CB 10. Mencarimu — Looking for you

2483 Words
“Pernahkah kamu merasakan jantungmu terpompa begitu cepat. Kemudian tiba-tiba terhenti seketika? Detakan itu hilang lenyap. Layaknya ruang kosong nan hampa. Hanya karena cucuran air mata, lalu kamu lupa cara menghirup udara. It's such a hard feeling to understand. But I must find you!” Daniyal – Ke Mana Mesti Mencarimu ⠀ Jarum jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Sudah saatnya buat Daniyal dan Chana untuk makan malam bersama. Sementara itu, ia masih gelisah karena rasa bersalah. Berjalan mondar-mandir di kamar kerjanya. Kamar di sebelah kamar utama yang ditempati Chana tadi. Daniyal sudah melatih ulang apa yang ingin ia bicarakan dengan Chana. Semoga gadis itu sudah tenang saat mereka membuat kesepakatan nanti. Ia menghempaskan napas berat. Melanjutkan langkahnya ke kamar utama. Apakah Chana benar-benar membersihkan kamar Kirani? Kalau belum, ia bisa bilang pada Chana, biar Mbok Sumi saja yang membersihkan kamar itu besok. Gadis itu sudah bisa diajak bicara, ‘kan? Daniyal tidak tahu harus berbuat apa kalau ternyata Chana masih menangis. Daniyal mencoba menguping dari balik pintu. Tidak terdengar suara apa pun. Tidak ada gerakan apa pun. Ia mengetuk pintu. "Chana, are you fine?” tegurnya lirih. Jantungnya seolah memompa begitu cepat. “Uhm … ayo turun makan malam. Ada yang harus kita bicarakan." Tidak ada jawaban. Daniyal mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada suara. "Apa kamu di dalam?" Sepertinya tidak ada siapa-siapa. Daniyal membuka handle pintu perlahan, melongokkan kepala. Tidak ada siapa pun di kamar. Ia melangkah ke dalam. Ruangan ini sudah kembali ke bentuk semula. Rapi dan bersih juga sunyi. Seprai tempat tidur telah diganti dengan yang baru. Tidak ada lagi baju-baju yang bertebaran, sampah makanan, gelas bekas jus dan piring bekas kue, juga kain-kain dan buku-buku dari menara. Sulaman Kirani ..., Daniyal menyipitkan mata menatap benda itu sudah kembali tergeletak di atas sofa santai. Ia menghampiri bidangan itu. Benar, ternyata sulamannya sudah selesai. Mbok Sumi tidak melebih-lebihkan saat bilang Chana telaten dalam menyulam. Bunga mawar putih yang mekar sudah bertambah cantik. Bagian tepi-tepinya disulam dengan benang perak. Dan ada tulisannya, sepertinya ini memang buah pikiran Chana sendiri. ⠀ 'Cinta ..., jika kau tak suka, buatku saja.' ⠀ Daniyal mencibir. Kenapa wanita sangat senang membuat kata-kata puitis? Ia pribadi bahkan tidak pernah bisa membuat bait sederhana tentang apa pun, apalagi tentang cinta. Itu terlalu melankolis. Terlalu lemah. Terlalu lebai. Lebih mudah menulis resep obat untuk pasien. Daniyal menaruh kembali bidangan itu ke atas sofa, berpikir mungkin nanti ia akan memberi pigura untuk sulaman tadi, seperti yang Chana mau. Lagi pula, jika Kirani masih hidup, wanita itu pasti juga akan memintanya melakukan hal yang sama. Daniyal menekan sesak di dadanya. Huff …. Ia mencoba mendengarkan suara dari kamar mandi. Lagi-lagi tidak terdengar apa pun, bahkan bunyi tetes air saja tak ada. Apa mungkin Chana sudah pindah ke kamar tamu? batinnya. Daniyal melintasi koridor lantai dua menuju tangga spiral. Melogok sedikit ke arah ruang makan di mana suara denting piring dan sendok terdengar. Mbok Sumi sepertinya sedang menghidangkan makan malam. Mungkinkah dia bersama Chana? Daniyal dengan cepat menuruni tangga, melongok ke ruang makan. Ternyata Mbok Sumi cuma sendiri. Berarti Chana masih di dalam kamar tamu. Ia menelan ludah, mencoba mengingat-ingat apa yang hendak ia bicarakan. Mungkin sebaiknya ia minta maaf dulu karena sudah menghardik Chana. Daniyal mengetuk pintu kamar tamu. Sunyi senyap, tidak ada suara dari dalam. Tidak ada pergerakan pula, bahkan bunyi napas sekali pun. Ia mulai ragu, jangan-jangan Chana tertidur? Ia mengetuk lagi dan lagi. Tak sabar Daniyal membuka pintu itu. Tidak ada seorang pun di dalam. Ranjang seolah tak tersentuh. Tidak ada tanda-tanda kamar itu dimasuki seseorang. Hatinya mulai berkata-kata. Daniyal melangkah tergesa kembali ke ruang makan. "Mbok? Mbok lihat Chana?" "Ndak, Den. Apa ndak ada di kamar?" "Nggak ada, Mbok." Si Mbok berpikir sebentar. "Mungkin Den Ayu ke menara, Den. Tapi Mbok ndak bisa pastikan juga. Biar si Bapak lihat sebentar ya, Aden tunggu di sini saja. Di luar hujan." Mbok Sumi sudah bergerak memanggil suaminya, tetapi Daniyal menghentikan wanita paruh baya itu. "Nggak usah Mbok. Aku saja," ucapnya buru-buru berlari menuju pintu samping ke arah menara. Daniyal melintasi halaman yang luas sebelum akhirnya menaiki tangga menara. Perasaannya mulai tak karuan. Sungguh, selama bertahun-tahun sejak Kirani pergi, Daniyal sangat benci dengan menara ini. Istrinya terguling dari tangga menara, bukan kenangan yang ingin ia ingat lagi. Tapi sejak bertemu Chana, sudah dua kali Daniyal terpaksa kembali menapakkan kaki ke tempat ini. Tch! Apa Chana sedang mengembalikan barang-barang yang ia angkut dari menara? Bagaimana kalau Chana tidak ada di sini? pikir Daniyal ragu saat melihat tidak ada bias cahaya dari jendela kamar menara. Kali ini Daniyal menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Benar saja. Ruangan itu kosong. Hanya ada barang-barang Kirani. Daniyal menghidupkan saklar lampu, memutar tubuhnya ke segala arah. Ke mana Chana? "Chana? Apa kamu di sini? Jangan sembunyi, please …. Aku sudah tidak marah lagi, Chana. Keluarlah ...." Daniyal memeriksa kamar mandi, ternyata kosong. Ia bahkan menyibak bawah ranjang, membuka lemari, siapa tahu Chana dengan tubuh mungilnya bersembunyi di sana. Tapi tetap tidak ada. Daniyal semakin gelisah. Ia mulai memanggil-manggil nama Chana kembali. Seisi menara sudah diperiksa, halaman belakang, kolam, rumah kaca, tidak ada Chana di mana pun. Ia kembali berlari memasuki mansion. Tidak peduli dengan tubuhnya yang basah dan kakinya yang terkena becek mengotori lantai. Daniyal kembali mencek seluruh ruangan di lantai satu karena lagi-lagi ia tidak menemukan Chana di ruang makan. Jantungnya seakan dipompa semakin cepat ketika ia membuka setiap pintu ruangan di lantai dua, namun tetap tidak menemukan Chana. Danial menjambak rambutnya kesal. Bagaimana bisa jadi begini? Memangnya bagaimana rupanya saat marah sampai Chana setakut itu dan memilih pergi dari sini?! "Damned!" umpat Daniyal, menendang pintu kamar utama jengkel. Ia kesal terhadap dirinya sendiri. Sungguh, ia menyesal karena sudah mengamuk sore tadi. Sudah jelas kondisi mental Chana belum stabil. Ditambah lagi wanita itu mungkin saja masih berada dalam bahaya! Bahaya?! "s**t!" Daniyal meninju meja kerjanya. Jengkel pada dirinya sendiri. Ia menjambak rambutnya lebih keras. Wajahnya mulai memerah padam. Perasaannya campur aduk. Sekarang bahkan diwarnai ketakutan membayangan tubuh Chana yang ditemukan bersimbah darah di jalanan. NO! Ia harus tenang. Daniyal menarik napas dalam-dalam. Menatap beku layar monitor komputernya. Ah! CCTV! Semuanya pasti ada jawabannya. Ia memutar ulang CCTV, meneliti semua layarnya. Daniyal melihat dirinya naik ke lantai atas, menguping di pintu kamar Kirani mendengar Chana menangis, lalu masuk ke kamar kerja. Tidak berapa lama Chana keluar dari kamar Kirani sambil membawa beban kain-kain yang kata Mbok Sumi akan Chana jahit. Betapa kecil dan ringkihnya bahu itu. Badan yang kurus dan wajah yang pucat. Daniyal benar-benar menyesal telah memarahi Chana. Padahal jika dipikir-pikir, Chana tidak akan melakukan kesalahan kalau ia sendiri memberikan aturan yang jelas saat gadis itu tinggal di rumah ini. Chana tampak melintasi koridor, tangga spiral, menuju halaman menara. Kembali lagi ke kamar Kirani. Berjalan lagi terseok-seok menuju menara. Kali ini sepertinya membawa buku-buku keterampilan. Daniyal tahu, buku-buku itu tebal semua, pastinya sangat berat. Bahu Chana sampai merosot ketika mengangkutnya. Bagaimana bisa Daniyal membiarkan gadis sekerdil itu membawa beban sebegitu berat meniti tangga menara?! Daniyal mendesah jengkel, memarahi dirinya sendiri. Lalu Chana kembali ke kamar. Begitu keluar dari kamar, gadis itu sudah mengenakan long dress kelabu. Pakaian yang dikenakannya saat kecelakaan dulu. Gaun itu sepertinya sudah sempat dijahit kembali oleh Chana. Daniyal merintih, menyentuh dadanya. Entah kenapa merasa begitu sakit. Apa yang sudah ia ucapkan? Seberapa besar suara teriakannya pada Chana tadi? Ia bahkan tidak memperhatikan pakaian yang akan dikenakan Chana sepulang dari Rumah Sakit. Tentu saja gadis itu akan memakai pakaian mana pun yang bisa ia temukan di mansion. Mungkin Chana memang berpikir Daniyal menyediakan pakaian di kamar itu untuknya. Kenapa Daniyal bisa begitu jahat?! Kenapa ia tidak mendengar penjelasan Chana dulu?! Netra merah kecokelatan itu mulai berkaca-kaca. Daniyal kembali fokus pada layar CCTV. Chana terlihat berjalan lunglai melintasi koridor, tangga, lalu menuju beranda depan. Berhenti sejenak, seakan menarik napas dalam-dalam. NO ...!!!! Daniyal menahan napas. Ia berharap Chana mengundurkan tekadnya dan kembali atau sembunyi di dalam mansion saja. Tapi …. Gadis itu keluar dari teras beranda! Dia sudah pergi, dalam hujan pula! Tanpa tunggu waktu lama, Daniyal menyambar ponselnya, mencoba menghubungi Chana. Nada ringtone justru terdengar dari arah kamar Kirani. Sial! Daniyal mengumpat. Menendang meja kerjanya. Tentu saja! Gadis itu tidak membawa apa-apa waktu keluar tadi. Dengan terburu-buru, Daniyal menyambar kunci mobil, tas weist bag dan jaket, kemudian turun ke lantai bawah secepat kilat. Ia harus mencari Chana. Membawa gadis itu kembali ke tempat ini! ⠀ "Mbok, aku keluar sebentar, kalau seandainya Chana kembali, tolong tahan dia sampai aku pulang." Daniyal tidak menunggu jawaban perempuan tua itu, meski ia tahu Mbok Sumi pasti bertanya-tanya. Yang ingin segera ia lakukan sekarang hanyalah menemukan Chana secepatnya! *** Hujan deras mulai disertai angin kencang, membuat pandangan Daniyal memburam. Bahkan wiper mobil pun menyerah mengibas curahan air dari permukaan kaca. Seakan semua kemalangan Daniyal belum lengkap, bunyi petir turut menggelegar di langit sana. Menciptakan berkas-berkas kilat yang menyambar. Daniyal semakin galau. Ia mengitari komplek sampai ke pusat perbelanjaan, beberapa ruko, sport center, hingga taman komplek. Wanita itu ke mana? Dia 'kan belum pernah keluar dari mansion. Masa iya, Chana keluar Puri Nirwana tanpa diketahui Dan sampailah Daniyal di posko security. Tiga orang security tampak sedang bersenda-gurau sambil minum kopi. Begitu melihat Daniyal, mereka seketika menghampirinya. "Ada yang bisa dibantu, Pak Doker?" tanya salah seorang security yang telah lama mengenal Daniyal. "Ya. Apa ada di antara security di sini yang melihat gadis muda tinggi segini," Daniyal mengukur telapak tangannya hingga ke d**a. "Rambutnya hitam panjang sepinggang, pakaian long dress kelabu, kulit putih dan agak kurus. Cantik juga. Apa ada yang lihat?" Security tadi saling berpandangan. "Coba kita cek dulu, Pak," ucap salah seorang di antara mereka, mengarahkan Daniyal mengintip CCTV. Ia melihat Chana keluar dari mansionnya. Berjalan di tengah hujan. Kemudian ada sosok pengendara motor sport yang memberi tumpangan pada gadis itu. Membawanya melalui pos security. Argghhh!!! Sial! Benar, ternyata Chana sudah meninggalkan tempat ini! "Kalian tahu siapa pengendara motor itu?" tekan Daniyal. Para security itu saling berpandangan. "Apa dia penghuni salah satu mansion di sini?!" Jangan sampai dia pembunuh yang mengintai Chana, batin Daniyal semakin gelisah. Ketiga security tadi tampak serba salah. "JAWAB!!! KALIAN MAU SAYA PECAT?!" "Di-dia penghuni mansion di seberang mansion Anda, Pak," cicit salah seorang security cepat. Bagaimana pun dia tahu besarnya pengaruh Daniyal Rafan Alfaraz di Puri Nirwana ini. Alis Daniyal mengernyit. Ia ingat siapa penghuni mansion di depannya. Wanita simpanan lelaki paruh baya yang kerap kali mengedip dan menggoda Daniyal dengan pakainnya yang seksi. "Jangan bilang kalau dia ...." "Benar, Pak. Dia Nona Dona. Mohon maaf kalau kami lalai, Pak. Apa ini penculikan?" Daniyal memejamkan mata. Meredakan emosinya. "Bukan," ucap Daniyal cepat. "Nanti kalau seandainya ada yang lihat dia kembali, tolong hubungi saya," Daniyal meninggalkan kartu namanya, kemudian pergi secepat mungkin. *** Mobil itu membelah hujan, melintasi malam. Syukurnya tidak terdengar suara petir lagi, meski hujan masih turun dengan deras. Beberapa kendaraan berpapasan dengannya, tetapi motor yang ditumpangi Chana tidak terlihat juga. Ke mana Dona, si wanita gila itu membawa Chana? Daniyal menggerutu dalam hati. Beberapa pertokoan mulai tutup karena hujan badai malam ini. Daniyal memelankan laju mobilnya, menajamkan mata. Mencari-cari sosok mungil Chana di antara derasnya hujan dan kabut malam, sama sulitnya seperti mencari jarum ditumpukan jerami. "Chana, Chana ... where are you ...?" Daniyal mendesah lirih. Jantungnya berdebar cepat, ingatannya kembali pada peringatan Lioneil, saudara laki-lakinya. ⠀ 'Pembunuh itu kemungkinan besar akan mencoba lagi'. ⠀ Sial! Daniyal merutuk, memukul setir mobil. "Sial, Chana! Di mana kamu...?!" Matanya kembali menyusuri area pertokoan yang sepi. Satu mobil berhenti di depan Gardenia Shop yang sudah tutup. Daniyal mencoba melihat di balik mobil itu. Menajamkan matanya. Oh, my Lord, there she is! Daniyal tersenyum lega. Dengan cepat ia memutar mobil ke parkiran Gardenia Shop. Lalu buru-buru melangkah turun. Menghampiri sosok mungil yang sedang duduk bergelung di teras toko. Pakaiannya melekat ditubuh karena bilasan hujanan. Wanita itu menggigil kedinginan dengan mata tertutup dan bibir terkatup rapat seolah membeku. Napas Daniyal terasa sesak. Inilah akibat dari kemarahannya. Matanya mulai berkaca-kaca. "Chana," ucap Daniyal bergetar. Ia mengguncang bahu gadis itu perlahan. Chana tersentak, reflek bergerak mundur. Begitu melihat Daniyal, sorot mata gadis itu tampak seakan tak percaya. "Chana, kita pulang sekarang." Gadis itu malah menggigit bibir, melirik ke kiri dan ke kanan. “Jangan coba berpikir untuk kabur," tekan Daniyal lagi. "Kita pulang dan aku janji kita bicara baik-baik. Aku minta maaf masalah tadi." Chana mendesah menundukkan wajahnya. "Aku tidak akan kembali." Daniyal menghembuskan napas lelah. "Please, aku minta maaf. Di sini dingin Chana dan kamu sudah menggigil. Jangan sampai kamu demam." Daniyal menarik tangan Chana untuk berdiri. Tetapi gadis itu memberontak. Menepis tangan Daniyal. "Aku bilang aku tidak akan kembali!" ujarnya keras kepala. Rahang Daniyal mengetat. "Kamu lebih memilih kedinginan di emperan toko ini, daripada pulang, begitu?!" "Ya! Dan itu bukan rumahku. Bukan tempat aku pulang," ucap gadis itu tegas, tidak peduli kalau bibirnya sudah membiru dan bergemeretak. "Jangan menguji kesabaranku Chana. Aku terlahir tidak dengan banyak kesabaran! Masuk ke dalam mobil sekarang!" tunjuk Daniyal pada mobil yang telah berada di parkiran. Gadis itu menatapnya tajam seolah menantang. Tidak bergeser se-inci pun dari tempatnya berdiri. "Hah...!" Daniyal menghempaskan napas sebal. Ia balas menatap Chana tajam. "Well," ia meregangkan leher, badan dan pinggangnya. "Sejujurnya aku sangat lelah hari ini. Tadinya aku ingin kita berdamai, aku minta maaf, hal yang sangat jarang aku lakukan. Kamu pulang ke rumah. Kita akan menyepakati peraturannya. Apa ini akan menjadi sulit?" tanyanya lagi sambil berkacak pinggang. Chana tidak menjawab. Pandangannya tak terbaca. Daniyal baru saja akan bicara lagi, ketika tanpa diduga gadis itu melangkah mundur dan lari melintasi hujan. Memutarinya! What!?!! Daniyal mengejab shock. Sialan! Gadis liliput ini! Daniyal terpaksa ikut berlari mengejarnya di tengah derasnya hujan. Ia sudah benar-benar kesal sekarang. Bagaimana bisa kaki sekecil itu berlari sekencang ini? Daniyal mempercepat larinya. Beberapa langkah lagi ia bisa menjangkau tubuh Chana. Untung tidak ada siapa-siapa di sini. Mobil yang parkir di tepi Gardenia Shop syukurnya juga sudah pergi. Kalau tidak ia bisa diteriaki penculik. Jaket yang dikenakan Daniyal mulai kuyup. Tiga jangkauan lagi! Ia mendengus. Kenapa ini jadi seperti adegan kejar-kejaran di tengah hujan ala Bollywood? Mereka tidak akan menari setelahnya, ‘kan? Entah kenapa bayangan itu malah membuat Daniyal tertawa. Come on, my little fairy. Memangnya kamu pikir seberapa cepat, sih, kaki liliputmu itu bisa membawamu pergi dariku, hum? Satu jangkauan lagi. Hup! Daniyal berhasil melingkarkan lengannya ke pinggang mungil Chana. Gadis itu meronta-ronta dan memakinya! Tapi Daniyal sedang tidak ingin bernegosiasi. Ia memanggul tubuh Chana ke bahunya. Berusaha menghindari tendangan Chana ke area sensitifnya. Kesal, ia menepuk p****t gadis itu untuk membuat Chana berhenti menyepak. Tapi ternyata tambah membuat gadis itu semakin galak dan mengamuk. "Beraninya! Berani-beraninya memukul bokongku?! Dasar pria mesuuuummm ...!" Chana memukul-mukul punggung Daniyal geram. Daniyal mendengus, tergelak. Rasa kesalnya berganti geli. "Laki-laki biadab! Kurang ajar! Pria otoriter yang mau menang sendiri! Laki-laki sombong jahat! Iblis cabuuulll ...!!!" Tawa Daniyal semakin kencang di tengah derasnya hujan. "Jangan ketawa, dasar monsteeer ...! AKU BENCI KAMUUUU ...!!!!!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD