Sagara Admaja, menjadi salah satu nama yang berpengaruh di Asia. Nama Sagara masuk ke dalam daftar 35 under 35 Asia yang baru saja dirilis majalah Forbes. Dengan begitu ini menjadi penghargaan ketiga yang diterima Sagara, setelah sebelumnya ia berturut-turut mendapat penghargaan dari majalah bergengsi tersebut di kategori 30 under 30 Asia.
Selain karena prestasinya yang gemilang, mempunyai wajah maskulin adalah daya tarik seorang Sagara Admaja. Semua tatapan selalu dilempar ke arahnya setiap kali ia melangkah di mana saja, baik oleh sesama jenis apalagi sesama jenis.
Dengan wajah personalitas yang hampir mendekati sempurna, ia jelas tidak pernah mengalami kesulitan dalam mencari pasangan. Selalu ada wanita-wanita yang mengantri di belakangnya untuk menjadi kekasihnya. Meskipun begitu, Aga, panggilan akrabnya tidak terlalu memikirkannya. Baginya selain pekerjaan tidak ada hal yang lebih penting.
Oleh sebab itulah ia sangat jarang berkencan selama ini, hanya saat-saat tertentu saja ketika ia ingin memenuhi kebutuhannya sebagai lelaki dewasa normal. Dan sebagai manusia cerdas juga sehat, ia tidak sembarangan dalam meniduri wanita yang berisiko. Selama ini ia hanya memiliki tiga orang wanita yang rutin berkencan dengannya. Mereka tidak terlalu menuntut dan yang terpenting mereka cantik dan berpengalaman serta yang lebih penting lagi adalah mereka tidak menyukai hubungan yang melibatkan emosi. Semua itu sempurna karena Aga tidak suka terikat dengan satu wanita.
Aga menurunkan kecepatan mobilnya, karena di depan sana ia tahu ada persimpangan. Selain untuk keselamatan, ia adalah salah satu penganut istilah ‘mobil adalah isteri kedua seorang lelaki.’ Mobilnya semakin melambat saat pas di persimpangan sampai sesuatu membuatnya mengumpat dengan keras. Sesuatu, lebih tepatnya mobil lain baru saja menabrak Porsche 718 Cayman miliknya.
Aga merasakan kemarahan dalam hatinya, tapi ia tetap tenang dan tidak menujukkan perubahan emosi. Namun sepertinya percuma saja, karena sejak lahir ia sudah dikaruniai wajah sedingin es. Menurut teman-temannya, meskipun Aga berusaha untuk tersenyum sorot matanya terlihat sangat menyeramkan. Dan masih menurut teman-temannya juga, ia untung dikaruniai otak cerdas dan wajah tampan, karena kalau tidak manusia akan enggan berurusan dengannya.
Aga membuka pintu mobilnya, langkah panjangnya membawa Aga ke samping mobil kecil berwarna merah tersebut. Dilihat dari jenis mobilnya kemungkinan besar pengemudinya adalah wanita dan anak kuliahan. Aga merutuk dalam hatinya, kesialan apa yang menimpanya siang-siang seperti ini hingga ia harus berurusan dengan bocah ingusan yang mungkin saja baru menyelesaikan les mengemudi.
Aga mengetuk pintu mobil tersebut, awalnya dengan ketukan pelan. Tapi sepertinya pengemudinya tidak ada niat untuk membuka pintu mobilnya dengan segera, oleh karenanya Aga mengetuk lagi dengan sedikit lebih kencang.
Beberapa menit ia mengetuk sampai seseorang keluar dari mobil kecil tersebut.
s**t.
Aga mengumpat lagi. Dugaan Aga salah tentang pengendaranya adalah anak kuliahan yang baru saja membebaskan diri dari pelajaran mengemudi. Yang satu ini justru terlihat belum memiliki surat izin mengemudi resmi.
Dilihat dari eksprsinya lagi, perempuan kecil di depannya ini seperti anak orang kaya pada umumnya. Sangat angkuh dan tidak memiliki rasa bersalah. Membuat Aga ingin mencekiknya saja, tapi pikiran kotornya seperti terhalang karena wajah cantik manusia kerdil ini memenuhi matanya.
“Kamu tidak bisa menyetir?” sembur Aga.
Gadis itu menatapnya, mulutnya bergerak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Aga kembali bersuara.
“Kalau orang tuamu banyak uang, suruh mereka memberimu hadiah ulang tahun yang lebih bermanfaat. Manusia kerdil sepertimu belum pantas diberi mobil. SIM saja belum punya.”
Raut wajah gadis itu berubah, seolah mengatakan kalau Aga adalah orang gila. Namun Aga tidak peduli, lebih baik ia segera angkat kaki dari sini. Biar saja urusan ganti rugi nanti ia urus dengan orang tua gadis ini. Percuma saja ia membicarakan hal itu dengan anak di bawah umur yang belum mengerti apa-apa. Sudah pasti akan sangat membuang energinya.
“Lebih baik kamu pulang dan katakan kepada orang tuamu, kalau kuasa hukumku ingin membicarakan tentang ganti rugi,” kata Aga sambil mengambil foto wajah kebingungan penabraknya.
Setelah itu ia berjalan kembali ke mobilnya dan tidak lupa juga mengabadikan nomor plat mobil laknat tersebut di ponsel pintarnya.
*
Rhea menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Wajahnya terdiam kaku. Suasana hatinya sedang buruk dan semakin buruk ketika mendengar suara tawa Salwa yang tidak kunjung berhenti sejak tadi. Bahkan wanita itu sudah menyemburkan tawanya pada satu detik pertama setelah Rhea masuk ke dalam mobil dan bercerita.
Melihat Salwa yang kembali melayangkan tatapan meneliti ke arahnya membuat Rhea mendengus malas. Ia mengambil minumannya dan menghabiskannya dalam satu kali teguk. Hal itu justru semakin membuat tawa Salwa semakin membahana di tengah suasana kafe yang ramai ini.
“Beneran kayak anak kecil, sih,” komentar Salwa. “Nanti kalau dia beneran datang, gue aja yang nyamar jadi orang tua lo,” ujarnya lagi sambil berusaha keras agar tidak tertawa lagi.
“Sadar diri,” kata Rhea ketus. “Tinggi lo nggak lebih jauh dari gue.”
Lalu Salwa kembali tergelak, “Justru itu,” katanya. “Dia nggak akan curiga, karena pasti dia akan berpikir kekerdilan lo ini berasal dari gue, mama lo.”
Untuk kesekian kalinya di hari ini Rhea mendengus sebal. Melihat Salwa mengembangkan senyum lima jari, serta alis yang bergerak naik turun, membuat ia ingin memutilasi Salwa menjadi potongan-potongan kecil kemudian potongan tubuh Salwa akan ia lemparkan ke tempat penangkaran buaya.
“Salwa.”
Keduanya mendongak untuk melihat seseorang yang menyapa Salwa.
“Saya pikir, saya salah orang. Ternyata memang kamu,” sambungnya lagi.
“Pak Gio.” Salwa berdiri di dari tempat duduknya. “Apa kabar, Pak?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.
“Saya bahagia lahir batin.” Pria itu menjawab, lalu tatapannya beralih kepada Rhea. “Teman kamu?”
Salwa ikut melihat ke arah Rhea, “Oh iya, Pak. Kenalin Rhea, teman saya.”
Rhea ikut berdiri, kemudian Salwa juga mengatakan hal yang sama kepadanya, “Re, ini Pak Gio, atasan gue dulu waktu di BSD.”
“Rhea.”
“Rhea teman kamu dari BSD?” Gio bertanya setelah bersalaman dengan Rhea. “Jangan-jangan kalian satu kos?”
Salwa tersenyum salah tingkah, “Iya, Pak.”
“Jadi ini yang selalu kamu jadikan alasan untuk pulang cepat?” tanya Gio lagi.
Kali ini Salwa benar-benar dibuat salah tingkah.
“Sori, tapi apa kamu tahu kalau Salwa selalu menjual nama kamu supaya dia mempunyai alasan untuk tidak mengikuti acara kantor?” Gio bertanya kepada Rhea.
Rhea menggeleng.
“Sudah saya duga,” jawab Gio. “Setiap kantor membuat acara makan-makan atas perayaan sesuatu, Salwa selalu mengatakan ada janji dengan kamu, entah itu acara ngumpul mingguan anak kos. Atau menemani kamu ke rumah saudara, atau hanya karena mau menemani kamu makan.”
“Bongkar aja, Pak,” sahut Salwa. “Ikhlas saya aibnya dibongkar sama bapak.”
Gio tertawa, sementara Rhea hanya tersenyum tipis. Pasalnya suasana hatinya tidak kunjung membaik, padahal ia sudang menghabiskan satu gelas cokelat panas.
“Sendirian saja, Pak?” tanya Salwa. “Pasangannya mana?”
“Kalau saya punya pasangan, kamu sama siapa?”
“Saya sudah punya pasangan sendiri, Pak.”
“Kakek-kakek Korea kamu itu?”
“Oppa, Pak. Oppa,” ucap Salwa mengoreksi.
Gio kembali tertawa, “Iya, Oppa,” ujarnya sambil menahan bibir lama ketika mengucapkan huruf P. “Ngomong-ngomong, saya duduk sama kalian, ya. Tempat yang lain penuh, lagi pula saya malas menunggu sendiri.”
Salwa melihat ke arah Rhea yang sudah kembali duduk beberapa detik yang lalu. “Silahkan,” jawab Rhea.
Gio duduk di sebelah Salwa, kebetulan meja yang sedang mereka tempati memang diperuntukkan kepada empat orang. Terbukti dari empat kursi yang disediakan dan juga meja kafe yang sedikit lebih besar.
“Jadi Bapak lagi nungguin pasangan nih, ceritanya?”
“Kamu cemburu?”
“Of course not.”
“Iya juga tidak apa-apa.”
Salwa tidak segan-segan mendengus. “Saya kasihan, nanti pasangan Bapak bisa salah paham. Secara saya cantik, teman saya juga cantik.”
Gio memperhatikan Rhea lebih lama, “Benar juga,” katanya. “Teman kamu cantik, bisa-bisa pasangan saya nanti jatuh cinta.”
Kalau tidak ingat sopan santun, Rhea sudah mengeluarkan dengusannya. Namun ia hanya tersenyum sopan menanggapi.
“Hm.” Salwa berdehem. “Saya nggak bermaksud mengusir, tapi apa nggak sebaiknya Bapak cari tempat sendiri?” tanya Salwa. “Nggak enak saya, Pak. Nanti pacar Bapak bisa salah paham.”
Gio tergelak, kemudian ia mengedipkan matanya. “Terlambat, dia sudah melihat kita.”
“Hah?”
“Aga,” panggil Gio.
Rhea sebenarnya enggan menoleh, tapi kali ini ia memutar kepalanya untuk melihat orang yang sedang dipanggil oleh mantan atasan sahabatnya ini. Dan ia menangkap keterkejutan dari tatapan orang itu setelah melihatnya.
Kepala Rhea lebih dahulu menerjemahkan keadaan, ia berbalik memandang Gio. Yang sudah siap untuk menghancurkan sisa harinya.
“Ga, kenalin ini Salwa, dulu mantan bawahan gue. Dan itu temannya, Rhea.”
Tentu saja, memangnya bagaimana lagi cerita ini akan jadi menarik?
*