CODE 7. How Much Do You Want?

2243 Words
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Dianti duduk setelah menyenggol lengan sang keponakan. Sejak satu jam yang lalu ia perhatikan anak dari adiknya itu. Dwinna terlihat seperti sedang sangat bahagia.  "Tante.." Dwinna masih dengan senyum yang sama.  "Hayo lagi mikirin siapa kamu?"  "Oh, nggak mikirin siapa-siapa."  Dianti mencibir. "Bohong banget. Tante kenal ya sama kamu. Pasti ada sesuatu nih kenapa kamu bisa senyum-senyum gini."  Dwinna sepertinya memang tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya.  "Cowok?" tebak Dianti hati-hati. Dianti mengenal baik keponakannya ini. Bisa dibilang Dwinna adalah keponakan kesayangan Dianti di antara yang lain. Jika orang tak mengenal mereka, banyak yang mengira Dwinna adalah anak kandungnya. Tragedi yang menewaskan anak kandungnya 15 tahun lalu begitu membekas di dalam ingatan dan hati Dianti. Hal itu membuat ia begitu menyayangi Dwinna yang notaben memang dekat dengan anaknya.  "Ih Tan, bukan.."  Dianti mencibir. "Bukan tapi senyum kamu sampai ke telinga. Cerita dong sama Tante. Kayaknya udah lama banget kamu nggak cerita soal cowok. Kapan terakhir kali kamu punya pacar? 3 tahun lalu ya?"  Senyum Dwinna merekah. Ada satu orang di dalam kepalanya saat ini dan orang itu sudah menguasai kepalanya selama beberapa bulan ini. Tapi dua bulan terakhir hubungan mereka seperti naik tingkat dan Dwinna tak bisa memungkiri kalau ia bahagia dengan fakta itu.  "Siapa?" tanya Dianti lagi. Ia begitu penasaran. Dwinna sudah memasuki usia pantas menikah dan Dianti harus memastikan pria yang mendekati sang keponakan adalah pria yang kompeten dan layak.  Dwinna tak menjawab alih-alih hanya tersipu malu. Rasanya baru kali ini Dianti melihat keponakannya tersipu seperti ini. Dering ponsel memecah perhatian keduanya. Dwinna bergegas menjawab panggilan yang masuk. Beberapa menit kemudian ia bangkit.  "Aku pergi dulu ya, Tan."  "Hmm iya hati-hati.."  "Bye, love you.." Dwinna mencium pipi Dianti sekilas kemudian ia berlalu. Dianti hembuskan napas pelan kemudian ikut bangkit, kembali ke ruangannya untuk melanjutkan pekerjaan.  ...  Cristal menghela napas. Gagal lagi. Kemarin saat ia bertemu dengan pemilik tempat ini, Cristal sudah sedikit optimis kalau ia akan diterima. Tapi nyatanya lamarannya ditolak lagi. Dengan berkas di tangannya, Cristal meninggalkan lobi perusahaan.  15.30 WIB.  Cristal sampai di apartemennya dan ternyata Mamanya sudah menunggu. Agisti terlihat terkejut melihat sang putri. Rentetan pertanyaan langsung menyerang Cristal.  "Ma.." ujar Cristal akhirnya setelah lima belas menit membiarkan Agisti mengoceh. "Aku baik-baik aja. Cuaca lagi nggak bagus akhir-akhir ini dan aku flu kemarin."  "Kamu sakit tapi nggak ngasih tau Mama. Cris, kamu itu anak Mama satu-satunya. Kalau kamu kenapa-kenapa, Mama harus gimana?"  Agisti mengekori sang putri ke dapur. Cristal mengambil botol minuman dari dalam kulkas kemudian meneguknya. Sesaat setelah air dingin itu membasahi tenggorokannya, Cristal tampak diam--berpikir. Wanita itu menghela napasnya lagi kemudian meletakkan kembali botol itu ke dalam kulkas.  "Ada yang mau aku bicarain sama Mama," ucapnya serius. Agisti menaikkan kedua alisnya.  Ibu dan anak itu duduk saling berhadapan di sofa.  "Ma," Cristal memulai lebih dulu. "Nova balik aja kerja ke AMARA. Aku nggak butuh Nova." Sebelum Agisti menyela, Cristal lebih dulu melanjutkan. "Aku bisa jaga diri aku sendiri dan keputusan aku udah bulat."  Respon yang Cristal dapatkan adalah helaan napas berat dari sang Mama. Pertanyaan tentang ini sudah mengganggu Agisti selama beberapa minggu terakhir. Agisti adalah seorang Ibu dan jelas ia bisa merasakan perubahan sang putri.  "Mobilnya juga, aku nggak butuh. Mobilnya simpen aja di rumah."  "Cristal," Agisti kembali menghela napas. Keningnya mengerut dan ekspresi wajahnya tak begitu baik. "Oke kalau soal Nova Mama bisa ngerti dan Mama bisa terima. Tapi soal mobil Mama nggak setuju. Kalau nggak ada mobil kamu gimana mau ke mana-mana?"  "Banyak Ma caranya."  "Iya Mama tau banyak caranya. Tapi apa yang salah dengan mobil? Kamu bosan? Mau ganti mobil? Mama beliin. Kamu mau yang gimana? Ayo kita ke showroom sekarang."  "Ma," Cristal memejamkan mata sesaat. "Nggak ada yang salah sama mobilnya. Aku yang nggak mau, bukan masalah mobilnya atau apa."  "Tapi kenapa, Sayang?"  Kenapa? Itulah pertanyaannya. Uang, mobil, maupun pelayanan yang bersumber dari AMARA, Cristal tak mau lagi menerimanya.  "Mama bilang kalau aku anak Mama satu-satunya, kan? Mama benar. Kak Sela bukan anak Mama." Cristal menatap sang Mama. "Bukan karena Kak Sela nggak lahir dari rahim Mama, tapi karena kita nggak layar jadi keluarga Kak Sela. Kita nggak pantas jadi keluarga Kak Sela."  Agisti tampak begitu terkejut. Lidahnya kelu seketika.  "C-Cris.."  Cristal menghembuskan napas lagi, lebih tenang. Tampaknya ia sudah bulat dengan keputusannya.  "Ma, kalau Mama sayang sama aku, biarin aku jalani kehidupan aku seperti yang aku mau. Aku baik-baik aja. Aku nggak akan bikin Mama khawatir." Cristal menggenggam tangan Agisti. "Mama udah cukup mikirin aku selama ini. Aku bisa jaga diri aku sendiri. Mama harus fokus sama diri Mama sendiri," Cristal menjeda. "Sama kebahagiaan Mama."  "Kamu ngomong apa, Sayang? Kebahagiaan Mama itu kamu. Kalau kamu bahagia, Mama juga bahagia.."  Dan itulah masalahnya. Agisti melakukan terlalu banyak dan Cristal tak bisa menerimanya. Cristal merasa ia tak pantas mendapatkan semua itu. Beberapa bulan lalu, saat sang kakek tertangkap dan masuk penjara, Cristal mendengar semua obrolan antara Kakek dan Mamanya. Tak hanya itu saja, Cristal juga mendengar perdebatan antara Papa, dan kedua kakeknya. Tentang AMARA, Sela, dan dirinya. Cristal tahu semuanya. Tentang tragedi yang merenggut nyawa kembarannya. Cristal akan memendam semua ini sendiri. Mamanya tak perlu tahu kalau ia tahu tentang semuanya. Kini Cristal akan mencari jalannya sendiri. Cristal sudah merasa cukup dengan semua ini.  Cristal sadar ia tak berhak dan Cristal juga tak mengharapkan semua itu.  "Papa sehat, kan?"  Agisti hanya bisa mengangguk lemah. Ia tak tahu harus bagaimana lagi membujuk sang putri.  "Aku belum bisa pulang karena masih ada yang perlu aku kerjain. Nanti kalau ada waktu luang aku pulang. Mama jaga kesehatan ya.."  "Sayang.." mata Agisti sudah berat. "Jangan pikirin soal Opa Leon ya. Semua akan baik-baik aja. Mama janji semua akan baik-baik aja. Cristal boleh lakukan apapun yang Cristal mau. Nanti kalau Cristal capek, Cristal balik ya. Kita punya semuanya, Nak. Mama punya semuanya untuk Cristal.." Agisti memeluk sang putri.  Cristal balas memeluk sang Mama. "Hmm.."  Cristal mengantar sang Mama ke lobi. Begitu mobil Agisti menjauh barulah bahu Cristal meluruh. Cristal kembali ke apartemennya. Hari ini terasa begitu melelahkan. Cristal akan berendam untuk melepas penatnya.  ...  Makan malam keluarga. Sebenarnya acara ulang tahun yang dikemas menjadi acara makan malam. Hari ini Ratri ulang tahun dan semua keluarga berkumpul untuk merayakannya. Saat Jervaro datang bersama seorang perempuan, jelas seluruh perhatian langsung tertuju padanya. Untuk pertama kali seumur hidupnya Jervaro membawa perempuan ke rumahnya, ke acara makan malam yang hanya dihadiri oleh keluarga.  Bahagia? Jelas seluruh keluarga bahagia.  "Happy birthday Tante," Dwinna tersenyum manis, menyerahkan kado yang ia bawa pada Ratri. Dwinna terlihat sangat cantik dengan dress selutut warna broken white yang ia kenakan.  "Makasih ya Dwinna. Silahkan duduk, dinikmati hidangannya ya.." Ratri membalas tak kalah hangat. Dwinna sudah mengenal hampir semua keluarga besar Jervaro. Ia beberapa kali bertemu dengan mereka saat dulu Jervaro dirawat di rumah sakit. Keluarga Jervaro menyambut dengan hangat dan jelas itu sebuah lampu hijau bagi Dwinna.  Di antara semua orang yang tersenyum bahagia malam ini, terselip Jalen yang sejak awal kedatangan Jervaro dan Dwinna ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat dingin. Jalen benar-benar terlihat menakutkan di kursinya.  "J, ada apa?" tanya Risa yang duduk di sebelah sang putra. Risa menangkap ekspresi tak biasa di wajah putranya itu.  Jalen menoleh pada sang Bunda kemudian berikan gelengan pelan.  Malam semakin larut dan acara makan malam sudah hampir selesai. Jervaro melangkah nyaris tanpa suara menuju kolam renang.  "J.."  Jalen balik badan.  "Lo bawa Dwinna kayak gini maksudnya apa, Ar?" tanya Jalen to the point. Pertanyaan Jalen sama sekali tak mengejutkan Jervaro. Mungkin ia sudah memprediksi akan mendapat pertanyaan atas tindakannya dari Jalen.  Jervaro mengantongi kedua tangannya. Angin berhembus. Tidak terlalu dingin karena cuaca bagus hari ini. Yang tak bagus adalah suasana hati Jervaro. Beberapa bulan terakhir seperti ada awan hitam di atas kepalanya yang terus mengikuti Jervaro ke manapun ia pergi. Kejadian tadi malam berkelebat di dalam kepala pria itu. Bagaimana ia terbangun di pagi hari di atas kasur Cristal. Jervaro kesal sendiri membayangkannya. Ia terus mengutuk diri di sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Danny pun tak luput dari amarahnya padahal pria itu tak salah apa-apa. Ya, suasana hati Jervaro sedang sangat tidak baik.  "Apa?"  Jalen mendengus. "Kita bukan remaja lagi, nggak usah berbelit-belit."  Jervaro pandangi sepupunya itu. "Kayak yang lo liat."  "Ar, lo kayak gini nggak bener."  Jervaro tak merespon. Bukan hanya suasana hatinya yang buruk karena masalah beberapa bulan terakhir, tapi hubungannya dan Jalen juga. Jervaro merasa Jalen menjadi sangat sensitif.  "Gue cuma bawa Dwinna makan malam ultah Mami, nggak ada maksud lain."  "Lo pikir gue bodoh?"  "J," Jervaro menghela napas. Ia lelah.  "Ar, gue nggak mau ikut campur urusan lo. Tapi apa yang lo lakuin ini nggak bener. Gue nggak peduli hubungan lo sama Cristal gimana. Itu urusan lo. Hubungan dan perasaan lo sama Dwinna juga gue nggak mau ikut campur. Tapi jangan mencampur-adukan satu urusan dengan urusan lain. Selesaiin dulu satu-satu."  Jalen terlihat semakin serius.  "Lo benci sama Cristal itu terserah lo. Tapi bukan berarti tindakan lo ini bisa dibenarkan."  "Terus gue harus gimana?"  "Lo tau lo harus gimana. Jangan tanya gue." Jalen menghela napas. Jalen kemudian berlalu, meninggalkan Jervaro yang bungkam dalam keheningan malam.  ...  "Makasih ya."  "Aku yang makasih harusnya," ujar Jervaro.  Dwinna tersenyum. "Aku seneng bisa ikut makan malam rayain ulang tahun idola aku."  Jervaro tersenyum tipis. Ia menatap lurus ke jalanan yang sangat ramai malam ini. Malam yang semakin pekat agaknya tak mengurungkan niat orang-orang berkeliaran di jalan. Berbagai hal muncul di dalam kepala Jervaro, termasuk obrolannya dan Jalen tadi.  Bohong jika Jervaro bilang ia dan Dwinna tak ada hubungan apa-apa. Selama beberapa bulan terakhir ia memang dekat dengan wanita itu. Selama ini Jervaro tak jauh berbeda dengan Jalen. Jika dulu Jalen masih punya teman dekat wanita seperti Lane, Jervaro justru tak ada sama sekali. Bisa dibilang ia memang tak pernah dekat dengan wanita manapun. Ratri sudah khawatir pada satu-satunya anak laki-laki yang dimilikinya itu. Dan kehadiran Dwinna jelas memberi cahaya terang bagi Ratri dan keluarga besar.  Kedekatan itu semakin terlihat jelas dari hari ke hari. Makan malam, makan siang, ke pesta, bahkan nonton berdua juga sudah dilakukan Jervaro bersama Dwinna. Bisa dibilang Dwinna adalah wanita pertama bagi Jervaro. Ya, jika Cristal tak menyalip secara tiba-tiba. Semua berjalan baik-baik saja awalnya. Jujur saja, Jervaro mulai membuka hati untuk Dwinna saat awal mengenal wanita itu. Melihat bagaimana Dwinna dan Mamanya tersenyum bahagia membuat Jervaro merasakan kehangatan di hatinya. Dwinna berhasil memunculkan letupan-letupan kecil di sudut hati Jervaro.  Lalu kecelakaan itu terjadi, membekukan hati Jervaro dalam seketika. Orang yang ia benci justru menjadi orang yang Jervaro sebut namanya saat ijab qabul. Jervaro tak tahu kesalahan apa yang sudah ia lakukan sampai ia harus mendapat hukuman seperti ini. Jervaro benar-benar tak pernah membayangkan kalau ia akan menikahi Cristal. Bahkan membayangkan dekat dengan Cristal saja tidak.  "s**t!" maki Jervaro pelan saat ingat lagi di mana ia terbangun tadi pagi. Tangannya mencengkram erat kemudi stir.  Tawa pelan itu menarik perhatian Jervaro. Dwinna tengah tersenyum hangat menatap layar ponselnya.  "Lihat deh, lucu banget kan?" Dwinna menunjukkan layar ponselnya. Di layar berputar video seekor anak kucing berbulu lebat warna putih tengah menggoyang-goyangkan ekornya. Terdengar juga suara tawa di dalam video itu.  "Hmm.." Jervaro mengangguk kecil. Tanpa sadar ia ikut tersenyum.  "Ini sepupu aku. Dulu dia nggak suka sama kucing. Tapi sekarang ke mana-mana kucingnya dibawa. Tiap hari pamer terus sama aku perkembangan kucingnya. Jadi pengen pelihara.."  Jervaro memperhatikan. Ia suka senyum Dwinna. Menyengarkan.  "Sayang banget aku alergi bulu kucing.."  Dwinna kemudian menunjukkan kembali beberapa foto kucing milik sepupunya itu. Mengantar Dwinna ke rumah, Jervaro bertemu dengan Mama wanita itu. Setelah menyapa sebentar, Jervaro meninggalkan pekarangan rumah wanita itu. Awalnya Jervaro ingin langsung pulang. Tapi ia kembali teringat pada kata-kata Jalen. Pria itu akhirnya membelokkan mobilnya ke kanan, menuju tempat yang sebenarnya adalah tempat yang paling tak ingin Jervaro datangi.  ...  Pintu terbuka. Jervaro melangkah masuk. Ia pandangi punggung Cristal yang berjalan menuju ruang tamu. Wanita itu sepertinya sudah bersiap hendak tidur karena ia sudah mengenakan gaun tidurnya.  "Mau minum apa, Kak?" tanya Cristal membuyarkan lamunan Jervaro.  Pria itu melangkah menuju sofa kemudian menghempaskan dirinya di sana. Cristal kembali dengan segelas jus jeruk. Wanita itu kemudian duduk di single sofa.  "Langsung aja," ucap Jervaro membuka obrolan. "Selama 6 bulan ini aku akan kasih kamu nafkah sebagaimana seharusnya. Berapa uang bulanan kamu? 20? 30?"  Kedatangan Jervaro yang tiba-tiba saja sudah cukup untuk membuat Cristal kaget. Kini ditambah dengan pertanyaan tanpa kata pengantar itu. Cristal mengerutkan keningnya.  "50?" tanya Jervaro lagi dengan tatapan tertuju lurus pada sang istri.  Kerutan di kening Cristal hilang seketika. Air mukanya tampak tenang. Cristal menarik napas dalam. "Kakak ke sini malam-malam mau bahas soal ini?"  Tatapan Jervaro masih tertuju pada Cristal.  Cristal tersenyum simpul. "Nggak usah, Kak. Nggak apa-apa. Aku bisa biayain hidup aku sendiri."  Satu alis Jervaro terangkat. "Aku nggak tanya kamu bisa biayain hidup kamu atau enggak. Aku nggak peduli. Aku tanya berapa biaya bulanan kamu."  Cristal mengalihkan pandangannya ke meja. Cristal paham kalau Jervaro tidak datang untuk berkompromi. Jervaro datang untuk memberikan perintah yang mana itu artinya tak bisa didiskusikan apalagi ditolak.  "Berapa Kakak sanggup?" tanya Cristal kembali arahkan tatapan pada Jervaro. Cristal tak perlu terlihat baik di depan Jervaro karena bagaimanapun dirinya, di mata Jervaro ia tetaplah buruk. Cristal tak mau repot-repot memperbaiki reputasinya di depan suaminya itu.  Beberapa detik kemudian Jervaro merogoh kantong jasnya, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya. Ia letakkan kartu itu di atas meja.  "Sementara kamu pakai itu dulu sebelum Danny selesai bikin tabungan baru."  Cristal pandangi kartu berwarna hitam itu.  "Makasih," ucapnya nyaris tanpa emosi.  Jervaro kemudian bangkit dan pergi begitu saja--seperti biasa.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD