“Apa-apaan?” tanya Rhea sambil menyentak tangan Aga agar terlepas dari lengannya. Saat ini mereka telah sampai di area parkiran, Rhea bisa melihat mobilnya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Aga tidak tahu siapa yang terkejut antara dirinya dan perempuan kecil ini ketika Rhea menarik tangannya keras dan memeluknya di depan d**a. Aga masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi saat Rhea akhirnya memberikan ekspresi terkejut, bahkan wanita itu mengenggam erat tangannya sendiri.
Hening selama beberapa saat sebelum akhirnya Aga memberi jarak antara mereka. Dalam keadaan seperti ini, ia bisa melihat betapa mungilnya tubuh Rhea. Tinggi perempuan itu bahkan tidak mencapai dagunya. Aga baru akan bersuara lagi ketika Rhea terlihat panik dan memberi isyarat tangan untuk menghentikan Aga.
“Ka-takan saja berapa yang harus saya bayar.”
Aga menaikkan alisnya bingung, kemudian ia sengaja melangkah mendekat. Ia memperhatikan bagaimana Rhea melangkah mundur ketika ia berusaha untuk memangkas jarak mereka.
Apakah dia takut?
Aga bertanya dalam hatinya. Rasanya tidak mungkin jika mengingat beberapa saat yang lalu Rhea baru saja membuat lawan bicaranya tidak bisa berkutik. Sebenarnya jika diperhatikan lagi, Rhea bukan terlihat takut, tapi lebih terlihat gugup.
Gugup?
Sekali lagi Aga bertanya di dalam hatinya. Sedangkan kepalanya ia suruh bekerja keras, kalau diingat-ingat lagi, sejak awal wanita itu tidak terlihat takut terhadapnya. Baru ketika Aga menyentuh tangannya tadi, Rhea terlihat panik. Bahkan kalau ia ingat lebih jauh lagi, kulit Rhea sedikit meremang di bawah sentuhannya.
Rhea gugup karena sentuhannya.
Kesimpulan itu membuat Aga kembali mengambil langkah mendekat. Seperti dugaannya, Rhea kembali bergerak mundur menjauhinya. Ketika punggung perempuan itu menabrak bagian depan mobil miliknya, Aga sudah berada tepat di hadapan Rhea dan hanya berjarak satu langkah.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Rhea dengan suara bergetar.
Memperhatikan bagaimana Rhea masih mengenggam erat tangannya dan juga kepanikan yang semakin nyata di kedua matanya, membuat Aga nekat menghabiskan jarak mereka, menjadikan Aga berada dalam zona personal Rhea.
“Rhea,” panggil Aga. Suaranya terdengar tertahan.
Rhea mendongak melihatnya, membuat Aga bisa melihat wajah Rhea dengan sangat jelas. Gadis itu memiliki rahang yang cukup tajam dengan dagu mungil dan bibir merah. Matanya tidak terlalu besar, tapi tidak juga terlalu kecil. Bulu matanya lentik tanpa bantuan maskara.
Sempurna. Wanita kecil ini memiliki wajah yang sempurna.
“Men-jauh dari saya,” suruh Rhea kembali terbata.
Aga menyeringai tipis. Sepertinya hal tersebut semakin membuat Rhea ketakutan karena perempuan itu memalingkan wajah menatap lantai. Dan Aga mengutuk di dalam hati, aroma manis dari tubuh Rhea tercium jelas oleh hidungnya. Kulit leher wanita itu juga menggoda keimanan Aga.
Damn!
Wanita ini juga seksi.
Ia menginginkan Rhea. Sekarang.
Keinginan yang membuat kepalanya kacau tersebut membuat Aga memiliki ide kotor. Tanpa benar-benar memikirkan konsekuensi yang mengekori, dengan berani Aga maju dan menutup habis jarak diantara keduanya. Dengan satu dorongan, ia menahan perempuan itu ke bagian depan mobil dan mendekatkan wajahnya.
Rhea memalingkan wajahnya, membuat Aga berakhir di ceruk leher Rhea yang jenjang. Meskipun begitu, Aga tetap bisa memperhatikan bagaimana gadis itu gugup dan menelan salivanya sendiri. Napasnya juga tidak teratur, bahkan kulit Rhea meremang di bawah bibirnya. Hasrat tiba-tiba menguasai Aga dan ia menempelkan bibirnya pada bibir merah muda Rhea.
Rhea membelalakkan matanya, sentuhan itu terasa asing dan baru. Ia tidak bisa memikirkan apapun karena terkejut. Otaknya seperti mengalami kebekukan total, membuatnya tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi.
Sementara itu Aga sudah terbakar oleh hasratnya sendiri. Rasa Rhea sangat berbeda dari yang semua bibir yang pernah ia cecap selama ini. Perempuan ini sangat memabukkan, seperti anggur yang sudah difermentasikan lama.
Ketika darah mengalir kembali ke setiap sel otaknya, Rhea akhirnya mendapatkan kembali pikirannya. Ia mendorong Aga untuk menjauh, tapi kekuatannya tidak mampu menandingi tubuh Aga. Usahanya berakhir sia-sia, tapi Aga sedikit menjarakkan bibirnya.
“Hen-tikan,” pinta Rhea terbata. “Saya pikir kamu mau membicarakan ganti rugi.”
Aga menatap Rhea, bibir mereka hanya berjarak satu senti meter karena Aga memutuskan untuk mengambil napas. Namun perkataan Rhea juga ekspresi wanita itu membuatnya kembali memikirkan hal-hal kotor.
“Kamu benar, kita harus membicarakan ganti rugi.”
Rhea mengerjap-ngerjapkan matanya, pandangannya masih tidak bisa fokus.
“Kalau begitu buka mulutmu.”
Rhea menatapnya bingung, mulut wanita itu bahkan sedikit terbuka. Dan hal tersebut langsung dimanfaatkan oleh Aga dengan kurang ajar.
Aga semakin liar melumat bibir Rhea, seolah tidak ada hari esok. Ciuman yang begitu sensual itu berhasil membuat Rhea memejamkan mata. Semua ini terasa aneh, ia tidak pernah bericuman sebelumnya. Dan melakukannya dengan Aga membangkitkan sensasi asing di dalam tubuhnya.
Untuk beberapa saat, Rhea hanyut oleh sensasi memabukkan itu. Kemudian Aga melepaskan bibirnya lagi, memberinya akses untuk bernapas sendiri. Namun bibir pria itu masih sangat dekat dengan miliknya. Membuat napasnya menyatu dengan napas panas Aga.
Satu tangan Aga masih di pinggangnya, menahan. Sementara yang lainnya berpegangan ke atas kap mobil, mengurung Rhea. Napas mereka saling memburu. Mata Aga terlihat berkabut, tapi juga tajam saat menatapnya.
“Semuanya lunas, kamu menyukainya?” tanya Aga.
Pertanyaan Aga membuat kesadaran mengambil alih tubuh Rhea. Ia mendorong Aga dengan sisa-sisa kekuatannya. Kemarahan menyala-nyala di matanya saat menatap Aga.
“Bastard!” umpat Rhea dengan suara bergetar.
Buru-buru Rhea berlari ke arah mobilnya sendiri. Begitu ia masuk ke dalam mobil, ia membiarkan dirinya merosot. Kedua kakinya terasa lemah dan detak jantungnya juga tidak beraturan. Dengan tangan yang bergetar, Rhea menyentuh bibinya yang masih menyisakan jejak panas dari bibir Aga.
Apa yang sudah kulakukan?
Rhea memiliki otak yang cerdas. Dan selama ini dengan otaknya tersebut, ia selalu tahu kapan dirinya sedang berada dalam masalah. Saat ini, masalah besar tepat di bawah kakinya berpijak.
*
Di dalam mobilnya sendiri, Aga juga menanyakan hal yang sama.
Apa yang ia lakukan?
Ia mencium Rhea, seseorang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Terlebih lagi, Aga melakukannya di ruangan terbuka. Di pelataran parkir sebuah kafe, kini ia merasa begitu bodoh karena sudah bertindak impulsif di tempat umum, di mana semua orang bisa menyebarkan gosip.
Aga menarik napas dalam-dalam dan berusaha menghilangkan getaran di tubuhnya. Jantungnya masih berdetak tumpang tindih di dalam sana, membuat Aga mengusap wajahnya kasar.
Ini sangat aneh. Rhea membangkitkan hasratnya dengan sangat cepat. Belum pernah ia merasa selapar itu. Selama ini ia tidak pernah lepas kendali dan selalu dia yang berhasil mengendalikan pasangannya di atas ranjang.
Sekarang, hanya sebuah ciuman dan Aga sudah terbakar.
Dia mengernyit, tidak terlalu menyukai kenyataan itu, tetapi benaknya kembali membayangkan Rhea. Wajah memerah gadis itu saat Aga menciumnya, bibir Rhea yang begitu ranum dan lembut.
Semua ini di luar akal sehatnya.
Bahkan dengan membayangkan kondisi perempuan mungil itu saja sudah membuatnya kembali berhasrat. Terbukti dari celananya yang terasa semakin sempit.
Sial.
Aga ingin mendapatkan pelepasannya sekarang. Dan ia sangat menginginkan Rhea. Namun ia sadar kalau ia tidak akan bisa mendapatkan wanita itu hari ini. Dengan gerakan cepat ia menggulir layar ponselnya.
Dengan pikiran-pikiran nakal dan bayangan akan tubuh Rhea yang memenuhi kepalanya, Aga berhasil mengirimkan chat kepada salah satu teman kencan yang ia miliki. Ia tidak menunggu sampai pesannya dibalas, karena Aga tahu bahwa teman kencannya tersebut dengan senang hati sudah siap untuknya.
Selama melajukan kendaraannya, Aga tidak berhenti memikirkan Rhea. Dan ia tahu, bahwa setelah hari ini, ia akan kembali lagi kepada Rhea untuk mengulang apa yang telah ia lakukan kepada perempuan kecil itu.
*