Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku saat Bagas mendekatkan wajahnya, perlahan-lahan mencium bibirnya. Ada perasaan campur aduk yang muncul dalam dirinya—takut, bingung, dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan. Namun, seiring dengan detakan jantungnya yang semakin keras, Maya mencoba untuk menahan perasaan itu, berusaha menghindari apa yang terjadi.
"Tuan, tolong...," kata Maya lirih, mencoba menarik mundur dirinya, tetapi Bagas, yang masih terlarut dalam dorongan emosinya, tidak segera melepaskannya.
Bagas Terus melumat bibir Maya yang hanya bisa pasrah dengan perlakuan itu, meski sebenarnya Maya sudah coba berontak hingga tak punya kekuatan lagi untuk melawan.
Maya pun membiarkan semua itu terjadi. Mulai menutup kedua mata dan menikmati setiap sentuhan dari atasannya.
Malam itu, mungkin akan jadi malam yang selalu diingat oleh Maya. Malam di mana Bagas–Majikan sekaligus suaminya merenggut paksa keperawanannya. Entah bagaimana kini keduanya saling memagut bibir satu sama lain. Bagas menarik paksa Maya dan membawanya ke atas tempat tidur. Ia membaringkan Maya dan menindihnya.
Keduanya kembali saling memadukan bibir secara bergantian. Seolah bisa melahap satu sama lain. Ciuman Bagas semakin dalam, semakin nakal, semakin liar. Bibir Bagas yang bersemayam di bibir Maya, memakan waktu lumayan lama. Namun, tidak bisa membuat Bagas puas. Justru ia semakin merasa lapar. Bagas menggeser bibirnya hingga turun ke leher Maya. Menjelajah ke sekitar area di tulang selangka dan sedikit memberikan bekas gigitan pada leher Maya. Maya refleks membuat desahan-desahan kecil yang semakin memicu birahi Bagas.
Keduanya sadar betul jika mereka ada di ujung. Namun, siapa yang bisa menahannya? Bagas dan Maya saling terlarut dalam campur aduk emosi hasrat yang tak terbelenggu. Membuat keduanya semakin jatuh. Benar-benar sangat memabukkan.
Bagas lalu menaikkan kaki Maya untuk berada di atas sofanya yang cukup besar. Antara mau dan tidak mau, Maya masih menuruti pergerakan Bagas. Bibir mereka masih terus menyatu dan saling memainkan lidah masing-masing. Membuat Maya sendiri kesulitan untuk mengelak.
Bagas menidurkan Maya di atas sofa. Bagas berada tepat di atasnya dengan masih mengunci kedua tangan Maya. Mereka semakin memasuki fase yang lebih tinggi.
Perlahan, Bagas mulai membuka baju Maya dengan masih mencumbu bibirnya. Maya hanya menuruti apa yang dilakukan suaminya tersebut. Saat ini, yang mengontrol mereka adalah hormon seksual yang terus meningkat.
Bagas sendiri segera membuka bajunya. Dalam sekejap, mereka sudah melakukan aktivitas ranjang yang cukup panas. Siapa sangka, jika malam ini akan terjadi hal tidak terduga seperti ini? Keduanya lupa segalanya. Hal yang ada di otak mereka saat ini adalah mereka tidak bisa mengontrol diri mereka masing-masing.
Baju mereka berserakan di sekitar tempat tidur kamar pengantin yang cukup besar. Aktivitas di atas tempat tidur cukup memakan waktu. Entah berapa lama waktu yang akan mereka habiskan. Namun, mereka saling menikmatinya.
Rintihan Maya mulai terdengar lebih kencang. Bagas mempercepat gerakannya dan Maya semakin mengerang tidak terkontrol. Tidak membutuhkan waktu lama, hingga klimaks dari akhir kegiatan ranjang itu selesai dan mencapai titik kepuasan.
Bagas menghentikan gerakannya. Ia masih tertidur di atas Maya. Keduanya saling terengah karena nafas mereka tidak beraturan.
Masih dalam keadaan setengah melayang, keduanya dalam balutan angin dingin yang berhembus merdu. Rasa puas memberi makan hasrat masing-masing. Masih di posisi yang sama, lamat-lamat kepala mulai bersih dan otak bisa diajak berpikir rasional.
***
“Maya! Maya!” Clara berteriak dengan keras. Membuat suaranya menggema di seluruh ruangan tersebut.
Maya terbangun dengan terkejut ketika mendengar suara Clara memanggil namanya dari luar kamar. Jantungnya berdebar kencang, dan ia melihat sekelilingnya, merasa canggung dan kebingungan. Ia menatap Bagas yang masih terbaring di sampingnya, matanya terlihat kosong dan tidak fokus. Maya bisa merasakan ketegangan di antara mereka sejak kejadian semalam, dan hari itu tampaknya tidak akan lebih baik.
Dengan cepat, Maya bangkit dari tempat tidur dan merapikan diri, berusaha menenangkan dirinya sebelum keluar dari kamar. Namun, sebelum ia bisa sepenuhnya siap, suara Clara yang terdengar semakin jelas kembali memanggilnya.
"Maya! Ayo cepat, jangan berlama-lama!" Clara berteriak dengan nada yang tegas dari meja makan.
Maya merasa semakin gelisah. Dengan cepat, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar, mencoba untuk menutupi kecemasannya di hadapan Clara. Ia tahu bahwa Clara tidak akan mentolerir keterlambatan sedikit pun.
Clara menatap Maya dengan tajam, memperhatikan penampilannya yang tampak sedikit berantakan. Rambut Maya yang semalam masih tergerai rapi kini terlihat kusut, dan matanya tampak sedikit bengkak, seolah tidak mendapatkan tidur yang cukup. Clara mengernyitkan dahi, ia yakin semalam Maya dan Bagas sudah melakukan malam pertama sebagai sepasang pengantin baru.
"Kenapa sarapan untukku belum siap?" tanya Clara, suaranya datar namun jelas mengandung nada kecewa. Ia menyandarkan sikunya di meja makan, menatap Maya tanpa mengalihkan pandangannya.
Maya terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia segera menundukkan kepala, merasa cemas. "Maaf, Nyonya, saya baru saja bangun... saya akan segera menyiapkannya," jawab Maya terburu-buru, berusaha menutupi kegelisahannya.
Clara menatap Maya dengan tatapan tajam, matanya yang dingin dan penuh perhitungan. Suasana di ruang makan yang sebelumnya tenang kini berubah tegang, seiring dengan suara Clara yang berubah menjadi tajam dan penuh amarah.
"Maya," Clara berkata dengan nada yang keras, suaranya menggema di seluruh ruangan, "walaupun posisi mu sekarang sudah menjadi istri Bagas, itu nggak mengubah apapun. Kamu tetaplah pembantu di rumah ini. Ingat itu."
Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku. Setiap kata Clara menghantamnya dengan keras, dan ia merasa seolah diletakkan kembali ke tempat yang sama, posisi rendah yang tidak pernah bisa ia lepaskan. Clara memandangnya dengan penuh penekanan, memastikan bahwa Maya mendengar setiap kata yang diucapkannya.
"Jangan pernah lupa," lanjut Clara, "bagaimana semua ini terjadi. Kamu di sini karena aku yang mengizinkan, dan kamu hanya mendapatkan sedikit dari apa yang Mas Bagas miliki karena itu adalah kesepakatan yang sudah kita buat. Jadi, jangan merasa berhak lebih."
Maya menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir saja muncul. Ia merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak pernah ia pilih. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak Clara, namun di sisi lain, hati kecilnya meronta menolak perlakuan ini. Bagaimana pun, ia adalah manusia dengan perasaan dan kehendaknya sendiri, meskipun posisi dan keadaan menekannya untuk tetap tunduk.
Clara melanjutkan dengan nada yang lebih datar namun penuh tekanan, "Lakukan tugasmu dengan baik, dan jangan coba-coba melupakan siapa yang memberimu semua ini."
Maya hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menahan perasaan yang menggelora di dadanya. Ia tahu bahwa setiap tindakan atau perkataannya akan selalu berada di bawah pengawasan Clara. Sambil menahan amarah yang tumbuh dalam dirinya, Maya bergegas menuju dapur, berusaha menenangkan diri meskipun hati dan pikirannya terasa semakin kacau.