukira Nirwana tidak akan menyisakan duka. Namun mengapa di telaganya terpancar air mata? Apa yang terjadi? Ke mana suryaku tadi pergi? Semudah itu bahagia berganti sedih. Kenapa aku sendirian dalam kegelapan lagi?” Chana – Kayangan Lepas Lenyap ⠀ Chana bersenandung riang, menepuk-nepuk permukaan air. Menciprati beberapa bonggol tanaman bunga di tepian kolam. Bosan, ia menceburkan diri kembali ke dasar kolam, menjangkau beberapa bebatuan safir. Lalu naik ke permukaan, kemudian menaruh temuannya ke atas bebatuan cadas tepi kolam. Kembali ia menyelam lagi mengambil bebatuan hias lain yang menarik minatnya. Tempat ini adalah kayangan. Dan Chana benar-benar bersyukur bertemu orang sebaik dan setulus Dokter Alfa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya seandainya Dokter Alfa tidak menawarkan semua kenyamanan ini. Ia bahkan tidak tahu harus pergi ke mana. Chana tidak punya uang, tidak punya keluarga, teman bahkan tidak punya ingatan. Chana sendirian. Benar-benar sebatang kara. Chana mendesah. Nanti kalau ia berjumpa lagi dengan dokter Alfa, ia harus mengucapkan banyak terima kasih. Entah harus bagaimana caranya membalas semua kebaikan Dokter Alfa. Apapun itu akan Chana lakukan. Apalagi sebelum hari kepulangannya dari Rumah Sakit, Chana sempat mencuri dengar saat para perawat bergosip tentang Dokter Alfa. Dan ... ternyata donatur yang mendanai biaya perawatannya selama ini adalah Dokter Alfa sendiri. Pria itu bahkan menyembunyikan kebenarannya dari Chana ketika Chana bertanya padanya. Tadinya Chana pikir, karena Dokter Alfa menatapnya garang malam itu, dokter itu adalah pria yang jahat. Tatapannya sungguh mengerikan. Chana seakan melihat bias merah menyala di iris matanya. Hmm ... apakah itu hanya khayalan Chana saja? Mungkin akibat pengaruh obat dan infus membuatnya berhalusinasi melihat mata Dokter Alfa seolah membara? Chana menggelengkan kepala. Menepuk-nepuk pipinya, mencoba menyadarkan diri. Barusan ia membayangkan wujud Dokter Alfa berubah menjadi drakula penghisap darah. Mengerikan. Ia hanya berharap ingatannya segera kembali. Ia tidak ingin menjadi beban siapa pun. Ia sangat takut dengan yang namanya hutang budi. Chana harus segera sembuh. Mencari pekerjaan, kemudian mengganti semua pengeluaran Dokter Alfa selama ia dalam perawatan. Chana tahu, pastinya itu sangat mahal, tapi ia bertekad menggantinya meski harus mencicil seumur hidup sekali pun. Ia harus berusaha. Chana menyemangati dirinya sendiri. Namun sejujurnya Chana akui, tempat ini sangat patut disyukuri! Chana tersenyum, menatap langit yang mulai semburat senja di atas sana. Kembali ia mengalunkan melodi. ⠀ “I found this beautiful paradise. Without tears. Without pain. The first time in my life there were no worries. I feel happiness and peace here. I feels so deep and strong, honestly now I admit. I can’t deny it anymore. It’s the best feeling of my life. The sincerity is very special. I hope it will last forever. This moment is the most perfect. I will never let it go. You’re precious to me. And I’ll hold on to ….” ⠀ "CHANA ...!!!!!" Chana terlonjak kaget, jantungnya seolah meloncat ke luar. Bebatuan biru di tangannya berhamburan. Ia menoleh spontan ke belakang. Matanya membelalak tak percaya melihat sosok besar yang tengah berdiri berkacak pinggang dengan aura yang tampak begitu mendominasi. Ini bukan sekadar halusinasinya, ‘kan? Chana menelan ludah cemas. Dokter Alfa benar-benar datang ke tempat ini? Sejak kapan dia berdiri di sana? Netra cokelat kemerahan itu menghujam Chana dengan sorot tajam. Jelas sekali pria itu terlihat jengkel padanya. Chana bergidik ngeri. Menggigit bibir. Jantungnya berdentum kencang. Baru sekarang ia merasa tubuhnya teramat menggigil. Ia membeku. Apa yang sudah ia lakukan, sampai Dokter Alfa semurka itu? "APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN DI SINI ...!!!" Suara pria itu menggelegar. Chana refleks berdiri. "Benamkan ...! Ck! MASUK ke dalam air, Chana!" bentak Dokter Alfa dengan suara bergetar, seperti kehilangan kata-kata. Wajah pria itu memerah padam, berpaling darinya. Pria itu melempar jubah mandi ke atas batu besar di tepian kolam. "Kenakan dan naik ke atas!" serunya kesal, seraya berbalik memunggungi kolam. Chana benar-benar menyesal. Kenapa … ia harus tergoda berenang di kolam ini. Berpikir ia bisa berbuat semaunya di tempat yang jelas-jelas bukan rumahnya. Chana hanya tamu di sini. Harusnya ia tahu diri. Ia bahkan melepas semua bajunya tanpa ragu dan was-was. Ia telanjang dan … Dokter Alfa melihatnya! Melihat tubuh kerempengnya! Bayangkan! Ini benar-benar memalukan! Chana melirik punggung lebar pria yang masih berdiri menjulang membelakanginya. Dokter Alfa pasti akan mengusirnya dari tempat ini, batin Chana lara. Lalu … ke mana nanti ia harus pergi? Kenapa Dokter Alfa tidak mengabarinya dulu sebelum datang? Oh! Tentu saja! Dokter itu tidak perlu memberi tahu siapa pun untuk pulang ke rumahnya sendiri. Huh …! Chana benar-benar tidak menduga Dokter Alfa benar-benar akan muncul di mansion ini. Salahnya karena tidak percaya omongan Dokter Alfa. Rupanya benar, Chana akan tinggal bersama sang dokter. Tadinya. Seperti sekarang tidak lagi. Tingkah tak tahu malunya sudah mengacaukan segalanya. Dan Chana sadar, ia memang pantas diusir dari istana megah ini. Chana bergerak perlahan. Bunyi tetesan air berjatuhan dari tubuh dan rambutnya ketika ia bergerak menuju tepi kolam. Terdengar begitu jelas di ketemaraman senja yang seketika berubah menjadi sunyi. Dingin menggigit hingga ke tulang. Ia menggapai jubah mandi, kemudian dengan cepat mengenakan benda berbulu lembut itu. Menghangatkan tubuhnya. Bergegas, Chana menggulung baju-baju kotornya. Mendekapnya di d**a. "Sudah selesai?!" desis Dokter Alfa dingin. "Su-sudah, Dok," cicit Chana ketakutan. "Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum bertindak, Young Lady?" sindir Dokter Alfa sinis sambil membalikkan badan, melanjutkan amukannya yang tadi sempat terjeda. "Mandi di kolam menjelang senja, TANPA selembar benang pun?! Apa tujuanmu melakukan itu, huh? Mau menggoda siapa?!” Chana hanya bisa tertunduk diam, mengepalkan tangannya. Ucapan dokter Alfa sungguh menyakiti harga dirinya. Memangnya ia perempuan jenis penggoda di mata Dokter Alfa? “Bagaimana kalau ada orang yang datang? Pria yang dengan senang hati mengintip tubuhmu, lalu berniat jahat dan memperkosamu di sini! Apa itu terlintas di otakmu?!” Chana sontak menengadah dengan mata berkaca-kaca. Jantungnya turut menabuh bertalu-talu. Sungguh ia sama sekali tidak berpikir sejauh itu. “JAWAB!!!" Chana menggeleng, terisak. Air matanya berderai tanpa bisa ia cegah. “Ti-tidak. Aku tidak …,” bibirnya bergetar, tak sanggup berkata-kata. Netra pria itu semakin berkobar menghujam tubuhnya. Chana tertunduk dengan cepat. Berusaha menahan gelombang derai tangisnya. "Jika itu terjadi, maka tidak akan ada satu orang pun yang akan mendengar teriakanmu! Tidak ada seorang pun bisa menyelamatkanmu!" geram pria itu dengan suara dalam mengancam. “Kamu bisa saja ditemukan sudah menjadi mayat. Dan aku? Apa yang akan kukatakan pada polisi atau keluargamu jika mereka muncul di hadapanku?! Kamu – saat ini – berada – dalam tanggung jawabku. Paham?!” Chana menelan ludah. Menekuri ubin. Ia tahu ia salah. Tidak seharusnya ia mandi di kolam ini tanpa busana. Dokter Alfa benar. Ia tidak mementingkan keselamatannya. Ia egois. "Dan apa alasanmu menempati kamar atas? Bukankah Pak Mansur dan Mbok Sumi sudah menyediakan kamar tamu buatmu di lantai bawah, huh?!" Chana ternganga. Wajahnya seketika memucat. Ia sama sekali tidak diberi tahu. Bahkan kedua asisten rumah tangga di rumah ini sama sekali tidak memprotesnya saat melihat Chana menempati kamar indah itu. Chana bahkan dibiarkan mengambil barang-barang di menara. Meskipun jarang bicara dengan Chana, mereka melayaninya dengan baik. Hanya itu. Chana luar biasa malu. Ia menggigit bibirnya kuat, merasa bersalah. Tangannya mendekap pakaiannya lebih erat ke d**a, menyembunyikan tubuhnya yang gemetaran. "Kamar itu tadinya bagus, rapi dan bersih, Chana," lanjut pria itu ketus. Dokter Alfa menyilangkan tangannya ke d**a. "Sekarang sudah hancur, berantakan dan jorok! Bagaimana bisa kamu perempuan tapi jorok!" Chana mengkerut. Ia tidak menyangka kamar feminim yang ia tempati selama ini ternyata kamar Dokter Alfa. Tadinya ia pikir itu kamar saudara perempuan Dokter Alfa, ataukah ..., apa pria ini sudah beristri? Lalu kenapa Chana dititipkan di mansion ini. Apa kata istrinya nanti? Tapi Chana sama sekali tidak melihat siapa pun berada di dalam mansion ini selain dirinya. "Barang-barang bertebaran seperti sampah. Dan baju-baju itu, siapa yang menyuruhmu memakainya ...?!!!" Chana hendak membuka mulut, menjawab. Tetapi Dokter Alfa masih sangat murka. Jadi Chana menahan dirinya, meski air matanya terus bergulir. Napasnya terasa sesak. Suaranya tercekat di tenggorokan. "Kamar itu sangat berarti buatku! Hampir lima tahun aku tidak pernah mengubah letak benda apa pun di kamar itu dan sekarang ...? Semuanya berubah menjadi mengerikan!" "Aku akan membersihkan semuanya," jawab Chana cepat dengan suara sengau. Ia mengusap butiran bening di pipinya, berusaha mempertahankan tubuhnya untuk tetap berdiri dan tidak terpuruk lemah di hadapan Dokter Alfa. "Aku akan mengembalikan semuanya ke tempat semula. Aku janji, Dokter Alfa." lanjutnya dengan bibir bergetar. Sekarang ia sudah hancur. Semua kebahagian yang tadi sempat ia rasakan, telah lepas raib begitu saja dari genggamannya. Daniyal menghempaskan napas kesal. Ia masih ingin memaki, mengumpat dan mengeluarkan emosinya. Tapi air mata itu, ia tidak tahu harus bersikap apa. "Tentu saja. Kembalikan semua barang-barang itu ke tempat semula! Aku tidak tahu siapa yang mengizinkanmu ke menara, karena seperti kamar tadi, menara itu terlarang dimasuki siapa pun! Shit!" pria itu memaki. "Dan hentikan air mata sialan itu!" Dokter Alfa membanting pintu kaca. Meninggalkan Chana sendiri. Kakinya terasa lunglai seketika. Ia terpuruk di teras beranda taman. Mendekap tubuhnya. Dadanya terasa begitu sakit. Hatinya benar-benar hancur. Kejadian ini sungguh membuatnya terguncang. Chana terisak, sesenggukan. Air mata ini tak jua hendak berhenti. Chana sadar, ia memang salah. Menempati kamar utama tanpa bertanya, menggunakan barang-barang yang ada di sana. Tidak membereskannya pula. Tapi tidak ada satu orang pun yang mengarahkannya ke kamar yang harusnya ia tempati. Tidak ada yang mengatakan bahwa ia tidak boleh menyentuh barang apa pun di sini. Lalu kenapa Dokter Alfa marah, sementara pria itu sendiri yang bilang, 'Anggap rumah sendiri'. Dokter Alfa tidak memberi aturan apa pun tentang bagaimana Chana harus bersikap selama ia tinggal di mansion ini. Chana mengusap air matanya kasar. Tidak ada gunanya ia menangis. Tak akan mengubah apa pun yang sudah terlanjur terjadi. Chana akan membersihkan kamar itu, merapikan serapi mungkin, sama persis seperti keadaan semula. Mengembalikan semua barang-barang yang ia ambil dari menara. Lalu ... pergi. Ia harus meninggalkan istana megah ini. Nirwana sepertinya memang bukan tempat yang layak untuk ia tempati. Ini surganya para bidadari. Ia bukan siapa-siapa. Ia tak pantas berada di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD