Pagi itu, Clara terlihat sangat berbeda dari biasanya. Dengan langkah cepat dan tatapan tajam, dia masuk ke ruang makan, membawa sebuah kantong plastik besar yang berisi s**u ibu hamil, vitamin, dan beberapa makanan lainnya. Wajahnya dingin dan penuh rasa angkuh saat dia mendekati Maya yang sedang menyapu lantai.
"Ini untuk mu," kata Clara sambil melemparkan kantong plastik itu ke atas meja makan tanpa rasa malu. "s**u ibu hamil, vitamin, dan makanan yang aku pikir bisa kamu butuhkan. Semoga saja ini bisa membantu."
Maya menatap kantong plastik itu dengan bingung. Tidak tahu harus berkata apa, dia hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada rasa canggung yang besar.
Clara berdiri tegak di depannya, tangannya terlipat dengan angkuh. "Jangan pikir ini tanda perhatian. Ini hanya cara untuk membuat kamu lebih mudah menjalani peranmu. Jadi, pastikan kamu memanfaatkannya sebaik-baiknya," tambah Clara dengan nada yang sangat dingin.
Maya merasa semakin terpojok, namun tidak berani membantah. Dengan cepat, dia mengambil kantong plastik itu dan meletakkannya di samping.
Clara berbalik, dan sebelum keluar dari ruangan, dia menambahkan, "Jangan pernah muncul lagi di ruang ini tanpa alasan yang jelas."
Maya hanya bisa menunduk, menahan perasaan yang mulai mengganjal. Keadaan semakin sulit untuk diterima, namun dia tahu, dia harus tetap bertahan.
Clara berdiri di ambang pintu, menatap Maya yang sedang pergi ke dapur dengan langkah yang tampak terburu-buru. Hatinya dipenuhi kebencian dan kekesalan yang sulit untuk disembunyikan. Dengan suara pelan namun penuh dengan nada sinis, Clara menggerutu pada dirinya sendiri.
"Jika bukan karena Mas Bagas," gumam Clara, "aku nggak sudi memiliki anak dari rahim pembantu miskin dan kampungan seperti Maya."
Rasa frustrasi itu meluap, meskipun tak ada yang mendengar kata-kata Clara selain dirinya sendiri. Dia tahu betul bahwa keberadaan Maya di rumah itu adalah konsekuensi dari keputusan yang harus dia terima—keputusan yang diambil Bagas, suaminya. Clara merasa dipermalukan, merasa bahwa segala sesuatunya tak berjalan sesuai dengan keinginannya.
Namun, di balik kekesalan itu, ada rasa ketakutan yang muncul, perasaan yang semakin menjeratnya. Clara tahu, jika Maya benar-benar hamil dengan anak Bagas, hidup mereka semua tidak akan sama lagi. Dan itu, lebih dari apapun, yang membuatnya merasa sangat marah dan terluka.
Clara yang masih terlarut dalam pikirannya tiba-tiba terkejut saat merasakan sentuhan lembut di pipinya. Tanpa disadari, Bagas sudah ada di depannya, tersenyum sambil memberikan ciuman singkat di pipi Clara.
Clara menoleh dengan cepat, wajahnya yang tadinya penuh dengan kebencian berubah menjadi ekspresi terkejut dan cemas. "Mas Bagas?" suaranya terdengar serak, sedikit terkejut dan bingung dengan tindakan suaminya yang tiba-tiba.
Bagas hanya tersenyum santai, seolah tidak ada yang aneh. "Apa kamu lagi kesal, sayang?" tanya Bagas, sambil meletakkan tangan di bahu Clara dengan lembut.
Clara menahan diri untuk tidak menunjukkan kekesalannya lebih jauh. Dia bisa merasakan adanya ketegangan di antara mereka, meskipun Bagas tampak tenang. Dalam hati, Clara hanya bisa berpikir bahwa ini mungkin salah satu cara Bagas untuk mengalihkan perhatian darinya.
Clara mendekatkan tubuhnya pada Bagas dengan langkah yang sengaja dibuat lebih anggun, senyum manja tersungging di bibirnya. Dia tahu cara mengatur suasana agar segalanya terlihat lebih ringan, meski dalam hatinya masih menyimpan amarah yang terpendam.
“Sayang,” Clara mulai dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian Bagas. “Aku baru saja memberikan beberapa keperluan untuk wanita hamil kepada Maya,” katanya, matanya berkilat dengan nada penuh sindiran. “s**u ibu hamil, vitamin, makanan ... semua yang dia butuhkan. Aku rasa itu hal yang baik, bukan?”
Clara menatap Bagas untuk melihat reaksi suaminya. Tentu saja, dia tahu apa yang dia lakukan. Memberikan perhatian semu pada Maya seakan menunjukkan kebaikan, tetapi ada ketajaman dalam kata-katanya yang tidak bisa disembunyikan. Clara ingin melihat apakah Bagas akan merasa cemas atau terkejut, atau jika dia justru menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar.
"Kan, aku selalu memastikan semuanya berjalan dengan baik, sayang," lanjut Clara dengan senyum penuh arti. "Aku ingin Maya merasa nyaman di sini, selama dia ada di rumah kita."
Bagas menatap Clara dengan sedikit kebingungan, tetapi tidak ingin memperburuk suasana. Dia hanya tersenyum, berusaha menjaga ketenangan. "Tentu, sayang. Kamu memang selalu perhatian pada semua orang," jawabnya dengan nada yang sedikit datar.
Clara menyeringai, merasa berhasil menegaskan posisi dirinya di rumah itu, meskipun jauh di dalam hatinya ada perasaan yang jauh lebih rumit dari sekedar "kepedulian" yang ia tunjukkan kepada Maya.
Clara menatap suaminya dengan mata yang sedikit lebih tajam, meskipun senyumnya tetap terkerek. Dalam hati, dia bertekad untuk tidak memperlihatkan sisi gelapnya di hadapan Bagas, setidaknya untuk saat ini. Dia tahu bahwa setiap tindakan atau kata-kata yang menunjukkan kekesalan atau kebencian terhadap Maya hanya akan memperburuk suasana dan membuat dirinya terlihat buruk di mata suaminya.
"Sayang, aku tahu kamu pasti ingin semuanya berjalan lancar, dan aku juga ingin tetap menjaga rumah ini dengan baik," ujar Clara dengan nada lembut, mencoba meyakinkan Bagas. "Jadi, aku akan berusaha tetap sabar dengan Maya, meskipun ... kamu tahu, itu tidak mudah."
Clara memilih untuk tidak menunjukkan kekesalan yang ia rasakan setiap kali melihat Maya, dan memilih untuk menjaga tampilan sempurna di hadapan Bagas. Bagaimana pun, dia ingin tetap terlihat baik dan penuh perhatian di matanya, terutama karena Bagas adalah pusat dari kehidupannya.
Dalam benaknya, Clara tahu bahwa Maya hanyalah sebuah tantangan sementara. Jika dia berhasil mempertahankan citra dirinya di hadapan Bagas, maka dia bisa mengendalikan keadaan tanpa perlu berbuat kasar atau mengungkapkan perasaan sebenarnya. Bagas tidak perlu tahu betapa ia membenci kenyataan ini, karena yang terpenting baginya adalah mempertahankan posisinya sebagai istri yang "sempurna" di mata suaminya.
Malam itu, Maya terjaga di kamarnya, berbaring di ranjang dengan mata yang tak kunjung terpejam. Hanya terdengar suara detak jam dinding yang mengisi keheningan malam. Dengan pikiran yang penuh, Maya duduk di pinggir tempat tidur, mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, segala kerisauan dan perasaan yang dipendamnya semakin membebani.
Maya berbicara pada dirinya sendiri, suaranya lirih dan penuh kebingungan. "Mas Bagas ... kenapa semuanya harus seperti ini?" gumamnya pelan. "Aku hanya seorang wanita biasa, pembantu di rumah mereka. Dia, Mas Bagas, dia punya segalanya. Dan aku? Aku hanya istri sementara, entah sampai kapan."
Maya menundukkan kepalanya, merasakan keputusasaan yang datang begitu mendalam. "Apa aku hanya akan menjadi bayangan di kehidupan mereka? Mas Bagas dan Nyonya Clara ... mereka punya semuanya, punya keluarga yang lengkap. Sementara aku ... aku hanya datang untuk mengisi kekosongan sementara."
Pikiran itu berputar-putar di dalam benaknya, semakin sulit untuk ditangani. Maya merasa terperangkap dalam statusnya yang penuh ketidakpastian. Kehamilannya yang semakin besar hanya menambah beban dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya dia harapkan? Apa yang dia perjuangkan di sini, selain hidup dalam bayang-bayang Clara dan dunia mereka yang jauh di atasnya?
"Apa yang harus aku lakukan?" Maya bertanya pada dirinya sendiri, meskipun dia tahu tidak ada jawaban yang bisa menenangkan hatinya. "Aku nggak bisa terus begini, tapi ... apa yang bisa aku lakukan?"
Maya menghela napas panjang, mencoba untuk tidur, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Perasaan cemas, takut, dan bingung memenuhi malam itu. Dia merasa semakin terjepit dalam situasi yang sulit, di antara cinta dan kenyataan pahit yang harus dia hadapi.