Maya dengan cekatan meletakkan piring terakhir berisi roti panggang di meja makan. Ia mencoba menghindari tatapan Clara yang sejak tadi mengawasinya dengan ekspresi tajam. Baru saja ia ingin melangkah kembali ke dapur, tiba-tiba Bagas keluar dari kamar tamu, sebuah kamar yang disebut Clara sebagai kamar pengantin.
“Pagi, Sayang.” kata Bagas dengan nada lembut namun tegas, sambil segera mencium pipi Clara.
Maya terkejut, merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Bagas kepada Clara. Clara melirik sekilas ke arah Maya yang kini menatap mereka dengan ekspresi canggung. Clara segera tersenyum lenbut. “Selamat pagi, Sayang.”
“Bagaimana istirahatmu semalam, apa nyenyak?” tanya Clara sambil mulai mengambil sepotong roti yang sudah tersedia di atas meja.
Bagas segera meraih tangan Clara dan menggenggamnya dengan erat. “Bagaimana aku bisa tidur nyenyak jika nggak ada kamu disampingku,” ucapnya, sambil tersenyum lembut ke arah Clara.
“Kamu bisa aja, Mas. Ya udah sekarang kamu makan dulu, setelah itu kamu mandi dan berangkat ke kantor.” Clara meletakkan sepotong roti yang sudah ia olesi dengan selai kacang.
Bagas segera meraih roti yang ada di hadapannya. “Terima kasih, Sayang. Kamu memang istri yang terbaik, kamu selalu tahu apa yang aku mau.”
Clara yang baru saja selesai berbicara dengan Bagas tiba-tiba menyadari keberadaan Maya yang berdiri tak jauh dari tempat duduk mereka. Tatapan Clara langsung berubah dingin, matanya menatap tajam ke arah Maya yang terlihat gugup sambil memegang nampan kosong.
"Maya! Apa yang kamu lakukan di sini?!" suara Clara meninggi, membuat suasana ruangan mendadak tegang.
Maya menunduk, mencoba menjelaskan, "Maaf, Bu Clara. Saya hanya ingin memastikan—"
Namun, Clara segera memotong. "Aku nggak butuh alasan mu! Cepat kembali ke dapur dan jangan pernah muncul dihadapanku lagi kecuali aku yang memanggil!"
Maya mengangguk pelan, tanpa berani menatap langsung ke arah Clara. Ia segera melangkah pergi ke dapur dengan langkah tergesa, meninggalkan Bagas yang tampak menikmati makanan yang ada di hadapannya.
Setelah Maya kembali ke dapur, suasana di ruang makan masih terasa tegang. Bagas, yang baru saja tiba dan mendengar ucapan Clara, mencoba menenangkan istrinya. Ia meraih tangan Clara dan berkata lembut, "Sayang, coba tenang dulu. Kamu nggak perlu terlalu memikirkan Maya. Anggap saja dia nggak ada."
Clara memutar matanya dengan kesal, lalu menoleh tajam ke arah Bagas. "Bagaimana aku bisa sabar, Mas? Kamu nggak lihat tadi bagaimana dia memperhatikan kita? Tatapannya itu jelas-jelas penuh rasa cemburu!"
Bagas tersenyum kecil, mencoba mengurangi ketegangan. Ia tersenyum, sambil terus menggenggam tangan Clara dan berkata dengan suara yang menenangkan, "Kamu terlalu cantik dan luar biasa untuk merasa terganggu dengan hal-hal kecil seperti itu. Jangan buang energimu untuk hal yang nggak penting, ya."
Namun, Clara tampak masih tidak puas. "Hal kecil? Ini bukan hal kecil, Mas! Ini tentang harga diriku! Aku nggak mau ada orang lain yang merasa punya hak lebih di rumah ini, apalagi kalau itu Maya!"
Bagas mengusap pipi Clara dengan lembut, serta menatapnya dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi aku cuma minta satu hal: jangan biarkan emosi kamu merusak kebahagiaan kita. Kamu tahu aku cuma sayang sama kamu."
Meskipun ucapan Bagas terdengar meyakinkan, Clara tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal. Namun, ia memilih diam, hanya menghela napas panjang sambil menatap Bagas. "Baiklah. Tapi kalau Maya berani macam-macam, aku nggak akan tinggal diam, Mas."
Bagas mengangguk, tersenyum sambil mencium kening Clara. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku akan selalu ada buat kamu." Clara hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh rasa curiga terhadap Maya.
Setelah suasana mulai mereda, Bagas mendekati Clara, menggenggam kedua bahunya, dan mengecup lembut bibirnya. "Aku pergi dulu, ya, Sayang. Jangan terlalu dipikirkan, semuanya akan baik-baik saja," katanya sambil tersenyum.
Clara hanya mengangguk kecil, mencoba menenangkan dirinya meskipun rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang. Bagas segera meraih tas kerjanya yang terletak di atas meja dan berjalan menuju pintu keluar.
Saat membuka pintu, Bagas menoleh sekali lagi ke arah Clara. "Jaga diri kamu, ya. Kalau ada apa-apa, kabari aku."
Clara hanya menjawab singkat, "Iya," sambil melipat tangannya di depan d**a.
Setelah Bagas pergi, Clara berdiri di tempatnya, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Ia menghela napas panjang, berusaha menghilangkan rasa kesal yang masih tersisa. Namun, pikirannya kembali ke Maya, yang kini menjadi duri dalam rumah tangganya.
"Aku nggak akan membiarkan ini terus terjadi," gumam Clara pelan, sambil berjalan menuju ruang tengah. Wajahnya menunjukkan tekad kuat untuk mengendalikan situasi di rumahnya.
Setelah Bagas pergi, Clara segera berjalan menuju dapur dengan langkah tegas. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang masih ia pendam sejak pagi.
Sesampainya di dapur, ia melihat Maya yang sedang mencuci piring dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Clara berdiri di belakang Maya, menatap punggung wanita itu dengan tatapan tajam.
"Maya," Clara memanggil dengan nada dingin.
Maya terkejut mendengar suara Clara, tetapi ia segera berbalik, mencoba terlihat tenang meskipun ada ketegangan di wajahnya. "Iya, Bu?" jawab Maya sambil menunduk hormat.
Clara mendekati Maya, matanya menyelidik setiap gerakan wanita itu. "Aku nggak suka caramu tadi memperhatikan aku dan Bagas. Tatapan kamu itu … menyebalkan," ucap Clara, penuh nada sinis.
Maya menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Saya nggak bermaksud apa-apa, Bu. Saya hanya—"
Clara memotong kalimat Maya. "Jangan beralasan! Kamu tahu posisi kamu di rumah ini, kan? Kamu itu cuma pembantu. Dan kalau bukan karena Mas Bagas menginginkan anak aku nggak akan pernah memintamu menikah dengan suamiku!”
Maya terdiam, menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Clara mendekatkan wajahnya ke arah Maya, suaranya semakin tajam. "Jaga sikapmu, Maya. Kalau kamu berani macam-macam lagi, aku nggak segan-segan menendang kamu keluar dari rumah ini. Paham?"
Maya hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap Clara. "Iya, Bu," jawabnya lirih.
Clara menghela napas panjang, lalu melangkah pergi meninggalkan dapur tanpa menunggu respons lebih lanjut dari Maya. Di balik punggungnya, Maya hanya bisa berdiri terpaku, menggenggam erat kain celemeknya sambil menahan tangis.
Setelah Clara meninggalkan dapur, Maya berdiri terpaku di tempatnya. Tubuhnya gemetar, dan air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Ia mengusap wajahnya dengan cepat, mencoba menenangkan dirinya.
Maya memandang ke luar jendela dapur, melihat sinar matahari pagi yang mulai menyinari halaman rumah. Dalam hatinya, ia mencoba menguatkan diri.
"Aku harus sabar," bisiknya pelan. "Ini semua demi ayah, demi keluarga di kampung. Aku nggak boleh menyerah."
Ia teringat wajah ayahnya, Handoko, yang selama ini selalu mendukungnya meskipun mereka hidup serba kekurangan. Maya tahu, keputusannya menikah siri dengan Bagas adalah demi membantu meringankan beban keluarganya. Tapi, ia tidak pernah membayangkan harus menghadapi situasi seperti ini.
Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, mencuci piring dengan tangan yang gemetar. Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: bertahan. Untuk keluarganya, dan untuk harga dirinya.
"Aku nggak boleh menyerah. Semua ini pasti ada akhirnya," pikir Maya sambil melanjutkan pekerjaannya dengan hati yang berat namun penuh tekad.