Ketika Maya terlarut dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya yang membuatnya tersentak. Suara ketukan itu tidak keras, namun cukup untuk menarik perhatian dan mengganggu kesendiriannya. Maya terdiam sejenak, mencoba memastikan apakah itu hanya imajinasinya atau benar-benar ada orang di luar sana.
"Siapa?" tanya Maya pelan, suaranya sedikit gemetar, meskipun ia berusaha terdengar tenang.
Pintu terbuka perlahan, dan Bagas muncul di ambang pintu, berdiri dengan sikap yang lebih serius daripada biasanya. Maya terkejut, matanya membelalak sedikit, tak menyangka suaminya akan datang menemuinya di tengah malam.
"Ada apa, Maya?" tanya Bagas dengan nada lembut, meskipun ada kekhawatiran yang tersirat di suaranya. "Kamu kenapa? Kok tidak tidur?"
Maya terdiam sejenak, tak tahu bagaimana harus menjawab. Dalam hatinya, perasaan campur aduk menguasai dirinya—antara keinginan untuk berbicara tentang perasaannya dan rasa takut akan konsekuensinya. Bagas memperhatikannya dengan seksama, seolah bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal.
"Aku ... nggak bisa tidur," jawab Maya akhirnya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. "Pikiranku terlalu ramai."
Bagas masuk sedikit lebih dekat, berdiri di dekat ranjangnya. "Kamu sebaiknya beristirahat, Maya. Jangan terlalu dipikirkan," kata Bagas dengan lembut, meskipun kata-katanya terasa kosong bagi Maya. Ia tahu, apa yang dipikirkannya tidak akan hilang begitu saja hanya dengan tidur.
Maya menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan sesungguhnya. Bagas berdiri beberapa detik di sana, memberikan waktu sejenak sebelum akhirnya berjalan ke arah Maya.
Bagas bergerak lebih dekat ke arah Maya, matanya memperhatikan dengan cermat ekspresi yang terlukis di wajahnya. Maya terkejut, namun ia tidak bergerak, seakan tubuhnya membeku. Bagas duduk di sisi ranjang, hanya beberapa inci dari Maya, dan suasana malam yang hening semakin terasa tegang.
"Maya," suara Bagas terdengar lebih lembut dari sebelumnya, penuh perhatian, meskipun ada kekhawatiran yang terpendam di balik kata-katanya. "Aku tahu kamu pasti sedang banyak berpikir. Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya, mencoba untuk membuka percakapan.
Maya menunduk, perasaan campur aduk menguasainya. Keinginan untuk berbicara tentang semuanya begitu kuat, namun ia merasa ragu. Apa yang akan terjadi setelahnya? Apa yang akan Bagas pikirkan jika ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya?
"Aku ... aku hanya bingung," kata Maya pelan, suara hampir tidak terdengar. "Aku merasa terperangkap, Mas. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan atau apa yang terjadi antara kita."
Bagas terdiam sejenak, memandang Maya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tahu betul bahwa situasi ini sangat rumit, dan Maya berada di tengah perasaan yang sangat kompleks. Namun, ada hal-hal yang harus dihadapi, meskipun mereka tak mudah diungkapkan.
"Kita harus tetap kuat, Maya," jawab Bagas akhirnya, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tahu ini semua nggak mudah. Tapi kamu harus tahu, apapun yang terjadi, kamu nggak sendirian. Kita akan melalui ini bersama."
Namun, meskipun kata-kata itu terdengar penuh harapan, Maya merasakan keraguan yang semakin mendalam. Bagaimana mungkin mereka bisa melalui ini bersama jika kenyataannya begitu sulit untuk dipahami? Perasaan yang semakin membebani, situasi yang kian rumit, semua itu membuat Maya semakin merasa tidak memiliki tempat yang pasti di dunia ini.
Dia hanya bisa duduk diam, merasakan ketegangan yang semakin menguat di antara mereka.
Maya menunduk, bibirnya gemetar saat kata-kata itu keluar. Suasana kamar semakin terasa sesak, seolah setiap detik menjadi lebih berat. Dengan suara yang hampir berbisik, Maya akhirnya mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
"Mas ... aku ... aku mulai mencintaimu," kata Maya pelan, namun dengan keteguhan yang tidak bisa disembunyikan. "Aku tahu aku seharusnya tidak merasa seperti ini, dan aku berusaha untuk membuang perasaan itu. Tapi aku ... aku nggak bisa, Mas."
Terdengar keheningan yang begitu dalam setelah kata-katanya. Maya menatap tangan yang terlipat di pangkuannya, berusaha menenangkan diri. Namun, dalam hatinya, perasaan itu seperti gelombang yang tak bisa ditahan lagi. Ia merasa terperangkap, seperti terjatuh dalam perasaan yang tidak bisa ia kontrol.
Bagas diam sejenak, matanya memandang Maya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sebuah perasaan bersalah muncul dalam dirinya, namun ia juga tahu, ini adalah situasi yang tidak bisa dihindari. Maya berada dalam posisi yang begitu rumit, dan perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan hilang begitu saja.
"Maya ..." suara Bagas terdengar berat, penuh pengertian, meskipun ada rasa cemas yang melandanya. "Kamu tahu kita ada di posisi yang sangat sulit. Aku ... aku nggak bisa memberikan apa yang kamu inginkan. Aku hanya bisa berjanji akan mendukungmu, tapi aku nggak bisa lebih dari itu."
Maya yang merasa semakin terhimpit, melepaskan perasaannya dalam suara yang lebih keras, hampir berteriak. Matanya berkaca-kaca, dan tubuhnya bergetar karena emosi yang tak terkendali.
"Kenapa, Mas?" Maya hampir menangis, suaranya serak. "Kenapa kamu nggak bisa mencintai aku? Apa karena aku hanya seorang pembantu? Apa karena Clara wanita kaya yang bisa memberikan segalanya untukmu?"
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun Maya berusaha keras untuk menahannya. Perasaan frustrasi dan sakit hati itu begitu kuat, seperti api yang membakar d**a. Selama ini, ia selalu mencoba menahan perasaan itu, tetapi kini semuanya meledak begitu saja.
"Apakah aku harus menjadi orang lain agar kamu bisa melihat aku?" lanjut Maya, suara semakin pecah. "Apakah aku harus menjadi seperti Clara, punya segalanya untuk mendapatkan cintamu?"
Bagas terdiam, matanya terlihat penuh penyesalan. Dia tidak tahu bagaimana merespons perasaan Maya yang begitu mendalam dan penuh gejolak. Bagas tahu bahwa perasaan Maya tidaklah mudah untuk diabaikan, dan dia bisa merasakan betapa besar perasaan itu terhadapnya, meskipun ia tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan.
"Maya..." jawab Bagas dengan suara rendah, penuh kesedihan. "Kamu bukan masalah, dan bukan karena kamu seorang pembantu. Tapi ini bukan tentang status, dan bukan juga tentang siapa yang lebih kaya. Ini tentang kenyataan yang kita hadapi sekarang."
Bagas mencoba mencari kata-kata yang bisa menenangkan, meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan yang ada di antara mereka tidak bisa begitu saja diabaikan atau dihapuskan.
"Tapi aku nggak bisa memberikan apa yang kamu inginkan, Maya," lanjut Bagas dengan suara lembut, mencoba menjelaskan. "Keadaan kita, situasi ini, semuanya sangat rumit. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa selain dukungan, tapi aku nggak bisa memberimu lebih dari itu."
Maya terdiam, air matanya akhirnya menetes, tidak bisa lagi ia tahan. Rasa sakit itu begitu besar, terasa seperti sesuatu yang menjerat hatinya. Dia tahu, meskipun Bagas mungkin peduli padanya, kenyataan tetap saja lebih kuat.