Rhea mendengar suara pintunya terbuka, tetapi ia enggan menoleh dan tetap sibuk membuat suara di kepalanya sendiri. Beberapa saat yang lalu ia baru sampai di rumahnya dan langsung membersihkan diri. Namun selama apa pun ia membersihkan diri, kulitnya masih gamang karena jejak panas Aga masih terasa.
“Are you okay?” Salwa bertanya sambil membuka sepatunya dan menjinjing benda tersebut dengan tangannya.
Rhea yang sedang duduk di sofa di ruang tengah, hanya mengangkat tangannya membentuk huruf ‘o’ dengan tiga jari terbuka. Dia sedang membelakangi Salwa saat ini, ia pikir sahabatnya itu tidak akan melihatnya, tapi mungkin kepalanya sedikit menyembul dari sandaran sofa.
“Sure?” tanya Salwa tak yakin, “Ngobrol di mana lo tadi?”
Rhea bisa mendengar suara langkah mendekat. Secara spontan ia langsung menyentuh bibirnya, terakhir kali ia mematut dirinya di depan kaca, Rhea bisa melihat kalau bengkaknya sudah berkurang. Degup jantungnya kembali memburu, seiiring langkah kaki Salwa yang semakin mendekat.
Rhea mendesah pelan, seharusnya ia langsung mengurung diri di dalam kamar dan tidak berdiam diri di sofa seperti orang linglung menatap layar TV yang mati seperti ini. Namun ia tidak ingat kalau Salwa sedang menginap di rumahnya. Pikirannya benar-benar kacau dan ia tidak bisa memikirkan apapun kecuali kosong.
“Dia minta ganti rugi berapa?” Salwa sudah tiba di hadapannya.
Rhea sedikit gelagapan, tapi dengan cepat ia mampu mengendalikan dirinya. Ditatapnya Salwa dengan senyum canggung. “Nostalgianya gimana sama mantan atasan?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Salwa.
Salwa mendengus, kemudian perempuan dengan potongan rambut sebahu tersebut menghempaskan dirinya ke atas sofa di seberang Rhea.
“Nothing special,” jawabnya. “Dia masih tetap jadi bos dan teman bicara yang menyebalkan.”
Rhea menaikkan sebelah alisnya.
“Dia ngajakin gue makan malam.”
“He is wanna be your boyfriend,” ucap Rhea sok tahu.
Salwa memutar bola matanya dan tiba-tiba ia menyipit tajam menatap Rhea.
“Something happened, right?”
“Nggak.”
Mata Salwa semakin curiga, “Tapi ada yang aneh sama wajah lo.”
Rhea meremas tangannya, jantungnya kembali berdegup kencang.
“A-neh kenapa?” tanyanya tergagap.
“Merah.”
“Merah?” ulang Rhea. Namun seolah melupakan hal penting, Salwa menggeleng dan kembali bertanya, “Berapa ganti ruginya?”
Rhea masih mengerjap-ngerjapkan mata ketika Salwa kembali berkata, “Mobil dia, kan mobil mahal. Mobil kayak gitu bukan harga belinya doang yang bikin melongo, harga buat perawatan juga. Dan lo harus tahu, itu mobil keluaran terbaru dan menjadi mobil kesayangannya Aga.” Salwa menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, “Ini informasi dari Gio, sih. Jadi berapa yang harus lo bayar?” tanya lagi.
“Mahal,” jawab Rhea lesu, ingatannya terlempar lagi untuk melihat dirinya dan Aga serta apa yang melakukan beberapa saat yang lalu di parkiran kafe. “Sangat. Amat. Mahal. Sekali,” lirihnya lemah, tapi penuh penekanan di setiap suku katanya.
Salwa menatap Rhea seolah sahabatnya itu adalah makhluk aneh yang baru saja mendarat di bumi. “Kenapa bahasa lo aneh kayak gitu? Lo masih manusia bumi, kan, Re?”
Rhea mengangguk lemah. Lalu ia membalas tatapan Salwa lemah, “Gue mau istirahat dulu deh, next time aja keliling kota Bandungnya.”
Salwa mengangguk.
Melihat Rhea yang tiba-tiba seperti orang sekarat seperti itu terbersit rasa iba di dalam hati Salwa. Ia tidak berani membayangkan berapa banyak nominal yang baru saja perempuan itu keluarkan untuk ganti rugi mobil orang.
Namun yang tidak diketahui oleh Salwa adalah bahwa Rhea membayar dengan bibirnya, sesuatu yang lebih mahal dari nominal apa pun yang ada di dunia ini.
*
“Kenapa sangat tiba-tiba?” tanya Karen ketika melepaskan bibir Aga.
Wanita itu adalah teman kencan yang ia pilih hari ini. Sebenarnya Aga tidak terlalu menyukainya, karena Karen sangat suka bertanya dan dipenuhi oleh rasa ingin tahu. Namun ia memiliki sensualitas yang sangat tinggi. Bibirnya penuh menggoda, bentuk tubuhnya berlekuk indah dan menyenangkan untuk dilihat.
Dan yang paling penting, Karen bukan w************n. Seperti yang sudah pernah ia katakan, Aga sangat menghindari untuk berurusan dengan wanita yang akan menimbulkan resiko.
“Hanya sedang ingin,” jawab Aga sekedarnya.
Karen menyunggingkan senyum menggoda, lalu perempuan itu kembali menciumnya. Lidah Karen menyeruak masuk dengan berani dan Aga membiarkan teman kencannya tersebut melumat habis bibirnya, menelusuri rahang dan lehernya dengan penuh semangat dalam menjalankan aksinya tersebut.
Lidah Karen mulai mengecap leher dan jakunnya, sementara tangan perempuan itu mulai turun menjelajahi tubuh Aga dan mengusap bagian inti dirinya yang masih dilapisi dengan celana.
Karen menjauhkan kepalanya dari ceruk leher Aga saat menyadari bahwa tubuh pria tersebut tidak bereaksi di bawah sentuhannya. Ia menatap Aga dengan pandangan bertanya, heran sekaligus merasa aneh. Biasanya lelaki itu tidak akan menahan diri jika sedang bersamanya.
Melihat Karen yang masih menatapnya dengan penuh keheranan juga aneh disaat bersamaan, membuat Aga hanya diam membisu. Ia sendiri juga merasa ada yang aneh dengan dirinya, pasalnya Aga sangat yakin kalau celananya terasa sangat sempit ketika meminta Karen untuk menemaninya tadi. Namun setelah melihat perempuan itu siap untuknya, Aga tidak bisa merasakan apa-apa. Tubuhnya tidak bereaksi sama terhadap Karen sebagaimana tubuh dan pikirannya bereaksi terhadap Rhea.
Karen mengambil inisiatif untuk melepaskan kait celana Aga. Tidak menunggu sampai benda tersebut benar-benar terbuka, Karen memasukkan tangannya dan menyentuh Aga di sana. Ia mengusap beberapa kali hingga bagian tersebut sedikit bereaksi dan menciptakan senyum miring di bibir merah menyalanya.
Aga memejamkan mata, setelah apa yang dilakukan Karen, ia tidak bisa menahan tubuhnya untuk tidak memberikan reaksi apa pun. Hanya saja, ia tidak menikmati sama sekali. Sentuhan Karen di pusat dirinya terasa salah. Sangat salah, kalau ia bisa menambahkan. Meskipun sebelum ini ia sudah berkali-kali melakukannya dengan perempuan itu.
“Berhenti,” suruh Aga sambil menarik tangan Karen dari dalam celananya.
“Apa-apan?” tanya Karen bingung sekaligus marah.
“Aku sedang tidak ingin bermain denganmu,” jawab Aga malas. Ia tidak peduli apakah perempuan itu akan marah atau tidak. Sesuatu di kepalanya sudah membuat Aga repot, Rhea benar-benar tertinggal di dalam benaknya.
“What?” pekik Karen tidak terima.
“Aku sedang tidak ingin bermain denganmu, Karen,” ulang Aga lagi. “Apa aku perlu mengatakannya lagi?”
“Jabingan,” maki Karen dan menampar Aga.
Aga hanya menatap malas, kemudian ia mengancingkan kembali celananya setelah tadi dibuka oleh Karen. Lalu ia menoleh lagi ke arah Karen yang masih menatapnya dengan penuh kemarahan.
“Ini yang terakhir, aku tidak ingin bermain lagi denganmu,” ucap Aga sebelum meninggalkan Karen yang langsung memberikan tatapan membunuh ke arahnya.
Dengan bayangan Rhea yang tidak bisa enyah dari kepalanya, Aga mengendarai mobilnya untuk pulang. Sepertinya ia harus memuaskan diri sendiri dengan bayangan perempuan kecil itu di dalam kepalanya.
*