1. Tolong Hentikan!
“Tolong! Tolong hentikan pertengkaran ini!” ungkap Bintang.
Semua barang-barang di rumahnya sudah melayang.
“Cukup, Zam! Cukup!” seru Bintang lagi. Ia tak tahan saat kegaduhan itu diperparah dengan tangisan adik mereka yang masih kecil.
“Dasar anak kurang ajar! Tidak tau diuntung. Mati saja kau!” umpat pria bertubuh tambun itu.
“Kau yang seharusnya diam. Kau hanya menumpang,” balas Huzam tak kalah sengit.
“Ada apa ini ribut-ribut!” sentak Ningtyas yang baru pulang dan syok dengan keadaan rumahnya. Ia langsung menghampiri suaminya yang tersungkur di lantai. “Kamu nggak apa-apa, Mas?”
Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Ningtyas. Ia yang berusaha membantu justru terkena pukul.
“Kau!” desis Huzam bersiap melayangkan pukulan lagi.
“Cukup, Zam!” Ningtyas melindungi suaminya.
Pada tahap ini Huzam hanya bisa menatap tak percaya pada sang ibu. Ia kecewa karena setiap pertengkaran terjadi antara ia dan ayah tirinya sikap Ningtyas tak pernah netral.
"Malu-maluin punya anak kayak begitu. Kamu nggak pernah mendidiknya dengan benar, hah?!” Suko yang sudah duduk dibantu Ningtyas berkacak pinggang. Matanya nyaris keluar. “Kelakuan anak kamu itu sudah seperti anak nggak punya otak!"
Ningtyas terdiam. Ia tidak bisa membantah saat Suko menghujaninya dengan serapah. Saat masalah kecil saja dia bisa gila, apalagi masalah yang tergolong besar. Baginya semua hal yang berkaitan dengan Huzam adalah masalah.
"Ma--af," ucap Ningtyas parau. Hanya kata maaf yang bisa meluncur dari mulutnya. Meski sama saja ia menikam dirinya sendiri dengan belati.
“Ibu!” teriak Huzam. Ia benar-benar geram.
Ningtyas menggeleng kecil. Ia berdiri dari posisi duduknya dan mendekat ke arah Huzam.
PLAK!
“Ibu!” teriak Bintang. Ia tak terima karena Ningtyas justru memukul Huzam. Apa yang terjadi tidak seperti yang dipikirkan Ningtyas.
Huzam terdiam. Ia memegang pipi kirinya sambil menatap benci ke arah ibunya.
“Pergi kamu! Nggak usah pulang kalau cuma bikin masalah.”
“Ibu—,”desis Huzam.
Ningtyas berbalik. Ia mendekat kembali pada Suko sambil membantu pria itu berjalan.
“Ayo, Mas.”
Suko mengangguk. Ia menang banyak meski memulai pertengkaran dengan Huzam. Ia selalu di atas angin karena Ningtyas.
“Buatkan mie godok. Aku lapar,” perintah Suko setelah duduk di ruang tengah.
Ningtyas mengangguk. Ia langsung berjalan ke dapur untuk memenuhi permintaan suaminya.
Ningtyas namanya. Perempuan yang memiliki tiga anak. Dua dari pernikahan sebelumnya sedangkan yang satu hasil dari pernikahan dengan laki-laki yang tadi menamparnya. Ningtyas pekerja lepas di salah satu homestay di tempat wisata di Jawa Tengah. Tempat di mana salah satu situs warisan dunia ada di sana. Sehari-hari Ningtyas banting tulang agar perut anggota keluarganya tetap kenyang. Bekerja dari satu homestay ke homestay lain saat tenaganya dibutuhkan. Pekerjaan tetapnya adalah menjajakan camilan di Taman Wisata Candi Borobudur.
Ada yang bilang terlahir sebagai orang susah akan membuat orang tersebut tahu diri. Menjadi baik agar nasibnya berbalik. Sayang, di keluarga Ningtyas tidak begitu jalurnya. Ia justru dikaruniai seorang putra yang bengalnya luar biasa dan selalu bertengkar dengan suaminya.
"Ibu diam saja?" tanya Bintang menyusul Ningtya ke dapur. Ningtyas mengangkat alis. Menatap putrinya sedih.
"Mau bagaimana? Mau rumah ini hancur?”
“Ibu!” sentak Bintang.
“Jangan berisik, woy!” seru Suko. Ia tahu Bintang dan Ningtyas tengah di dapur.
Ningtyas meletakkan jari telunjuknya di mulut. “Ndak usah ikut-ikutan, Bintang.”
“Kali ini bukan salah Huzam.”
“Huzam selalu membuat masalah saat pulang.”
“Ibu,” desis Bintang.
“Kalau kamu mau pergi silakan. Ibu sedang tidak ingin meladeni pertengkaran.”
Bintang menggeleng. Ia tak mengira ibunya akan seperti itu. Tidak seharusnya Ningtyas langsung percaya dengan Suko. Jelas sebuah kesalahan besar.
Bintang bergeming. Ia terus menatap tajam ibunya.
"Apa lagi?" tanya Ningtyas tak tahan.
Bintang tampak kesal. Matanya membulat tapi tak bisa berbuat banyak. Ia menghentakkan kaki lalu pergi dari dapur. Langkahnya terhenti sejenak saat melihat Suko duduk santai di kursi kayu. Tanpa ada rasa bersalah dan penyesalan sama sekali.
Huzam tidak langsung pergi. Ia memilih duduk di balai di dekat rumah sederhananya. Hari ini ia pulang karena sudah diusir oleh temannya. Ia perlu tempat sebelum nanti memikirkan akan menginap di tempat lain.
Bintang berjalan mendekat. Ia berikan satu botol air mineral pada Huzam. “Jangan bilang ke ibu.”
Huzam menoleh. Ia menatap risih pada Bintang. “Kamu takut ketahuan?”
“Itu memang uang ibu. Aku yang mengambilnya.” Bintang menejaskan apa yang terjadi.
“Tapi dia pantas dipukul.” Huzam jelas kelas dengan sikap sembarangan Suko.
“Aku terlalu takut melawan.”
“Bodoh!”
Bintang mendecih. Ia dan Huzam sama bodohnya. Hanya ia lebih pandai dalam hal akademik di sekolah. Bintang pun ikut duduk di balai sambil menikmati sore.
“Jangan pergi lagi. Lebih aman kalau kamu di rumah.”
“Aku bisa membunuhnya.”
Bintang menggeleng. “Membunuh tidak baik.”
“Dia layak dibunuh.”
“Huzam!” geram Bintang.
Huzam membuka tutup botol itu dan menenggak langsung air mineral yang diberikan Bintang.
“Kamu dipanggil BK lagi?” tanya Bintang hati-hati. Meski kesal dengan semua masalah yang disebabkan Huzam, ia masih sedikit memiliki rasa peduli.
Huzam mengangkat bahu. Baginya tidak penting. Ia menatap rumah sederhananya yang berubah setelah ibunya menikah lagi. Hari ini ia menyadari jika Bintang memang salah karena mengambil uang simpanan milik ibu mereka dan pantas jika Suko memarahinya. Namun, Huzam tak terima karena Suko terlalu berlebihan. Sejak pertama Suko terlalu genit pada Bintang. Adiknya itu sudah semakin besar.
“Jangan buat masalah di akhir waktu. Sebentar lagi kelulusan.”
Huzam menatap Bintang intens. Sejak kapan gadis itu peduli?
“Aku ingin pergi dari sini,” lirih Bintang.
“Kita perlu menendang orang itu dulu.”
Bintang menggeleng. “Mana bisa.”
Huzam pun tak menanggapi lagi ucapan Bintang. Ia memilih berdiri dibandingkan duduk bersama adik perempuannya.
“Mau kemana?” tanya Bintang setelah Huzam selesai menghabiskan minumannya.
“Pergi.”
“Jangan pergi,” ucap Bintang tertahan. Ia lebih senang jika kakaknya di rumah.
Huzam tak mengindahkan permintaan Bintang. Setidaknya sore ini ia tidak di rumah dan akan kembali di waktu petang. Ia harus menunggu ayah tirinya berangkat bekerja.
“Ibu mau kemana?” tanya Bintang setelah kembali ke rumah.
“Kerja lagi.”
"Terus Bintang jagain adik lagi? Gendong lagi sampai pegel?"
Ningtyas menoleh ke arah ranjang. Ada bayi berusia satu setengah tahun di sana. Biasanya jika Bintang sekolah ia akan membawa anaknya itu. Atau saat suaminya sedang tidak marah, ia akan menitipkannya.
"Sebentar saja. Ibu cuma mau ambil cucian di tempat orang. Habis itu Ibu balik lagi." Ningtyas berharap putrinya mau membantu lagi. Bintang menggertakkan kaki. Ia tidak suka saat di rumah sendirian.
“Cuma sebentar.” Ningtyas meyakinkan Bintang seraya pergi dari rumah. Ia tampak tergesa.
Sepeninggal Ningtyas, Bintang semakin gelisah. Ia tak bisa berada di rumah itu saat ada ayah tirinya. Bintang pun memilih masuk ke kamarnya dan berniat mengunci diri agar aman. Ia harus menghindar sebisa yang ia bisa. Namun, tiba-tiba ....
BRAK!!!