26. Selasar

1227 Words
“Huzam mana?” tanya Niken yang begitu mendapat pesan dari Bintang langsung datang ke rumah itu. “Tidur.” “Tidur?” Bintang mengangguk. Ia sebenarnya tidak suka berinteraksi dengan Bintang. Semua teman kakaknya baginya sangatlah payah. Namun, ia terpaksa menghubungi untuk memenuhi rasa penasaran yang ia miliki.                “Duduk sini,” ujar Bintang. Kursi di teras menjadi pilihan mereka.                Niken yang meski ingin sekali melihat kondisi Huzam terpaksa menurut saja. Ia tamu di situ bukan pemilik yang berhak menentukan di mana ia harus menunggu.                “Apa yang terjadi? Kenapa Mas Huzam begitu?” desak Bintang.                Niken pun terpana. “Mas Huzam? Kamu bilang Mas Huzam?”                “Aku mau tau. Apa yang terjadi dengan kakakku sampai begitu mukanya.”                Niken mendesah. Huzam bahkan belum menceritakannya kepada Bintang. Ia tidak boleh melangkahinya. Begitu prinsip persahabatan yang mereka miliki.                “Tunggu masmu aja.”                “Yak!” Bintang memukul lengan Niken.                “Sakit gila!”                “Makanya jawab!” paksa Bintang. Mau di sekolah atau di rumah, mereka tetap tidak bisa menjadi teman. Keduanya sudah seperti kucing dan tikus saja. Berantem terus pekerjaannya.                “Kalau masmu nggak bilang ya tunggu. Bisa jadi ada hal yang emang nggak bisa diceritain. Jangan main maksa gitu.” Niken luluh pada akhirnya. Ia sedikit melunak mengingat siapa Bintang. Kalau nanti perasaannya disambut baik oleh Huzam, sudah pasti Bintang menjadi salah satu orang yang harus ia dekati.                “Kamu masa nggak tau?” tanya Bintang sinis. Biasanya jika ada masalah mereka selalu terlibat bersama-sama.                “Bukannya nggak tau, Tang. Aku nggak berhak cerita kalau Huzam sendiri masih diam.” Niken mengusap lengan kanannya. Sungguh, pukulan yang diberikan Bintang terasa panas.                Bintang memalingkan muka. Ia sebal karena tidak bisa mendapat pencerahan. Maka sebelum tadi Niken datang, sejatinya ia sudah menghubungi seseorang. Bintang hanya perlu menunggu sampai orang yang ia harapkan bisa membujuk Huzam datang.                Niken tidak banyak bicara. Ia tetap setia berada di teras itu. Huzam masih di dalam, masih istirahat karena mungkin badannya teramat lelah. Ia akan menunggu dan sebisa mungkin menunjukkan perhatian terbaik untuk sahabatnya.                “Kalian berdua ngapain, sih. Berisik banget dari tadi.” Huzam sudah berdiri di gawang pintu. Obrolan Bintang dan Niken membuatnya terbangun.                “Mas nggak tidur?” tanya Bintang heran.                “Gimana mau tidur kalian berisik mulu.” Huzam berjalan pelan. Ia menjangkau selasar teras kemudian mendudukkan diri di sana. Hanya ada dua kursi dan sudah ditempati Niken juga Bintang.                “Sini saja, Zam,” ujar Niken sigap berdiri.                “Nggak usah. Kamu situ aja. Lagian ngapain datang?”                Niken menunjuk Bintang. Ia datang karena mendapat pesan dari gadis itu. Secepat mungkin ia datang untuk memenuhi panggilan.                “Kenapa, Bin? Penasaran? Mau nyari tau?” tanya Huzam bisa menebak gelagat adiknya. Bintang sejak dulu seperti itu.                Bintang mengangguk kecil. Ia memang bermaksud seperti itu dan sempat berpikir bahwa Niken pasti mengetahuinya. Ia harus tahu lebih cepat sebelum ibunya pulang.                “Memangnya kemarin nggak ada yang datang ke sini, Bin?”                “Datang? Siapa?”                Huzam segera menggeleng. Ia terlalu percaya diri. Bisa jadi ucapan Ziya waktu di kantor polisi hanyalah bentuk simpati sejenak. Bukan murni tulus dari dalam hati.                “Nggak ada. Lupakan aja,” tukas Huzam.                Niken mengernyit. Feelingnya berkata bahwa yang dimaksud oleh Huzam adalah Ziya. Wali kelas barunya itu pasti menjanjikan sesuatu untuk Huzam.                “Mas nggak mau terusterang sama aku? Itu muka kenapa?” Bintang masih berusaha. Ia ingin mengetahuinya segera. Terlebih sebelum ibunya nanti.                Huzam mengulas senyum. Ia tidak berencana membeberkannya. Dan ia rasa memang tidak perlu Bintang serta ibunya tahu tentang detail peristiwa itu. Jeda keheningan pun tercipta. Baik Huzam, Niken dan Bintang tidak ada yang berminat membahas lebih lanjut tentang luka di wajah Huzam. Hingga sebuah suara sepeda motor matic terdengar mendekat ke pelataran rumah Huzam.                “Bu Ziya!” seru Bintang yang tentu langsung bisa melihat wali kelasnya. Sementara Niken, berubah masam wajahnya.                “Assalamualaikum,” sapa Ziya ramah. Suara itu menyelisik ke daun telinga Huzam.                “Waalaikumsalam. Sini, Bu,” ujar Bintang seraya berdiri. Ia memberikan tempat duduknya untuk Ziya.                “Terima kasih. Lagi ngumpul ini?” Ziya menyodorkan punggung tangannya pada Bintang dan Niken. Keduanya pun menjabatnya. “Huzam udah baikan?” tanyanya ramah. Ia tidak melakukan hal yang sama untuk Huzam, melainkan hanya menjura.                “Sudah, Bu,” jawab Huzam gugup. Bagaimana tidak, saat di luar jam sekolah penampilan Ziya tampak sama dengan remaja seumurannya. Baju gamis dengan paduan jilbab segi empat dan slingbag yang membuat perempuan berperawakan mungil itu semakin terlihat menggemaskan. Huzam menggeleng. Ia tidak patut menilai penampilan wali kelasnya. Itu jelas bentuk ketidaksopanan.                “Ibu ada?” tanya Ziya menyadari Huzam terlalu lama menatapnya.                “Kerja, Bu. Apa mau Bintang panggilkan?”                Ziya menggeleng. “Ndak usah, ndak perlu. Nanti sore kalau ibu kamu sudah balik, saya ke sini lagi.”                “Loh Bu Ziya udah mau pergi?” timpal Niken. Itu jelas sebuah hal yang berlebihan. Apa kedatangan Ziya sama dengan dirinya?                Ziya mengukir senyum. Ia mendudukkan diri di kursi yang tadi ditawarkan oleh Bintang. Ia sendiri mungkin terlihat berlebihan karena langsung datang. Tugasnya adalah memastikan apakah murid istimewanya baik-baik saja.                “Iya. Kebetulan saya datang cuma mau lihat Huzam. Tadi saya dan Pak Muslim ke pol ...” Segera Ziya menutup mulutnya. Bintang bisa jadi belum paham tentang peristiwa yang menimpa Huzam. “Maksud saya ada hal tadi yang ingin diselesaikan di sekolah, tapi Bintang telpon saya. Bintang kasih tau kalau kakaknya terluka.” Ziya melirik sekilas ke arah Huzam. Muridnya itu tampak tertunduk malu.                “Iya, Bintang telpon Bu Ziya karena siapa tau ibu paham. Apa yang terjadi sebenarnya, Bu? Kenapa bisa Mas Huzam begitu?”                Ziya tersenyum lagi. Kali ini tampak begitu meneduhkan bagi siapa saja yang melihatnya tak terkecuali Huzam. Bahkan, sekarang rasanya jantung Huzam tidak berada di tempat sebagai mana biasanya. Senyum Ziya seakan membuat organ penting itu bergeser.                “Bu Ziya rasa Bintang sudah paham. Bintang juga pasti tau apa penyebabnya. Nanti sore, kalau ibu kamu sudah pulang, kasih kabar, ya. Biar Bu Ziya bantu menjelaskan.”                Bintang berpikir keras. Apa mungkin kakaknya kembali terlibat dalam tawuran atau kenakalan remaja yang lain. Sungguh, jika itu terjadi ia menyesal karena mengizinkan kakaknya pergi menjelang malam.                “Ssttt, ndak perlu dipelototin. Kasihan, lukanya belum kering.” Seperti tahu apa yang akan dilakukan Bintang, Ziya mengingatkan lebih dulu. Ia paham bagaimana tabiat satu muridnya itu.                ‘”Iya, Bu.”                “Rumah Niken dekat sini?” tanya Ziya mengalihkan topik pembicaraan. Sejak tadi ia juga melihat Niken lebih banyak diam.                “Nggak, Bu.”                “Wah, teman yang baik. Semoga pertemanan kalian awet, ya. Terus saling support dan sama sama terus dalam hal positif.”                Niken menatap sinis ke arah Ziya. Apa maksudnya berkata seperti itu? Tidak lebih sebuah nasihat yang tidak penting.                Huzam menarik garis bibir. Ziyadatul Muna—wali kelas barunya di pagi menjelang siang ini tampak berbeda. Terlihat sekali perempuan itu berusaha bersikap dewasa, berwibawa layaknya saat mereka berada di sekolah. Berbeda dengan apa yang disampaikan serta sikap yang ditunjukkan saat di kantor kepolisian. Huzam pun mendongak. Ia perhatikan dengan baik wajah wali kelas barunya yang masih muda. Ia jamin usia mereka tidak terpaut terlalu jauh.  Sekitar dua atau tiga tahun saja. Ziya dan Bintang terus bercakap. Huzam terus memerhatikan. Dan dalam pandang itu, ia merasakan satu hal yang baru. Lewat senyum dan sikap Ziya di depannya saat ini, ada yang menghangat di relung hati.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD