Profesor

1324 Words
        Rupanya Aga tidak cukup ramah untuk mau dikenalkan dengan orang lain. Setelah dengan sengaja melirik Rhea dengan tatapan jengkel, kini ia kembali menatap ke arah Gio dengan wajah datar.         “Kenalan lo?”         Benak Aga sudah dipenuhi oleh tanda tanya sebenarnya. Sejak kapan temannya ini memiliki kenalan seorang bocah? Boleh jadi dia adalah anak dari salah satu nasabah Gio, pikirnya. Tapi tunggu, katanya perempuan yang di sebelah Gio itu adalah mantan bawahannya, artinya ia sudah dewasa, kan? Jadi perempuan kerdil ini adiknya?         Aga masih bertanya sendiri di kepalanya, tetapi ingatannya dengan cepat membantah, bukankah Gio tadi mengenalkannya sebagai teman dari si Salwa itu?         Pertanyaannya berhenti, kepalanya seperti otomatis kembali menoleh ke arah Rhea. Sementara objek pandangannya sedang membalas tatapannya dengan cara yang sangat menjengkelkan.         “Salwa kenalan gue, sedangkan Rhea itu temannya Salwa,” kata Gio menjelaskan sekali lagi. “Lo nggak mendadak tuli, kan, ya?”         “Kalau begitu kamu sudah punya SIM sendiri?” tanya Aga tanpa membalas ucapan Gio kepadanya.         “Apa saya terlihat seperti tidak punya SIM?” balas Rhea dengan nada datar.         “Menurutmu?”         “Wait the minute, what’s going on?” tanya Gio kebingungan. Sementara di sampingnya Salwa terlihat kesulitan untuk menahan tawa.         “Manusia kerdil ini tidak becus membawa mobil, selain tidak becus juga ugal-ugalan. Kalau bukan karena dia, mobilku tidak akan masuk bengkel.”         Rasanya seluruh darah Rhea mendidih sampai ke ubun-ubun, sejak tadi pria arogan di depannya ini selalu menyebutnya kerdil, kerdil, kerdil dan kecil. Memangnya salahnya kalau dia dilahirkan dengan tubuh mungil seperti ini?         “Mobil kesayangan lo masuk bengkel?”         Aga hanya bergumam malas.         “Baiklah, sepertinya aku tidak perlu menemui orang tuamu. Kita bisa bicarakan ganti rugi di sini,” ujar Aga.         Baru saja Rhea ingin membalas ucapan Aga, seseorang datang dan menyela mereka.         “Selamat siang.” Seorang pemuda berdiri di dekat mereka.         “Evan? Ada apa?” tanya Rhea dengan sedikit terkejut.         “Maaf menganggu waktu anda, Profesor. Ada hal yang ingin saya bicarakan,” jawab Evan.         Rhea melihat ke sekelilingnya, di depannya Salwa sudah kembali duduk, disusul oleh Gio di sampingnya. Bahkan Aga, pria yang membuat suasana hatinya memburuk hari ini tanpa tahu malu sudah mendaratkan bokongnya di kursi di samping Rhea.         Suasana kafe juga sedang ramai, banyak pelayan yang sedang berlalu-lalang mengantarkan pesanan. Juga pengunjung yang silih berganti datang. Sangat tidak kondusif untuknya berbicara dengan mahasiswanya ini.         Menyadari Rhea sedang berpikir, Evan langsung memberikan tatapan memelasnya. Hal itu ternyata efektif, karena akhirnya Rhea melunakkan ekspresinya. Rhea menoleh ke arah Salwa, memberi isyarat supaya temannya itu mau meminjamkan kursinya sebentar kepada Evan.         “Saya berdiri saja, Profesor,” kata Evan menyadari arti tatapan Rhea kepada Salwa.         Rhea kembali menatap Evan, lalu ia mengangguk pelan dan berkata, “Apakah kamu menemukan kesulitan di dalam kelas?” tanya Rhea tanpa ekspresi.         Evan berdehem canggung, kemudian menggeleng. “Saya sudah menyelesaikan assignment saya, Profesor. Saya mohon, ….”         “Batas waktu pengumpulan assignment adalah kemarin siang, Evan,” potong Rhea tanpa benar-benar menoleh pada salah satu mahasiswanya tersebut dan lanjut berkata, “Kamu akan melihat saya lagi semester depan.”         “Tapi ….”         “You are more than much hours late, Evan. Tidak ada alasan bagiku untuk menerima keterlambatanmu. End of discussion,” jawab Rhea, kemudian ia benar-benar meluruskan badannya menghadap kembali ke arah Salwa. Sementara di sisi kirinya Evan masih berdiri dengan wajah memelas.         “Saya mohon, Profesor.”         “End of discussion, Evan.”         “Saya punya alasan sendiri, Profesor.” Sepertinya Evan adalah tipe laki-laki yang tidak mudah menyerah. Dan sepertinya Rhea juga harus mengajarkan sesuatu kepada mahasiswanya ini.         “Apa kamu berniat membuang waktu saya?” tanya Rhea dengan intonasi tenang, tapi berhasil mengirimkan sinyal berbahaya untuk Evan. Membuat Evan menggelengkan kepalanya dengan cepat.         “Tidak, Profesor. Saya tidak akan berani. Hanya saja, saya berpikir, apakah setidaknya anda mau mendengarkan alasan saya terlebih dahulu kemudian baru memutuskan untuk tidak atau menerima assignment saya.”         “Kamu mengajari saya?”         Evan menelan salivanya.         “Dengar, Evan. Kalau kamu tidak mau mengulang semestermu, lebih baik kamu pergi selagi saya masih berbaik hati.”         Evan menghela napasnya sejenak, lalu ia kembali menatap Rhea dan menundukkan kepalanya hormat. “Baiklah. Terima kasih, Profesor. Maaf menganggu waktu, Anda.”         Lalu dengan berat hati, pemuda dengan kemeja flannel kotak-kotak tersebut beranjak dari sisi Rhea. Meninggalkan Rhea yang tanpa sadar memijit pangkal hidungnya. Tidak mau terlalu terbebani dengan masalah mahasiswanya tadi, Rhea mengambil botol air mineral yang ada di hadapannya, kemudian meminumnya beberapa teguk. Dan saat itulah ia baru tersadar ada tiga pasang mata yang menatap ke arahnya dengan sorot yang tidak bisa ia jelaskan satu per satu.         *         Kepala Aga masih tidak bisa menerima kalau ternyata makhluk di hadapannya ini adalah seorang perempuan dewasa. Bukan siswa sekolah menengah atas sebagaimana yang ia pikirkan sebelumnya. Sepertinya tinggi orang-orang di negaranya ini memang sangat memprihatinkan, apalagi untuk seorang perempuan.         Sembari menunggu Rhea berbicara dengan pemuda itu, Aga tidak punya pilihan lain kecuali ikut duduk di salah satu kursi kosong yang ada di sana. Ia baru saja menyandarkan punggung, ketika seseorang yang bernama Evan tersebut menyapa Rhea dengan sebutan professor.         Profesor?         Wanita kerdil ini?         Aga terkejut dalam hati, tapi ia tetap tenang dan tidak menunjukkan perubahan ekspresinya. Di depannya Gio menatap Salwa dengan pandangan bertanya, rupanya bukan ia saja yang tidak yakin akan apa yang baru saja mereka dengar.         “Batas waktu pengumpulan assignment adalah kemarin siang, Evan.” Aga bisa mendengar ketegasan dalam suara Rhea meskipun diucapkan dengan nada datar.         “Kamu akan melihat saya lagi semester depan.” Perempuan itu kembali melanjutkan bicaranya. Kali ini Aga tidak kuasa menahan dirinya untuk tidak menatap ke sisi kirinya.         Dari posisi sedekat ini, ia bisa melihat Rhea dengan sangat jelas. Penampilan perempuan itu benar-benar jauh dari kesan seorang profesor. Lihat saja outfit yang sedang ia kenakan. Sebuah sweater overzise dan tentu saja benda tersebut sangat sukes menenggelamkan seluruh tubuhnya.         Rhea juga mengikat rambutnya asal-asalan, tidak mengindahkan beberapa helaian yang masih tertinggal. Penampilannya sangat jauh dari kesan kaku sebagaimana yang sering ditampilkan oleh seorang profesor selama ini.         “Kamu mengajari saya?” Terdengar lagi suara Rhea bertanya dengan intonasi datar.         Aga menarik ujung bibirnya sedikit. Kalau mengabaikan penampilannya, sepertinya Rhea benar-benar cocok menjadi seorang profesor. Nada suaranya cendrung tegas dan mengintimidasi. Aga bisa melihat kalau pemuda di depannya langsung menggeleng takut.         “Dengar, Evan. Kalau kamu tidak mau mengulang semestermu, lebih baik kamu pergi selagi saya masih berbaik hati,” usir Rhea terang-terangan.         Evan menghela napasnya, terlihat kecewa tapi ia tetap menundukkan kepalanya hormat sebelum berpamitan.         “Baiklah. Terima kasih, Profesor. Maaf menganggu waktu, Anda,” ucapnya sebelum pergi.         Kini hening menguasai tempat mereka, dari sudut matanya Aga bisa melihat Gio dan juga Salwa mengunci Rhea dalam tatapan mereka. Sedangkan perempuan itu tidak sadar dan hanya fokus menenguk minumannya sampai akhirnya ia berhenti dan bertanya, “Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?”         “Gue antara percaya sama nggak percaya,” jawab Salwa.         “Apa?”         “Lo kayak lagi ngafalin teks naskah buat akting.”         “Hah?”         “Maksud gue, lo nggak lagi di kampus, Re. Dengan penampilan lo yang kayak gini, lo masih bisa mengitimidasi anak orang ternyata.”         “Penampilan gue? Kenapa?” Rhea melihat ke dirinya sendiri lalu mengumpat pelan, “Oh, no.” Kemudian ia mengedarkan matanya ke sekeliling dan berhenti untuk menatap Aga.         “Profesor?” tanya Gio yang mengalihkan tatapan Rhea kepadanya. “Kamu dosen?” tanya Gio terkejut, tapi matanya menunjukkan ketidakpercayaan.         “Ada masalah?”         Gio tersenyum. “Enggak,” jawabnya.         “Ada,” sahut Aga.         Rhea kembali menatapnya.         “Kamu ada masalah sama saya, jadi mari selesaikan urusan kita,” ucap Aga sambil berdiri.         Rhea melihatnya dengan dahi berlipat.         “Ikut saya.”         “Hah?”         Aga tidak membiarkan wanita itu bertanya lebih lanjutnya karena ia langsung menarik tangan Rhea untuk berdiri, kemudian membawanya pergi dari kafe. Meninggalkan Gio yang menyeringai usil dan Salwa yang melongo bingung tapi menatap cemas ke arah sahabatnya.         *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD