Malam itu, suasana rumah terasa hening. Clara masih belum pulang dari aktivitasnya sebagai publik figur. Maya, yang sedang membereskan ruang tamu, mendengar suara mobil Bagas yang memasuki halaman. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera merapikan penampilannya sebelum membuka pintu untuk menyambut Bagas.
Begitu Bagas melangkah masuk, Maya tersenyum tipis, meskipun rasa canggung tak bisa ia sembunyikan. “Selamat malam, Mas,” ucapnya dengan suara pelan.
Bagas mengangguk kecil, memasukkan tangannya ke dalam saku celana sambil memandang Maya. “Clara belum pulang?” tanyanya singkat.
Maya menggeleng. “Belum, Mas. Sepertinya masih sibuk dengan pekerjaannya.”
Bagas hanya menggumam pelan sambil berjalan ke arah sofa. Ia melepaskan dasinya dan menghela napas panjang, terlihat lelah. Maya berdiri di dekatnya, ragu-ragu untuk berbicara lebih jauh.
“Maya,” panggil Bagas tiba-tiba, memecah keheningan.
Maya menoleh cepat. “Iya, Mas?”
Bagas menatapnya sejenak, ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia menahannya. “Bisa tolong ambilkan air minum?”
Maya mengangguk dan segera menuju dapur. Ia kembali dengan segelas air putih, menyerahkannya kepada Bagas. Saat tangan mereka bersentuhan, Maya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, ia buru-buru menarik tangannya dan menunduk.
“Terima kasih,” ucap Bagas dengan nada lembut.
Maya hanya mengangguk. Ia tahu batasannya, tetapi hatinya selalu bergetar setiap kali berada di dekat Bagas.
Saat suasana kembali hening, Maya memberanikan diri berbicara, “Mas Bagas... kalau ada yang bisa saya bantu, tolong bilang ya.”
Bagas menatap Maya sejenak, lalu mengangguk. “Kamu sudah cukup membantu, Maya. Terima kasih.”
Namun, sebelum percakapan itu bisa berlanjut lebih jauh, suara pintu depan terdengar. Clara baru saja pulang, dan Maya segera melangkah mundur dengan gugup, membiarkan Clara kembali menjadi pusat perhatian Bagas.
Clara melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Senyum lebar tersungging di bibirnya saat ia melihat Bagas duduk di sofa. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat, melepas tas tangannya ke meja, lalu langsung memeluk tubuh Bagas dengan erat.
“Kangen seharian nggak ketemu kamu,” ucap Clara dengan manja sambil menyandarkan kepalanya di bahu Bagas.
Bagas tersenyum kecil, menepuk punggung Clara. “Kamu terlihat capek. Ada acara penting hari ini?”
Clara melepaskan pelukannya dan menatap Bagas dengan mata berbinar. “Iya, cukup melelahkan, tapi semuanya berjalan lancar. Aku baru saja pulang dari syuting iklan. Nanti tayang minggu depan. Kamu harus nonton, ya!”
Bagas mengangguk sambil tersenyum. “Pasti. Aku bangga sama kamu.”
Clara tertawa kecil, lalu duduk di samping Bagas. Ia melingkarkan tangannya ke lengan suaminya dan bersandar nyaman. Namun, tiba-tiba pandangannya menangkap Maya yang berdiri tak jauh dari sana, mematung.
“Oh, Maya,” Clara memanggil dengan nada ringan namun tajam. “Kamu masih di sini? Bukannya sudah waktunya istirahat?”
Maya menunduk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Saya baru selesai membereskan dapur, Bu. Kalau sudah tidak ada yang perlu, saya pamit ke kamar.”
Clara mengangguk, senyumnya tetap di bibir. “Bagus. Jangan lupa pintu dapur dikunci, ya.”
“Iya, Bu,” jawab Maya sebelum segera berlalu menuju paviliun.
Setelah Maya pergi, Clara kembali menatap Bagas dengan tatapan penuh kasih, seolah tak ada apapun yang mengganggu pikirannya. “Aku bahagia punya kamu, Mas,” ucapnya pelan, lalu menyenderkan kepalanya di bahu Bagas lagi.
Bagas tersenyum, tangannya terangkat untuk membelai rambut Clara yang tergerai rapi. “Aku juga beruntung punya kamu, Clara. Seorang istri yang cantik, pintar, dan selalu mendukungku dalam setiap langkah.”
Clara tersipu mendengar pujian itu, bibirnya melengkung menjadi senyum manis. “Kamu benar-benar tahu cara membuatku merasa istimewa, Mas.”
“Tentu saja, karena kamu memang istimewa,” jawab Bagas lembut, matanya menatap Clara dengan penuh arti.
Clara menyentuh d**a Bagas dengan ujung jarinya, menggoda. “Kamu ini memang pandai merayu. Tapi jangan hanya manis di mulut, ya. Aku mau bukti cinta kamu setiap hari.”
Bagas tertawa kecil, memeluk Clara dengan lembut. “Bukti cinta itu sudah ada di sini, di hati aku, setiap saat. Tapi kalau kamu mau yang lebih, aku siap memenuhi setiap permintaanmu.”
Clara tersenyum puas, merasa menang dalam percakapan ini. “Bagus. Kalau begitu, jangan lupa temani aku minggu depan ke acara peluncuran produkku. Aku ingin semua orang tahu betapa beruntungnya aku punya suami seperti kamu.”
“Tentu. Apa pun untuk istri terbaikku,” jawab Bagas.
Keduanya berbincang ringan, seolah-olah tidak ada kerikil kecil yang mengusik hubungan mereka. Namun, jauh di dalam hati Bagas, rasa bersalahnya terhadap Maya perlahan menguat, meski ia berusaha menepisnya demi Clara.
Saat percakapan mereka semakin hangat, Clara mendekatkan wajahnya ke arah Bagas, membisikkan sesuatu dengan nada menggoda. Bagas merespons dengan tersenyum dan memeluk Clara lebih erat, mencium keningnya dengan lembut. Keintiman mereka semakin terlihat, membuat Clara merasa dirinya adalah wanita paling beruntung malam itu.
Namun, di sudut ruangan, tanpa mereka sadari, Maya berdiri diam. Mata Maya memandang keduanya dengan perasaan yang campur aduk—ada rasa sakit, cemburu, namun ia segera mencoba menepis semuanya. Tangannya menggenggam erat apron yang ia kenakan, berusaha menenangkan hatinya.
Maya berpikir, Ini hanya peran yang harus kujalani. Aku tidak boleh merasa lebih dari seorang istri kedua. Semua ini demi keluarga.
Namun, meski ia mencoba meneguhkan hatinya, air mata tipis jatuh dari sudut matanya. Perlahan, ia berbalik dan meninggalkan tempat itu, melangkah ke dapur untuk menyembunyikan perasaannya yang semakin hancur.
Maya berdiri di dapur, menatap kosong ke arah piring-piring yang belum terpakai. Ia menggenggam erat sudut meja, berusaha menenangkan diri. "Aku hanya istri sementara," gumamnya pelan pada dirinya sendiri. "Aku tidak boleh jatuh cinta kepada Bagas. Aku juga tidak boleh cemburu. Ini bukan tempatku."
Maya memejamkan matanya, berusaha menahan tangis yang mulai mengancam. Ia tahu bahwa perasaannya tidak akan pernah dihargai seperti perasaan seorang istri yang sah. Di balik semua kepura-puraan dan peran yang ia jalani, hatinya merasakan luka yang semakin dalam.
"Ini hanya sementara," ulangnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya. "Aku harus kuat. Demi keluargaku, demi masa depan mereka."
Namun, meskipun ia mencoba tegar, hatinya tetap penuh dengan keraguan. Maya tahu, bahwa seiring berjalannya waktu, perasaan yang ia coba sembunyikan akan semakin sulit untuk dipendam.