Bagas mencoba untuk tetap tenang meskipun Clara tampak sangat tertekan. Mereka duduk di sebuah meja di sudut cafe, suasana yang lebih tenang dari rumah sakit dan rumah mereka. Bagas meraih cangkir kopinya, mencoba mencari kata-kata yang bisa menenangkan Clara.
"Clara, aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu," kata Bagas dengan suara lembut, "Tapi ingat, semakin cepat Maya hamil, semakin cepat kita bisa menyelesaikan semuanya. Kita bisa kembali fokus pada kehidupan kita tanpa gangguan."
Clara yang sedang menatap keluar jendela, mendengar ucapan Bagas, tapi ekspresinya tetap datar. Ia merasa jengah dengan percakapan ini, meskipun tahu bahwa mungkin itu adalah kenyataan yang harus mereka hadapi. "Aku nggak tahu apakah aku bisa menunggu dengan sabar," jawab Clara, suaranya terdengar agak kecewa. "Maya itu ... dia sangat menggangguku. Aku bahkan menyesal telah memaksamu untuk menikah dengannya. Aku nggak pernah ingin semuanya jadi seperti ini."
Bagas menatap Clara dengan tatapan serius. Ia tahu bahwa meskipun Clara tampak kuat dan tidak ingin menunjukkan kelemahannya, di dalam hatinya ada banyak kebingungan dan penyesalan. "Clara, aku juga merasa terjebak dalam situasi ini. Tapi, ini yang terbaik yang bisa kita lakukan sekarang. Kita berdua tahu bahwa jika kita terus menunda, masalah ini hanya akan semakin rumit. Aku juga ingin semuanya cepat selesai. Aku ingin kembali ke kehidupan kita yang dulu."
Clara menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang campur aduk. "Tapi kamu tahu, Mas, aku benci dengan kenyataan bahwa aku harus berbagi kamu dengan Maya. Ini bukan seperti yang kita bayangkan dulu, kan?"
Bagas menghela napas, meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. "Aku tahu. Aku benar-benar tahu betapa sulitnya ini bagimu. Tapi percaya padaku, aku hanya melakukan ini karena aku merasa bertanggung jawab. Setelah semua ini selesai, aku janji kita akan kembali seperti dulu, dan aku nggak akan pernah mengabaikanmu."
Clara masih tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. Ia merasa sangat bingung dan marah pada dirinya sendiri karena sudah terjebak dalam situasi ini. Di satu sisi, ia ingin percaya pada janji Bagas, namun di sisi lain, hatinya merasa terluka dengan kenyataan bahwa Maya kini menjadi bagian dari hidup mereka, meskipun hanya untuk sementara.
"Aku nggak tahu apakah aku bisa terus sabar, Mas," kata Clara dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Aku benci perasaan ini, tapi aku juga nggak tahu bagaimana lagi harus menghadapi semuanya."
Bagas meraih tangan Clara, menggenggamnya dengan lembut. "Clara, kita akan melaluinya bersama. Aku tahu ini berat, dan aku minta maaf karena membuatmu merasakannya. Tapi kita harus tetap kuat, karena kita berdua adalah yang terpenting. Maya ... dia hanya bagian dari proses ini, dan begitu semuanya selesai, kita akan kembali seperti semula."
Clara menatap tangan Bagas yang menggenggam tangannya, dan meskipun masih ada rasa ragu di dalam hatinya, ia mulai merasakan sedikit ketenangan dari kata-kata Bagas. Namun, ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, dan jalan di depan masih penuh dengan ketidakpastian.
***
Bagas memasuki rumah dengan langkah yang lelah setelah seharian bekerja di kantor. Udara malam yang sejuk menyambutnya saat ia melangkah masuk ke dalam rumah yang sepi. Ia melepas jasnya dan meletakkannya di kursi, lalu berjalan ke ruang tamu, berharap Clara sudah ada di rumah. Namun, tidak ada tanda-tanda Clara di sana.
Maya, yang sedang membersihkan ruang tamu, segera menghampiri Bagas. "Selamat malam, Mas," sapanya dengan sopan, meskipun tatapan matanya tidak bisa disembunyikan, masih menyimpan perasaan yang terpendam.
"Selamat malam, Maya," jawab Bagas dengan sedikit senyuman, meskipun tampak lelah. Ia melirik ke arah dapur, berharap Clara sudah kembali, tapi masih belum ada tanda-tanda. "Clara belum pulang?"
Maya menggelengkan kepala. "Belum, Mas. Mungkin ada urusan di luar."
Bagas mengangguk dan duduk di sofa, menatap ponselnya sejenak. Rasa khawatir mulai menggerogoti pikirannya, karena belakangan ini Clara sering kali pulang larut malam karena pekerjaan atau alasan lain. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya dan memutuskan untuk beristirahat sebentar.
Maya, yang sejak tadi memperhatikan Bagas, merasa ada ketegangan di antara mereka. Ia memutuskan untuk mengambil inisiatif dengan menawarkan makanan. Dengan senyum lembut, ia menghampiri Bagas yang duduk di sofa.
"Mas, apakah kamu ingin makan malam? Aku sudah menyiapkan sesuatu di dapur," tawarnya, suaranya terdengar ramah meskipun ada keraguan di dalam hatinya. Maya tahu bahwa Bagas dan Clara sedang tidak dalam suasana hati yang baik, dan ia berusaha menjaga suasana tetap tenang.
Bagas menatap Maya sejenak, tampaknya sedikit terkejut dengan tawaran tersebut. Namun, setelah beberapa detik, ia tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Maya. Mungkin sebentar lagi," jawabnya dengan lembut.
Maya kemudian melangkah menuju tas kerja Bagas yang terletak di samping meja, lalu dengan cepat membawanya ke kamar tidur Bagas. "Sini aku bantu bawa tasnya, Mas. kata Maya dengan sikap sopan, meskipun dalam hati ia merasa sedikit cemas, memikirkan ketegangan yang ada antara Clara dan Bagas.
“Nggak perlu, Maya. Aku bisa membawanya sendiri.” Bagas segera mengambil kembali tas yang sudah ada di tangan Maya.
Bagas menatap Maya dengan wajah yang penuh penyesalan. "Maya, aku nggak bermaksud menyakitimu. Tapi aku nggak bisa memberi harapan yang salah. Semua ini bukan karena perasaan ku padamu, tapi karena kebutuhan untuk memiliki anak yang nggak bisa diberikan Clara, serta karena aku ingin membantumu mendapatkan uang untuk pengobatan ayahmu," jelas Bagas dengan nada rendah, mencoba menjelaskan situasi yang rumit.
Maya menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. "Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk keluarga ini, Mas," ujarnya dengan suara yang bergetar. Ia tahu bahwa meskipun ia melakukan semua yang ia bisa, ia tetap tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Clara di hati Bagas.
Bagas merasa tidak enak, namun ia tahu bahwa apa yang dikatakan adalah kenyataan. "Maya, kamu adalah bagian dari keluarga ini sekarang, dan aku menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi kita harus realistis tentang ini," lanjut Bagas, berusaha untuk tidak terdengar terlalu keras.
Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menerima kenyataan meskipun itu begitu pahit. "Aku paham, Mas. Terima kasih telah berbicara jujur," jawabnya pelan. Ia tahu bahwa perasaannya tidak akan pernah diterima oleh Bagas, dan ia harus menerima peran yang tidak diinginkan ini, sebagai istri kedua yang tidak lebih dari sekadar alat untuk memenuhi keinginan Bagas.
Dengan langkah berat, Maya meninggalkan ruang tamu, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang harus dijalani. Di dalam hatinya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar, meskipun itu berarti ia harus menjalani hidup yang penuh dengan pengorbanan dan rasa sakit.