8. Hukuman

1216 Words
“Sialan! Dari dulu kerjanya Pak Muslim begitu,” umpat Jaka setelah sampai di toilet putra.                “Kaya nggak kenal aja,” timpal Huzam. Ia sudah hapal. Pasti siswa yang bermasalah akan dihukum membersihkan toilet istimewa. Sekaligus menjadi informan dadakan.                “Kayak gini kita yang kena, Zam,” keluh Jaka. Tujuan mereka ke sana bukan hanya untuk bersih-bersih. Melainkan mendata siswa-siswa yang terkadang secara diam-diam melakukan aksi tidak wajar.                “Nggak usah dipikirin. Catet, aja.”                “Minta bukti foto juga, Zam.”                Huzam menghentikan aktivitasnya. “Kamu bodoh apa b**o?”                Jaka pun terperangah. “Maksud lo, Zam?”                Huzam menghela napas. “Bilang aja batre low. Kalau perlu buang tuh hp!”                Jaka pun mengangguk. Ya, ia tentu bisa membuat alasan. Setidaknya ia tidak perlu memviralkan wajah teman-temannya.                “Dah buruan bersihin.”                “Aku, Zam?”                Huzam melotot tajam. “Berdua. Biar cepat kelar.”                Jaka mendengkus kesal. Ia tutup hidungnya dengan dasi. Sungguh nasib yang malang sekali.                “Eh, getar hapeku,” ujar Jaka setelah menggosok kloset beberapa kali.                Huzam mengernyit. Ia meminta Jaka segera memeriksanya lewat tatapan mata.                “Roni, Zam.”                Huzam pun mendekat. “Angkat.”                “Ngapain kalian?” tanya Roni dari layar lima inci itu.                “Heh, lo pulang?”                Roni terkekeh. Ia memperlihatkan ruang kamarnya yang cukup nyaman. “Berkat Huzam.”                “Sialan lo,” gerutu Huzam.                “Lagian punya adek nggak pro amat. Narik kaki barang. Gila lucu banget tadi lo, Zam.”                “Apaan? Ngledek lo?” Huzam menangkat sikat khusus yang diperuntukan untuk menggosok kloset.                “Nggak ke mukaku, Zam!”                “Hahahaha. Nyampe kapan di situ? Nggak kabur?”                “Kabur gimana. Ziya kaya macan, Muslim ikut-ikutan.”                “b**o si lo. Mau aja dikibulin mereka.”                “Enak aja. Salah sendiri kalian ketangkep basah!” protes Jaka. Tak terima temannya berkata seperti itu.                Huzam menoleh sekilas. Ia juga menyesal saat lebih menyarankan pulang ke rumah Roni. Harusnya mereka tetap berada di warung tongkrongan. Huzam pun malas menanggapi temannya lagi.                “Mau ke mana?”                “Ngosek WC.”                Dari layar itu Roni terbahak. Ia sangat senang menyaksikan dua temannya mendapat hukuman sedangkan dirinya lolos begitu saja. Ia hanya berpura mendoakan yang terbaik untuk dua temannya itu. Sementara Huzam beralih ke toilet yang lain. Seperti dugaan Pak Muslim beberapa puntung gulungan tembakau ada di sana. Sudah pasti menjadi tempat siswa-siswa istimewa sepertinya melakukan aksi.                Huzam menutup pintu toilet tersebut. Rupanya ia tak jauh berbeda. Ia rogoh saku celana pendek di dalam celana panjangnya. Mengambil satu batang gilingan tembakau itu.                “Aman,” lirihnya. Setelahnya ia meraba beberapa permukaan tembok bagian atas. Mencari harta karun yang disimpan teman-temannya. Sebuah korek api untuk menyalakan gilingan tembakau tadi.                Asap mulai mengepul ke atap. Menyelisik melalui ventilasi. Posisi seperti ini yang sangat Huzam nikmati. Seakan dunianya menjadi lebih ringan. Ia tak bisa melakukan banyak hal. Terlebih saat melihat tatapan wajah Bintang yang jelas sekali membencinya. Hidup kadang memang sekejam itu. Mereka yang tak punya apa-apa justru yang paling tinggi hati. Huzam merasa bahwa Tuhan tak adil karena membuatnya tinggal di lingkungan yang tidak menguntungkan. Berbeda dengan Roni yang terlahir sebagai anak orang berada.                ***                Ziya meminta Niken melakukan beberapa tugas. Mulai dari merapikan meja kerjanya, buku-buku dan juga menyapu lantai ruang guru. Sesuatu yang sudah pasti akan menimbulkan banyak tanggapan.                “Mbak Zi, Mbak Zi, mbok uis to, di loske wae cah ayune. Ngapain repot-repot dipertahankan,” ujar Bu Raimuna salah satu guru BK. Tadi saat pertemuan dengan Pak Muslim Bu Raimuna sedang ada jam di kelas lain.                “Sudah kelas tiga, Bu. Sayang,” timpal Ziya.                “Kalau disayang sayang terus nanti nglunjak, Mbak. Tuh buktinya. Tinggal tambahkan poin lak sudah bubar itu.”                Ziya mengulas senyum. Ya, Bu Raimuna memang kerap begitu. Tidak pernah mau melihat dari sisi terburuk siswa. Sering merasa keputusan-keputusan yang diambilnya sudah paling tepat.                “Kebetulan saya sama Pak Muslim sudah sepakat untuk tetap mempertahankan mereka, Bu. Jadi, ya, kita lihat saja dulu.”                Bu Raimuna menggeleng. Merasa bahwa Ziya terlalu lunak dengan anak didiknya.                “Ya terserah Mbak Ziya, saja, lah, ya. Yang pasti kita-kita sudah angkat tangan.” Ia memandang ke beberapa rekan yang lain yang dibalas dengan anggukan.                Ziya mengukir senyum kecil. Ia percaya anak didiknya masih bisa dipercaya.                “Permisi, Bu,” ujar Niken. Tiba waktunya ia sampai di lantai yang sedang menjadi pijakan Bu Raimuna berdiri.                Bu Raimuna pun membuang muka. Sudah dari kelas satu ia tidak senang dengan tingkah Niken dan kawan-kawan. Untuk itu ia memilih meninggalkan Niken juga Ziya dan beberapa guru yang lain. Ziya menghela napas. Sungguh siswa siswinya memang istimewa.                “Setelah selesai persiapan buat solat duhur. Kalian wajib jamaah di musola depan,” ujar Ziya pada Niken.                “Baik, Bu.”                “Teman yang lain diajak.”                “Yang lain?”                “Jaka sama Huzam.”                “Oh, iya, Bu.” Niken pun melanjutkan menyapu lantai ruang guru. Ia melakukan hukuman yang didapat sekaligus banyak nasihat dari guru-guru yang lain. Seperti biasa, baginya hanyalah masuk ke telinga kiri dan keluar lewat telinga kanan.                Ziya menutup buku gelatik kembar berukuran besar. Setelah memastikan nama keempat siswanya ada di sana dan membuat kolom untuk tanda tangan, ia melepas kacamatanya. Rasanya semua begitu sulit. Ditambah hal-hal yang disebabkan oleh siswanya. Sungguh kalau bukan karena abahnya, ia sudah melarikan diri. Enggan menjadi pengajar dan lebih memilih fokus mengurus home stay atau menuntut ilmu di pesantren.                [Njih, siap, Mbak Ziya. Kami bisa menerima mereka.]                Balasan dari seseorang yang Ziya coba hubungi membuat hati Ziya sedikit lega. Setidaknya ia bisa memercayakan tiga siswanya di sana. Sekaligus memantau langsung dari orang terdekatnya.                “Alhamdulillah,” lirih Ziya.                ***                “Buruan! Udah ditunggu Bu Ziya!” seru Niken. Ia sengaja mendatangi Jaka dan Huzam ke toilet putra.                “Mau ngapain lagi? Belum cukup ngosek WC?” protes Jaka. “SSstttt nggak usah banyak protes. Siap-siap solat duhur.” “Solat? Nggak salah?” Tak lama terdengar lantunan azan dari speaker sekolah. Panggilan bagi seluruh warga sekolah untuk melakukan jamaah di masjid. Salah satu kegiatan keagamaan yang ada di SMK Hijau. Huzam dan Jaka pun menganggap remeh kegiatan itu. Tentu bersembunyi di bengkel, toilet atau ruang kelas jauh lebih seru. “Nggak ke sana!” ujar Niken saat Jaka dan Huzam melangkah ke arah yang salah. “Loh sejak kapan jadi mushola depan?” “Kata Bu Ziya kita khusus yang di depan. Nggak ikut bareng siswa lain.” Huzam mendesah. Selain memiliki nyali, Ziya rupanya merepotkan. Detail-detail kecil yang berusaha ditunjukkan cukup menyulitkannya untuk melanggar. Jika dipisahkan, artinya mereka akan benar-benar diawasi. Tidak seperti perlakuan-perlakuan sebelumnya. “Hihhh rempong banget,” protes Jaka lagi. Ia terpaksa membelokkan arah. Begitu juga dengan Huzam. Mereka berjalan menuju mushola depan sesuai permintaan wali kelasnya. “Sebentar,” ujar Jaka. Ia menghentikan langkahnya. “Apa?” “Kata Bu Ziya cuma kita bertiga?” Niken mengangguk. Memang begitu pesannya. “Siapa yang jadi imam?” tanyanya sambil melihat Huzam. Huzam pun menatap Jaka dengan tatapan aneh. Jelas tidak mungkin dirinya yang akan melakukannya. “Lo ya, Ken?” “Gila. Gue cewek, Jak. Bukan laki.” Jaka melihat ke arah Huzam lagi. Berencana meminta temannya melakukan tugas itu seandainya diwajibkan. Huzam menggeleng. Ia mengedikan dagu. Meminta Jaka kembali melangkah agar mereka cepat sampai ke mushola. Dengan begitu mereka bisa cepat pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD