As He Wants

839 Words
        Rhea baru saja memarkirkan mobilnya di parkiran khusus pengajar ketika suara rektor universitasnya terdengar memanggil.         “Selamat pagi, Pak Gibran,” sapa Rhea saat pria tersebut sudah mendekat.         Pria tua yang sudah ditumbuhi uban di hampir seluruh kepalanya tersebut mengangguk dan berjalan mengiringi langkah Rhea.         “Bagaimana dengan penelitianmu?” tanya Pak Gibran.         “Saya belum memulainya, Pak,” jawab Rhea.         Langkah Pak Gibran berhenti sejenak, ia mengerutkan dahi tanda tak setuju, “Kenapa?” tanyanya. “Apakah kamu menemukan kendala?”         Rhea menggelengkan kepala, “Sebenarnya kami, saya dan rekan-rekan kekurangan suntikan dana.”         Rhea sudah mengirimkan proposal ke Adtech, perusahaan bioteknologi terbesar di tanah air. Mengajukan permohonan bantuan dana untuk penelitian yang akan ia lakukan. Sayangnya setelah satu bulan mengirimkan proposal, belum ada jawaban dari perusahaan besar tersebut.         “Apakah kamu mengirim proposal ke Adtech?”         “Adtech merupakan perusahaan pertama yang saya kirimkan proposal, Pak.”         Pak Gibran meletakkan tangannya di dagu, ia terlihat sedang berpikir. “Hm.” Dia bergumam. “Kebetulan saya mengenal presiden direkturnya secara pribadi, jika kamu tidak keberatan, saya bisa bicara dengannya.”         “Tentu, Pak. Saya akan sangat berterima kasih kalau Bapak bisa membantu,” ujar Rhea sopan.         Keduanya lalu berhenti saat tiba di depan ruangan Rhea.         “Pilihan yang baik. Saya akan segera menghubunginya kalau begitu,” kata Pak Gibran. Lalu pria tua tersebut berpamitan dan meninggalkan Rhea yang langsung berbalik badan untuk membuka kunci ruangannya dan masuk.         *         Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Seperti dugaannya, Aga tidak bisa melupakan Rhea. Perempuan bertubuh mungil tersebut menghantui kesehariannya, bayangan Rhea membuatnya tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Dan yang paling miris, sekarang untuk kebutuhan biologisnya Aga harus membayangkan Rhea agar bisa mendapatkan pelepasan.         Aga mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. Otaknya sedang sibuk memikirkan cara supaya ia bisa bertemu lagi dengan Rhea. Lalu tiba-tiba interkomnya berbunyi, membuat Aga berhenti dari memikirkan Rhea.         Ternyata sekretarisnya menghubungi dan mengatakan bahwa Pak Gibran datang untuk menemuinya. Setelah menyuruh sekretarisnya mengizinkan pria tua itu untuk masuk ke ruangannya, Aga kembali memikirkan Rhea sembari menunggu.         Kenop pintu kantornya terbuka dan pria yang saat ini sedang menjabat sebagai rektor dari salah satu universtas tersebut masuk ke ruangannya. Pak Gibran tersenyum ke arahnya dan Aga berdiri untuk menyambutnya.         “Ada angin apa sehingga orang seperti Bapak jauh-jauh datang ke sini?” sindir Aga halus.         Pak Gibran terkekeh, “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ujar Pak Gibran. “Bagaimana kabar orang tuamu?”         “Sudah kuduga kalau om hanya menanyakan kabar mereka.” Aga mendengus. Ia mengganti panggilannya, mengingat Pak Gibran ini adalah sahabat baik dari kedua orang tuanya.         Pak Gibran tersenyum lagi.         “Mereka baik,” jawab Aga. “Sangat baik kalau boleh kutambahkan. Mereka bangun sambil melihat matahari terbit kemudian menutup hari dengan melihat matahari terbenam.”         Mendengar penjelasan Aga membuat Pak Gibran mendesah. “Aku juga ingin pensiun setelah mendengarnya darimu.”         “Aku hampir bosan mendengarkan om mengatakan itu. Buktinya sampai sekarang om masih bertahan di balik gedung tua itu.”         Sekretarisnya mengetuk pintu, kemudian masuk dan membawakan minuman untuk mereka. Setelah sekretarisnya kembali keluar, Aga kembali menatap Pak Gibran.         “Ngomong-ngomong ada apa om mencariku?”         “Ha.” Pak Gibran bersorak, “Hampir saja aku lupa.” Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Aga.         “Salah satu dosen muda di kampusku sedang melakukan penelitian. Dia membutuhkan investor, katanya dia sudah mengirimkan proposal sejak satu bulan yang lalu ke perusahaanmu.”         Aga mengangguk-angguk. Tiba-tiba teringat bahwa satu bulan yang lalu ia menolak beberapa proposal tanpa benar-benar melihatnya.         “Dan kau.” Pak Gibran menunjuknya, “Apa kau tidak bisa melihat tanda tanganku di salah satu kolom yang ada di sana? Bagaimana mungkin kau menolaknya begitu saja?” tanya Pak Gibran dengan nada tersinggung yang dibuat-buat.         “Sejujurnya aku tidak me ….,” ucapan Aga terhenti. Matanya membulat kaget ketika melihat profil salah satu nama di atas kertas tersebut, “…. Aku akan menjadi investor utama untuk penelitian ini,” kata Aga tidak menyelesaikan ucapan pertamanya.         Pak Gibran menatapnya heran, “Kenapa aku mendengar nada antusias di dalam ucapanmu?”         “Aku biasa saja,” ujar Aga berkilah. “Sebenarnya aku tidak membaca proposal ini satu bulan yang lalu. Sekarang setelah membacanya, aku baru sadar kalau penelitian ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.”         “Tapi yang aku lihat kau hanya membolak-balikkannya tanpa benar-benar membacanya.”         “Ayolah, Om,” erang Aga. “Aku sudah setuju untuk menyuntikkan dana, kenapa om tidak senang?”         “Karena kau mencurigakan,” jawab Pak Gibran.         Aga mendengus malas. “Kalau begitu kubatalkan saja.”         “Baiklah.” Pak Gibran mengalah. “Kuperingatkan kau, penelitian ini sangat penting bagi mereka. Terutama bagi profesor Rhea.”         Aga mengangguk. “Aku akan memberikan berapapun yang mereka butuhkan.”         “Terima kasih atas bantuanmu,” ujar Pak Gibran.         “Aku juga sangat berterima kasih kepada, Om,” jawab Aga sambil tersenyum senang.         Sepertinya ia tidak perlu memutar otaknya lagi untuk menemukan cara supaya bisa bertemu dengan profesor kerdil itu. Karena semesta sedang melimpahkan kebaikannya kepada Aga.         *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD