Adakalanya suatu hal memang lebih baik tertutup rapat dibandingkan harus terbuka dan diketahui siapa saja. Segala sesuatu itu yang harus menjadi rahasia tetap akan menjadi rahasia.
***
Senin pagi Huzam berangkat sekolah bersama Niken. Gadis itu yang tahu betul kondisi Huzam, memilih menjemput Huzam lebih awal. Bahkan, dengan terang-terangan berkata akan mengantar ke mana saja.
“Aku mau jalan aja, Ken.”
“Enggak. Kamu yang bawa motorku pokoknya.”
“Jalan aja.”
“Zam, kita temen. Kamu sering bantuin aku. Apa salahnya gantian? Aku juga pengen bantu kamu,” ujar Niken. Cukup putus asa karena Huzam kukuh dengan pendiriannya.
“Kalau Mas Huzam gak mau biar aku aja yang nebeng,” seloroh Bintang. Ia sendiri sedang menunggu teman satu kelasnya. Kebetulan juga mau menjemput di senin pagi ini.
“Zam,” ucap Niken tertahan. Ia hanya ingin membantu tidak lebih dari itu.
Huzam mendesah. Sejak awal ia tahu sahabatnya itu menyimpan sedikit rasa yang berbeda untuknya. Acap kali ia melihat Niken memandangnya atau mengungkapkan hal-hal yang tidak perlu. Huzam selalu menganggap itu sebagai gurauan dan mengabaikan.
“Mana kuncinya?” tanya Huzam pada akhirnya. Ia tidak tahan dengan sikap Niken yang sudah mulai merajuk seperti itu.
“Yes,” seru Niken senang.
“Aku ditinggal, Mas?” Kali ini giliran Bintang yang berlagak membutuhkan kakaknya. Sengaja betul menggoda karena tahu Niken menaruh perasaan untuk kakaknya.
“Katanya mau dijemput temen.” Niken tak mau mengalah. Bisa dibilang ini pertama kali mereka akan berboncengan. Biasanya Niken selalu bersama Jaka sedangkan Huzam dengan Roni.
“Nyamping kali,” seloroh Bintang. Tampak Niken lupa jika sedang mengenakan rok.
“Oh, iya. Thanks Bintang Kejora!”
Bintang mengangkat tinju di udara. Ia tidak suka orang-orang menggoda nama lengkapnya. Sangat aneh baginya.
“Mas berangkat, ya.”
“Oke. Hati-hati,” jawab Bintang seraya melambaikan tangan. Ia masih harus menunggu teman satu kelasnya. Sementara sang ibu sejak subuh sudah berangkat. Akhir-akhir ini sibuk dengan banyak kegiatan. Entah apa yang sedang disiapkan. Bintang teringat akan ucapan ibunya semalam. Ia tak sengaja mencuri dengar.
***
“Buat apa ikut balap liar? Mau beli motor lagi?” tanya Ningtiyas pada Huzam. Setelah kepergian Ziya, ia tidak berkomentar sama sekali dan baru sekarang saat dua putrinya sudah terlelap.
“Ndak, Bu.”
“Jangan bohong. Nilai taruhannya besar?”
Huzam mengangguk kecil. Ia sedang berusaha mengumpulkan uang. Setidaknya untuk bisa membeli sepeda motor second dengan harga sekitar dua juta rupiah saja. Ia juga melakukan beberapa pekerjaan lain.
Ningtiyas mendesah. Semua salahnya. Seandainya ia tidak menikah dengan pria tak tahu diri itu, satu-satunya peninggalan berharga mendiang suaminya untuk sang putra akan terus ada.
“Maaf. Semua ini salah ibu.” Setetes air bening lolos dari sudut mata Ningtiyas. Ia berusaha menepisnya tapi tidak bisa.
Huzam mendongak. Rencananya tidak seperti ini. Ia hanya sedang berusaha dan balap liar kemarin adalah yang terakhir. Ia sudah berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, siapa yang mengira akan berakhir seperti itu.
“Sekarang fokus sekolah. Sebentar lagi katanya ujian. Kamu diminta buat fokus. Kasihan Bu Ziya yang sudah bela kamu pol-polan.” Ningtiyas teringat akan pesan perempuan muda itu. Tampak jelas bahwa guru putranya berharap yang terbaik untuk momen-momen terakhir Huzam di sekolah.
“Iya, Bu.”
“Besok sudah harus sekolah. Tidak malu dengan luka seperti itu?” tanya Ningtiyas. Ia cukup prihatin melihat wajah putranya.
“Ndak, Bu.”
“Sorenya kamu berangkat ke pondok.”
Huzam mengangguk. Ya, jatahnya memang minggu depan melakukan pengabdian. Sebagai bentuk penebusan atas kesalahan yang ia perbuat.
“Yang bener. Manut sama pengurus pondoknya. Kalau perlu sekalian belajar agama. Solat apa ngaji.”
Ningtiyas berusaha untuk tidak bersedih. Ia hanya menyampaikan pesan terbaik untuk putranya. Pesan-pesan yang diberikan seorang ibu pada umumnya. Namun, duduk berdua seperti ini rasanya sangat mengharukan. Putranya Huzam yang bahkan tidak pernah bicara, mulai terbuka. Putranya yang nyaris tidak pernah pulang tepat waktu, bisa ia berikan nasihat dan mau mendengarkan. Sungguh, itu sebuah kebahagiaan tak terperi yang Ningtiyas dapatkan akhir-akhir ini.
“Ya, Bu.”
“Sekarang masuk. Istirahat yang cukup biar besok gak kesiangan. Kalau capek jalan kaki, kamu bisa pake sepeda ibu.”
Huzam menggeleng. Sepeda itu satu-satunya di rumahnya. Jika ia gunakan sang ibu harus berjalan kaki ke mana-mana.
“Ndak usah, Bu. Huzam naik angkot.”
“Ada uangnya?” tanya Ningtiyas tertahan. Ia bahkan jarang memberi Huzam uang saku. Mungkin tidak pernah. Kembali mata Ningtiyas memanas.
“Ada, Bu.”
Ningtiyas memalingkan wajah. Sungguh, putranya mirip mendiang suaminya. Tidak banyak mengeluh dan selalu mengupayakan semuanya sendiri. Bahkan di saat masa terberat yang mereka lalui. Mendiang sang suami selalu ada dan tidak pernah meninggalkan mereka meski raganya tak bisa mereka temui.
“Ibu masuk kamar dulu,” ujar Ningtiyas seraya berdiri. Ia tidak mau melihat Huzam menyaksikan tangisnya yang mulai menderas.
“Ya, Bu.”
Ningtiyas berlalu. Ia masuk ke kamar sepetaknya dengan perasaan kelu. Ia terlalu payah menjadi orang tua. Ia gagal mendidik putranya dan memberikan kehidupan yang layak. Selama ini ia terlalu egois. Ia kunci rapat-rapat pintu kamar itu. Ia adukan semua kesahnya pada kesunyian.
***
Bintang menghela napas panjang. Kisah hidup keluarganya tak hanya menyedihkan melainkan lebih dari itu. Seolah tak cukup hidup dalam garis kemiskinan, mereka harus mengalami kemalangan kedua saat sang ibu memilih menikah lagi dengan pria yang tidak bisa dipercaya. Laki-laki yang bahkan menurutnya berperilaku layaknya binatang. Bintang mengumpat dalam hati. Ia bersumpah akan menghajar pria itu jika mereka bertemu. Namun, Bintang lebih senang jika seumur hidupnya nanti ia tidak bertemu dengan ayah tirinya.
Bintang menilik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat dari setengah tujuh dan temannya belum juga datang. Merasa bosan berada di teras, ia pun masuk kembali ke rumah. Sekadar membunuh waktu dengan mengambil buku yang diberikan Bu Ziya kala itu. Meski sudah selesai membacanya, ia ingin mengulangi lagi. Kisah di dalamnya sarat akan motivasi. Bintang senang akan hal itu. Bintang berjalan santai ke dalam kamarnya. Ia sapukan sejenak pandangan dan langsung menemukan buku yang ia cari. Bintang bersiap keluar dari kamarnya lagi. Ia berjalan dengan riang. Dan langkahnya pun terhenti. Buku yang ia bawa terjatuh begitu saja.
“I—bu?”
“Diam atau ibu kamu kehilangan nyawanya.”
“Ibu,” lirih Bintang. Ia menggeleng.
“Duduk!” perintah Suko. Ia menodongkan pisau ke arah Bintang.
Ningtiyas tak berkutik. Tangannya diikat dengan tali sedangkan mulutnya terkunci dengan lakban hitam.
“Masuk!” perintah Suko pada beberapa orang di luar. Ia datang tidak sendirian. “Ikat dia!”
Dua pria dengan celana jins dan setelan jaket kulit itu mendekat ke arah Bintang. Mereka seperti siap menerkam.
“Tidak, tidak boleh,” protes Bintang. Ia paham ayah tirinya mencoba mengikatnya sama seperti sang Ibu.
Suko tak peduli. Hari ini adalah batas terakhirnya melunasi semua tagihan. Jika tidak maka nyawanya yang menjadi taruhan. Ia jelas tidak bodoh. Lebih baik mengorbankan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Rahma—putri kandungnya sudah ia titipkan pada orang yang ia percaya. Istrinya yang dengan bodoh justru mau menemuinya di pagi hari tadi menjadi tawanan kedua. Yang terakhir adalah anak tirinya, Bintang. Selain masih gadis, Bintang juga selalu membantahnya. Ia jelas memiliki dendam tersendiri.
***