“Mana Roni? Benar kabur?” tanya Zia tiba-tiba. Ia sudah mendapat laporan dari satpam.
Jaka, Huzam dan Niken hanya diam.
“Iya, Bu,” sahut Bintang. Sekilas ia melihat bagaimana Roni melompat pagar.
Ziya pun tak bisa menahan geram. Ia berjalan mendekat ke sisi Huzam berada. “Mana temanmu?”
Huzam menunduk. Tidak mungkin ia membeberkan rencana pelarian Roni. Meski ia gagal, ia tak akan semudah itu mengakuinya.
“Tidak tau, Bu.”
“Bohong. Kalian tadi berdua? Di mana Roni?” tanya Ziya penuh dengan kekesalan. Baru saja ia berdiskusi dengan kedua orangtua Roni dan juga pimpinan.
“Beneran, Bu. Saya tidak tau.”
“Mas,” desis Bintang. Tidak mungkin kakaknya tidak tahu.
“Kau melihat mereka, Bintang? Apa yang mereka lakukan?”
Bintang mengangguk kecil. “Lompat pagar, Bu.”
Jaka dan Niken menyipitkan mata. Sejak lama adik sahabatnya itu memang tidak bisa diajak kerjasama. Mereka harus bersiap dengan hukuman yang lebih memberatkan.
“Kenapa kamu tidak lompat? Kalah cepat?” tanya Zia. Ia kembali memerhatikan Huzam.
“Saya tarik, Bu.”
Ziya menoleh lagi. Bintang memang selalu bisa diandalkan. “Terima kasih, Bintang.”
Bintang mengangguk. Ia benci setengah mati dengan tingkah kakaknya dan teman-teman kakaknya itu.
“Kamu boleh kembali ke kelas, Bintang. Sama minta tolong panggilkan Pak Muslim.”
“Baik, Bu.”
Bintang bergegas keluar. Setelah ini ia masih harus mengikuti sesi praktik di lab komputer. Ia tidak bisa melewatkan begitu saja. Saat dipanggil Bu Ziya, ia sudah selesai dengan sesi praktik materi sebelumnya. Ia selalu selesai lebih dulu dibandingkan teman satu kelasnya.
Pak Muslim adalah satu guru pria yang diperuntukan khusus menangani siswa bermasalah. Selain memang ia memiliki latar belakang pendidikan psikologi, perannya sebagai koordinator tim penegak kedisiplinan cukup memberikan kontribusi untuk sekolah. Kebetulan, Pak Muslim sedang ada rapat bersama guru yang lain.
“Baik, Bintang. Terima kasih informasinya.”
Ya. Bisa saja Ziya menelepon atau mengirimkan pesan singkat. Namun, perempuan itu memang lebih senang memanggil seseorang dengan cara langsung. Dari mulut ke mulut. Muslim tersenyum tipis. Sejak kedatangan pertama Ziya, perempuan itu memang terlihat memiliki keunikan tersendiri. Ia pun menutup sesi rapat. Memastikan agenda sekolah lainnya bisa terlaksana. Untuk kemudian kembali ke ruangannya dengan label ruangan konseling.
“Assalamualaikum!” serunya begitu sampai di depan pintu ruang BK yang terbuka.
“Waalaikumsalam,” jawab Ziya dan murid-murid istimewanya.
“Sudah ketemu orangnya, Bu?” tanya Muslim sambil berjalan ke arah meja kerjanya.
“Sudah, Pak. Di rumah Roni.”
Muslim berhenti sejenak. “Bu Ziya ke sana?”
Ziya mengangguk. mungkin keputusannya memang cukup gila. “Orangtua Roni juga datang ke sini. Saya tadi cari Pak Muslim, tapi sepertinya sedang rapat.”
Muslim tersenyum tipis. “Ah, iya, Bu. Maaf.”
“Ndak apa-apa, Pak. Sekarang anak-anak ini sudah di sini. Saya mohon bantuan untuk penanganannya.”
Muslim mengangguk kecil. Ia berjalan ke meja tamu yang tengah menjadi titik kumpul pengunjungnya hari ini.
“Roni?”
Ziya menyandarkan punggungnya. “Kabur, Pak. Baru saja.”
Muslim menggeleng. “Bahkan di saat orangtuanya di sini?”
Ziya mengangguk.
“Baiklah. Apa rencana selanjutnya? Akumulasi sudah penuh bukan?”
Jaka dan Niken tersentak. Pak Muslim salah satu guru laki-laki yang juga mereka benci. Dingin tetapi sekali bicara kerap membuat banyak siswa takut.
Ziya menggeleng. “Lupakan opsi itu, Pak. Kita ganti saja.”
“Ganti? Di saat semua warga sekolah sudah tidak peduli?”
Ziya mengela napas. Ya. Tadi di saat pertemuan dengan orangtua Roni, pimpinan sudah menyampaikan kemungkinan terburuk. Dan anehnya, orangtua Roni tidak keberatan sama sekali.
***
“Kebetulan kami ada rencana pindah. Misal seandainya, tidak dikeluarkan bagaimana, Pak? Dibuat rekomendasi saja untuk pindah sekolah,” ujar Yuna.
Ziya melirik ke arah perempuan yang masih terlihat muda itu. Menjelang ujian akhir? Pindah? Mungkinkah?
“Terlalu berat, Bu. Laporan sudah banyak yang sampai ke meja saya.”
“Ayo, lah, Pak. Masa untuk kami tidak bisa. Bagaimana dengan sumbangan kami sebelumnya?”
“Ehem! Ehem!” Hardi berdeham. Ia berniat menghentikan mulut istrinya.
“Kenapa, Mas?”
Mata Hardi melirik ke arah Ziya.
“Upss, maaf, Pak, maaf. Saya lupa,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum.
“Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak bisa banyak membantu. Semua nantinya tergantung rekan-rekan guru yang lain. Saya sebagai pengambil keputusan terakhir.”
“Tolong dipertimbangkan, Pak. Tadi waktu di rumah, Bu Ziya juga sempat bilang siap mendidik anak kami dengan cara memberi kesempatan. Jadi, saya harap itu bukan sekadar umpan belaka agar kami mau datang.”
Pimpinan melihat ke arah Ziya. Seharusnya guru muda itu tidak mengambil keputusan tanpa berdiskusi dengan teman yang lain. Ia belum mengerti siapa yang dihadapi.
“Oh, begitu? Apa benar Bu Ziya?”
Ziya terdiam. Ia tidak langsung menjawabnya.
“Bi Ziya ....”
“Ya, Pak. Saya ada ide lain untuk membimbing mereka.”
Tampak bahu pimpinan turun. Seharusnya Ziya tidak perlu menjanjikan apa-apa. Jika sudah begini siapa yang akan menanggung?
***
“Ini kesempatan terakhir, Pak. Setelah ini tidak ada lagi.”
Muslim terkekeh. Rupanya Ziya tipe wali kelas yang membela mati-matian anak didiknya. Persis dengan ayahnya.
“Really, Bu?”
Ziya mengangguk. Sudah telanjur seperti itu. Ia tidak bisa mengubahnya.
“Hukuman fisik? Surat pernyataan? Poin? Apa lagi?” tanya Muslim. Segalanya sudah mereka lakukan. Ia hanya ingin murid-murid bengal itu dikeluarkan.
“Saya menyebutnya pengabdian, Pak.”
“Pengabdian?”
“Ya. Biarkan mereka melakukan hal baik untuk menghapus kesalahan mereka.”
“Bu Ziya bercanda?”
Ziya menggeleng. “Tidak, Pak. Saya serius. Saya berencana mengajukan sanksi untuk mereka berupa pengabdian di pondok pesantren.”
Sontak Niken, Jaka dan Huzam memerhatikan Ziya. Pondok pesantren?
“Untuk perizinan biar saya yang tangani. Pak Muslim bantu persuratannya saja. Persetujuan keluarga biar mereka yang memberitahu melalui surat itu.”
“Sebentar, maksud Bu Ziya ketiga maaf keempat anak ini harus dipondokkan? Menuntut ilmu di pesantren?”
“Iya, Pak. Akan sulit menangani mereka di sini. Kita titipkan pada orang yang jauh lebih berpengalamanan.”
“Siapa? Di mana tempatnya?”
“Nanti biar saya cari dulu, Pak. Sementara mereka bisa melakukan pengabdian di sekolah dulu.”
Jaka dan Nikan saling menyikut. Harus ada yang merasa keberatan dengan hukuman ini. Mereka hanya membolos praktik. Tidak melakukan kejahatan yang mengerikan seperti sebelumnya. Namun, apa katanya? Pengabdian? Itu sungguh berlebihan. Huzam mengangkat tangan. Ia bersiap membuat penyangkalan. Jaka dan Niken saling pandang. Merasa yakin Huzam paham apa yang mereka pikirkan.
“Kapan Bu, pengabdiannya? Dan berapa lama?”
Jaka dan Niken melotot ke arah Huzam. Pro dengan hukuman?
Muslim mengamati gestur tubuh Huzam. Tak biasanya siswanya itu memberi tanggapan. Sebuah respons yang bukan Huzam sekali.
“Nanti saya infokan lebih lanjut. Kalian hanya perlu mengikuti.”
“Baik, Bu.”
Jaka dan Niken terlolong.
“Kita tidak bisa mengambil sepihak hukuman ini. Saya masih harus bicara dengan waka kesiswaan dan juga pimpinan. Di sini saya hanya koordinator konseling. Masih ada Bu Sarah dan Bu Raimuna.”
“Baik, Pak. Tidak masalah. Saya mohon bantuan untuk tiga siswa saya ini. Untuk Roni ....” Ziya kehilangan kata-kata. Sulit mencari Roni lagi.
“Biar saya yang urus, Bu.”
“Terima kasih, Pak.” Ziya mengulas senyum. Muslim pun membalasnya.
“Niken silakan ikut Bu Ziya. Huzam dan Jaka tetap di sini.”
“Saya, Pak?”
Muslim mengangguk. Ia tidak mungkin menitipkan Niken pada dua rekannya. Sejak awal sudah tidak ada yang mau berurusan dengan kelas XII asuhan Bu Ziyadatul Muna.
Jaka mendengkus. Setelah ini sudah pasti lagu lama terulang lagi. Sungguh sebuah sistem yang memuakan dan menggelikan. Huzam memilih diam. Ia sudah tahu apa yang akan ia dan Jaka alami setelah Ziya beserta Niken meninggalkan ruangan.