CODE 8. Hatred

2046 Words
Selesai mengganti pakaiannya, Cristal segera melayani tamu-tamu yang datang ke restoran. Ini adalah pilihan darurat yang harus Cristal lakukan. Lamaran yang ia masukan ke perusahaan-perusahaan fashion dan butik-butik tak menemukan titik cerah. Cristal akhirnya memutuskan untuk melamar pekerjaan ke restoran yang tak sengaja ia temukan sedang membuka lowongan pekerjaan untuk pelayan. Lowongan ini memang tak sesuai dengan bidang ilmu Cristal bahkan lari terlalu jauh, tapi Cristal tak masalah. Selama menghasilkan uang yang halal maka ia akan menjalaninya. Tapi wanita itu belum putus asa. Ia masih mengirim lamaran ke beberapa butik dan bisnis fashion.  Jika bicara uang maka kartu yang Jervaro berikan sudah lebih dari cukup. Tapi alasan Cristal menerima kartu itu kemarin bukan untuk menerima uang Jervaro, tapi agar pembicaraan mereka cepat selesai. Cristal tak mau menyulut amarah pria itu, jadi ia terima saja meski ia tak berniat sama sekali menggunakan uang itu.  Kini Cristal hanya berharap tak ada orang yang ia kenali yang datang ke restoran ini. Harusnya tak ada karena restoran ini bukanlah restoran mewah kelas atas yang kerap didatangi orang-orang yang ia kenal.  "Mbak Cristal.."  "Iya.."  Jam sibuk makan siang sudah lewat dan restoran sudah tak terlalu ramai. Hanya ada 2 atau 3 pengunjung yang tengah menikmati waktu mereka.  "Rambutnya cantik. Dari kemarin aku salfok sama rambut Mbak," ucap gadis bergingsul itu disertai cengiran. "Perawatannya mahal ya, Mbak?"  Cristal melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti. "Nggak."  "Masa sih? Bagi resep dong, Mbak.."  Cristal menyebutkan rutinitas sederhana perawatan rambutnya. Dulu memang Cristal rajin ke salon. Tapi sekarang hal itu sudah masuk dalam daftar kegiatan yang tak akan pernah lagi dilakukannya.  "Aku juga rajin creambath di rumah. Tapi kayaknya emang rambut kita beda deh, Mbak. Rambutnya Mbak emang udah bagus dari sononya.."  "Dini. Ke sini sebentar," terdengar panggilan dari dalam. Gadis bernama Dini itu berlalu. Cristal menatap pantulan dirinya di kaca. Ia menghembuskan napas pelan kemudian kembali lanjutkan pekerjaan.  Makan siang bersama adalah salah satu kegiatan yang sudah menjadi rutinitas di restoran tempat Cristal bekerja. Jika tak makan makanan di restoran mereka sendiri, biasanya mereka akan memesan makanan dari luar. Ya, hal semacam itu tak dilarang selama pegawai di restoran melakukan pekerjaan dengan benar.  Semua orang asyik berbincang dan bercanda. Hanya Cristal yang menikmati makanannya dalam diam. Seharian ini ia bekerja, hanya beberapa kali saja suaranya bisa didengar. Karena ia masih baru, jadi pegawai lain berasumsi kalau ia masih malu dan belum terbiasa.  "Mbak Cristal kayaknya terlalu cantik ya untuk kerja jadi pelayan di sini," celetuk salah satu pegawai.  "Iya, namanya juga cantik, Cristal."  Begitu namanya disebut, Cristal mengangkat wajah. Ia pandangi teman-teman kerjanya itu.  "Waktu pertama Mbak Cristal ke sini, aku pikir malah anak yang punya restoran." Yang lain mengangguk setuju. Cristal hanya berikan senyum tipis sebagai respon. Ia tak mengatakan apapun. Wanita itu kemudian melanjutkan makannya dan yang lain kembali berbincang dengan Cristal hanya menjadi pendengar.  Hari pertama bekerja berjalan dengan lancar. Cristal harus bekerja keras menyesuaikan dirinya. Pekerjaan ini menuntut tenaga dan juga pikiran. Cristal harus belajar dengan cepat. Dimulai dengan mengingat menu dan mengingat pesanan. Tadi Cristal hampir membuat kesalahan. Untung teman kerjanya bisa cepat membackup.  Beberapa meter dari restoran tempat Cristal bekerja terdapat beberapa kafe yang sepertinya cukup populer di kalangan remaja. Saat melewati salah satu kafe, Cristal tertarik untuk membeli cake yang dijual di sana. Ia kemudian masuk dan memesan satu potong cake untuk dibawa pulang.  Menunggu cake pesananannya dibungkus, Cristal memilih melihat-lihat menu yang terpampang di papan board. Kafe ini dipenuhi oleh anak-anak muda. Bahkan ada pengunjung yang masih memakai seragam sekolahnya.  "Di sini yang paling enak. Nggak ada yang lebih enak dari cake di sini."  Cristal spontan menoleh ke arah sumber suara. Ia tersentak kaget. Kurang 3 meter di depannya Shaneen juga tengah menatapnya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Shaneen, ada Aneska dan Jalen juga. Terakhir Cristal bertemu Jalen adalah saat ia dan Jervaro menikah. Saat itu Cristal tak berani memandangi wajah Jalen apalagi menatap matanya.  Sementara itu Aneska juga tengah menatap Cristal dengan pandangan tak suka. Jika tak mengingat sedang di tempat umum rasanya Aneska ingin mencakar muka Cristal.  "Mbak pesanannya udah siap."  Cristal menerima paper bag miliknya kemudian berlalu.  "Benci banget gue liatnya. Bawaannya pengen gue cakar aja mukanya," ucap Aneska ketus.  "Gue juga emosi aja kalo liat dia."  Jalen menghela napas pelan. "Buruan."  "Iya ih sabar ngapa. Mending tadi sama Jerva perginya," Shaneen menggerutu. Ia dan Aneska memesan minuman dan beberapa potong cake. Ketiganya masuk ke dalam mobil. Tapi Jalen tak langsung menyalakan mobilnya.  "Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Shaneen.  Jalen menarik napas. "Ca, Anes," Jalen memandangi kedua sepupunya itu. "Gue tau kalian nggak suka sama Cristal. Tapi sikap kayak tadi itu nggak bener."  Mendapat teguran dari Jalen sontak membuat ubun-ubun Shaneen panas. Bukan karena Jalen menegurnya, tapi karena alasan Jalen menegur. Shaneen tak pernah marah jika Jalen menegur. Sepupunya itu sangat irit bicara. Jadi jika Jalen menegur itu artinya dia memang salah. Tapi untuk alasan kali ini Shaneen tak bisa menerima.  "Kenapa?!" Shaneen merespon dengan ketus. Aneska terkejut karena tak menyangka Shaneen akan merespon seperti itu pada Jalen. Aneska saja tak berani meninggikan suaranya jika pada Jalen. Di keluarga Vernon dan Gomez orang yang paling Aneska takuti adalah Jalen.  Shaneen memang keras kepala. Tapi selama ini ia tak pernah berani pada Jalen. Bisa dibilang Jalen adalah orang yang ingin Shaneen hindari jika dia membuat masalah.  "Gue nggak suka sama dia. Mukanya jelek."  "Ca," suara Jalen sudah berubah. Tidak tinggi dan tak ada emosi di sana. Tapi penekanan Jalen sudah cukup untuk membuat Aneska yang duduk di belakang merinding.  "Gue nggak pernah larang lo buat benci atau nggak suka sama orang. Itu terserah lo. Tapi kalau orang itu nggak merugikan, lo nggak boleh bersikap kayak tadi."  Shaneen masih belum menerima. Ia masih memasang wajah badmood. "Ngapain sih belain dia?"  "Gue nggak belain dia."  "Dia itu salah. Salah besar. Kata siapa dia nggak merugikan? Merugikan banget. Karena dia Sela--"  "Ca," kembali Jalen menegur.  Aneska sudah merasakan hawa tak enak. Ia segera menengahi meski sebenarnya ia takut. Aneska bisa semena-mena pada Jervaro tapi tidak pada Jalen. Bahkan lebih baik beradu mulut dengan Papinya daripada dengan Jalen. Ah tidak. Tak ada satupun orang di keluarga besar mereka yang lebih menakutkan daripada Jalen.  "Hmm udah ya, kenapa jadi bahas dia? Udah nggak usah dibahas. Kan udah pergi juga orangnya. Yuk jalan.." Aneska mencoba mencairkan suasana. "Yuk Kak J, Kak Sela pasti udah nungguin.."  Shaneen masih dengan wajah merenggut. Jalen menghela napas pelan kemudian menyalakan mobilnya. Aneska menghembuskan napas lega begitu Jalen melajukan mobilnya.  ...  Rasa kesal Shaneen agaknya masih belum habis. Bahkan dua hari kemudian, saat ia kembali tak sengaja bertemu dengan Cristal, amarah Shaneen malah makin menjadi. Parahnya kini Shaneen tak bersama Jalen, tapi Jervaro. Jelas Jervaro tak bisa mengendalikan sepupunya itu. Tapi kini posisinya Shaneen yang salah.  "Minta maaf!"  "Ca."  "Dia salah! Buruan minta maaf!"  Keributan itu menarik perhatian beberapa pengunjung dan juga pegawai restoran. Ini hari sial bagi Cristal. Baru beberapa hari ia bekerja kini ia sudah bertemu dengan situasi ini. Buruknya lagi ia harus berhadapan dengan Jervaro dan Shaneen. Cristal dibuat shock saat tahu pengunjung yang harus ia layani adalah Jervaro dan Shaneen. Ingin menghindar sudah terlambat.  "Cepat minta maaf! Sepatu gue rusak!" suara Shaneen makin meninggi. Sebenarnya masalahnya bukan pada sepatu yang ditumpahi makanan itu. Tapi pada kebencian yang sudah menggunung di dalam hati. Bahkan jika Shaneen sadar kalau ia salahpun ia tak akan mau mengakui kesalahannya.  Cristal masih diam.  "Saya minta maaf," ucap wanita itu akhirnya.  Seketika tatapan Jervaro tertuju pada istrinya itu. Matanya menajam dalam hitungan detik. Ia tahu betul kalau Cristal tak salah. Tapi wanita itu meminta maaf bahkan tanpa menjelaskan situasinya.  "Dasar pelayan nggak becus!"  "SHANEEN!"  Tak hanya Shaneen, pengunjung restoran dan pegawai restoran pun terkejut. Hanya Cristal yang tetap diam dengan wajah menunduk.  "Udah!" ucap Jervaro tegas.  Akhirnya manager restoran datang. Melihat kondisi di tempat itu ia langsung meminta maaf.  "Ada apa ini, Cristal?" tanya manager restoran.  "Bukan salah dia," Jervaro menjawab. Semua mata tertuju pada Jervaro.  "Kami minta maaf atas insiden ini," ucap Jervaro lagi. Sontak Shaneen memelototkan matanya. Ia tak terima dengan permintaan maaf Jervaro. Tapi saat hendak protes, Shaneen langsung ciut karena raut wajah sepupunya itu terlihat amat sangat menyeramkan. Shaneen jadi ingat wajah Jalen saat pria itu mencapai puncak toleransinya.  Jervaro mengeluarkan beberapa lembar uang 100 ribu Rupiah dari dalam dompetnya. Ia bahkan belum menikmati pesanannya sama sekali. Jangankan menikmati makanannya, melihat Cristal menjadi pelayan di restoran itu saja nafsu makan Jervaro sudah hilang. Ditambah dengan kejadian ini. Setelah pria itu minta maaf sekali lagi dan menekankan kalau yang terjadi hanya kecelakaan, Jervaro nyaris menyeret sang sepupu keluar dari restoran.  Shaneen meradang. Tapi Jervaro terlihat lebih marah.  "ITU UDAH KETERLALUAN!"  Shaneen terdiam beku. Seumur hidupnya tak pernah Jervaro membentaknya. Jervaro tak pernah semarah ini. Setidaknya Shaneen tak pernah melihatnya.  Mata Shaneen berkaca-kaca. "Lo sama Jalen kenapa sih?! Kenapa belain dia?! Gue udah bilang gue benci sama dia! Gue benci!" tangis Shaneen pecah. Jervaro jadi tak tega. Amarahnya yang tanpa sadar sudah nyaris mencapai ubun-ubun langsung redup begitu Shaneen menangis. Jervaro bergegas merengkuh sepupunya itu ke dalam pelukan.  "Gue nggak suka sama dia. Gue benci sama dia."  Jervaro mengusap punggung Shaneen. Tanpa sadar pria itu menghela napas berat. Tanpa Jervaro ketahui, tak jauh dari sana Cristal menyaksikan semuanya.  ...  "Mbak baik-baik aja?" tanya Dini yang masih khawatir karena kejadian tadi siang. Cristal memang sangat pendiam dan itu membuat Dini jadi makin khawatir. Cristal bahkan tak menjelaskan apapun pada manager restoran. Ia hanya meminta maaf berulang-ulang. Akhirnya teman-teman pegawai yang sempat menyaksikan kejadian itulah yang membantu menjelaskan pada manager restoran.  "Hmm.."  Dini tak yakin apa Cristal benar-benar baik atau dia sekedar menjawab. Keduanya berpisah karena jalan mereka berbeda. Cristal melangkahkan kakinya meninggalkan area restoran.  Pukul 10 lewat Cristal sampai di apartemennya. Di depan pintu apartemen Jervaro sudah menunggu. Pundak Cristal terasa semakin berat. Baginya justru lebih baik kalau Jervaro tetap diam dan mengabaikan daripada seperti ini. Cristal benar-benar tak mengharapkan kehadiran Jervaro malam ini setelah kejadian tadi siang.  "Maaf soal tadi siang, Shaneen moodnya lagi nggak bagus."  "Nggak apa-apa. Bukan masalah besar."  Bukan masalah besar. Tiga kata itu seperti memprovokasi Jervaro.  "Sejak kapan kamu kerja di sana?"  Topik masalah pun berganti.  "Belum lama." Cristal masih menjawab dengan tenang.  "Kartu itu kurang?"  Cristal sudah menebak akan mendapat sarkasme seperti ini. Wanita itu menggeleng.  "Terus?"  Hening. Tak ada respon dari Cristal. Ia bungkam dengan pandangan tertuju pada lantai. Jervaro merogoh kantongnya, mengeluarkan dompet kemudian mengambil kartu lain dari sana. Ia menarik tangan Cristal kemudian meletakkan kartu itu di sana.  Cristal menatap kartu di tangannya itu.  "Masih kurang?"  Wanita itu memejamkan matanya, berusaha menarik napas dalam. Ada sesak di dalam d**a. Cristal tak berharap Jervaro masuk dan bicara baik-baik dengannya. Tapi apa yang kali ini Jervaro lakukan benar-benar menusuk hatinya.  "Mau bikin aku lebih b******k daripada ini?"  Cristal perlahan mengangkat wajahnya. Yang ia lihat adalah ekspresi marah, kecewa, benci, dan terluka. Semua bercampur menjadi satu. Lama ia pandangi wajah pria di depannya itu. Satu hal yang Cristal sadari, Jervaro begitu terluka. Dan itu adalah karena dirinya. Karena kejadian satu malam itu. Cristal merasa ia sudah menghancurkan hidup Jervaro.  "Uangnya lebih dari cukup." Suara Cristal terdengar tenang. Tapi seperti ada yang tak bisa dijelaskan dari suara itu.  "Ngapain kerja di restoran itu? Nggak bisa kerja di tempat yang sesuai?"  Cristal tak menjawab. Bagaimana caranya ia jelaskan pada Jervaro tentang apa yang ia alami? Jervaro jelas bukan tempat Cristal bisa mengadu sambil menangis.  Jervaro kemudian berlalu, tinggalkan Cristal dalam keheningan. Cristal tak tahu bahwa tangan Jervaro mengepal kuat di dalam kantong celananya dan Jervaro tak tahu bagaimana Cristal menahan diri untuk tak menangis di depannya.  ...  Hari ini akhirnya persidangan terakhir Leon dilakukan. Pria itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Agisti hanya bisa menangis sembari memeluk Cristal yang tampak berusaha keras menahan agar air matanya tak jatuh. Danu hadir di persidangan sementara Aryan sedang dirawat di rumah sakit.  Cristal memeluk kakeknya itu. Pelukan itu begitu erat. Leon tersenyum, membalas pelukan sang cucu.  "Maafin Opa ya," ucap pria tua itu lirih. "Opa gagal jagain Cristal. Maafin Opa udah bikin Cristal malu."  Cristal menggeleng. Ia tak bisa berkata-kata. Cristal berusaha keras agar tak menangis.  "Cristal, maafin Opa," ucap Leon untuk terakhir kali sebelum dibawa oleh petugas. Cristal menatap kepergian kakeknya itu dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan tak nyaman yang menyerangnya.  Beberapa hari kemudian Cristal mendapat kabar kalau Leon bunuh diri di penjara.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD