46. Dunia yang Diimpikan

1128 Words
Pintu kamar itu Huzam tutup setelah memastikan Arbrito sudah meninggalkannya. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya sejenak. Seketika Huzam meletakkan tas ransel miliknya dan berjalan pelan ke dekat jendela.                “Benarkah? Ini bukan mimpi?” ucapnya.                Rubico adalah salah satu rumah yang didesain khusus oleh arsitektur ternama sesuai dengan permintaan Anggoro. Rumah itu menyatukan elemen batu, air dan bunga. Maka ketika Huzam melihat ke arah jendela di bawah sana terdapat aliran air yang bukan merupakan kolam renang. Aliran itu memang khusus didesain untuk memberikan ketenangan.                Huzam semakin dibuat takjub. Ia benar-benar tak menyangka akan menempati kamar senyaman ini. Sejenak Huzam mengamati interior kamarnya dan kembali tidak mampu menyembunyikan kegembiraan hati. Ia pun merebahkan diri ke kasur busa nan empuk itu. Ia menatap langit-langit sambil mengusapkan tangannya di atas sprei.                “Halus,” lirihnya.                Huzam tersenyum sendiri. Mulai malam nanti ia akan bisa tidur nyenyak. Tak lagi berada di kasur lantai yang sudah sangat tipis dengan dingin yang menusuk tulang. Mungkin, dunia yang selama ini diimpikan oleh Huzam sedang mulai terbentang. Perlahan ia akan terus mencecap rasanya kemewahan yang tak terbayangkan. Huzam pun bangkit untuk duduk. Ia raih tas ransel yang memang diperuntukan untuk membawa sesuatu yang cukup penting baginya. Satu per satu Huzam mengeluarkan isinya.                Kotak kayu pemberian dari Pak Hamzah, kotak berpita milik Bintang, juga satu buku khusus yang berisi tulisan tangan seseorang. Huzam mengamati tiga benda itu. Ketiganya menjadi berarti untuk saat ini. Kotak kayu yang berisi serpihan kenangannya tentang ayah, kotak berpita yang ia harapkan akan menuntun pertemuannya dengan Bintang dan satu buku catatan penawar rindu jika kelak hari-harinya terasa menyesakkan. Huzam mendesah. Ia raih buku catatan itu. Ia buka dan ia baca kembali isinya. Selarik senyum terpancar di wajah Huzam. Bahkan, mereka tidak sempat melakukan perpisahan. Huzam mendesah. Sungguh, dari sekian perempuan di bumi. Mengapa harus wali kelas barunya? Drrrt ... drrrt ... drrrrt. Huzam merasakan getar itu di saku jaketnya. Segera ia meraihnya. Keningnya berkerut seketika. “Ya, Pak?” “Makan siang sudah siap. Silakan turun ke lantai satu.” Huzam mendengkus. Katanya menghubungi jika butuh bantuan. Rupanya malah sebaliknya. Ia masih ingin bersantai di kamarnya. Ia belum ingin mengisi perut. “Baik.” “Tidak lebih dari sepuluh menit,” tegas Arbrito. “Ya, Pak.” Huzam pun mematikan ponselnya. Ia tutup kembali buku catatan itu dan mengumpulkan tiga barang berharganya menjadi satu. Tetap dalam posisi teraman di dalam tas ransel. Huzam mengedarkan pandangan. Ia cari tempat terbaik untuk menyimpannya. Dan sebuah lemari berukuran cukup besar menarik perhatiannya. “Di sini saja,” gumam Huzam seraya membuka lemari itu. Mulut Huzam terbuka lebar. Bahkan segala macam pakaian sudah ada? Apa sebelumnya Pak Anggoro memiliki putra seusianya? Huzam pun menggeleng. Ini lebih dari cukup untuk ia kenakan selama berbulan-bulan. Huzam meletakkan tas ransel itu di bagian rak paling atas. Di mana ada sedikit space kosong di sana. Ia menutup lemari itu kembali dan sedikit bergaya di depan cermin. Ia perhatikan pantulan dirinya di sana, dan mengakui gayanya satu tingkat lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Huzam mengangguk. Ia rasa tidak buruk. Pintu kamarnya terketuk sebanyak tiga kali. Hal itu membuat Huzam sedikit tersentak. Ia sedang melamunkan beberapa hal dan cukup mengejutkan. “Baik, Pak!” seru Huzam. Ia berjalan menuju pintu kamarnya dan membukanya. “Makan siang sudah siap. Anda ditunggu Bapak di bawah.” Perempuan tadi yang menyapa Pak Arbrito kini berada di depan Huzam. Wajahnya tegas dan sedikit menakutkan. “Baik, Bu.” Perempuan itu pun berbalik. Ia memimpin langkah untuk Huzam. Seketika Huzam mengikutinya di belakang. Lagi, Huzam tak bisa diam saja. Ia menyaksikan serangkaian lukisan yang tertempel di dinding sepanjang lorong perjalanannya. Ia tidak memerhatikan perempuan itu di depannya. Hingga sebuah bunyi pintu lift yang terbuka menyentaknya. “Silakan masuk,” ujar perempuan tadi. Huzam mengangguk. Ia tidak tahu jika akan ke lantai satu pun harus menggunakan lift. Waktu bersama Pak Arbrito tadi ia menaiki anak tangga. Huzam enggan memikirkannya. Ia patuhi saja arahan perempuan yang belum ia tahu namanya itu. “Duduk, Zam!” seru Anggoro yang sudah bersiap di meja makan. Huzam pun mengangguk. Segera ia menuju kursi yang ditunjuk Anggoro. Entah ini di bagian Rubico bagian mana. Definisi makan siang versi Pak Anggoro sekarang, cukup berbeda dengan yang dipikirkan Huzam. Huzam kira saat diminta bersiap untuk makan siang di sebuah rumah, maka ia akan menuju ruang makan yang mungkin berpadu dengan dapur. Bukan sebuah meja khusus yang disiapkan di atas kolam yang menjadi pemandangan dari jendela kamarnya itu. Huzam sedikit mendongak. Ini bukan dari sisi sebelah kamarnya. Artinya kolam tadi mungkin mengelilingi Rubico sendiri. Huzam enggan memusingkannya. Nanti ia bisa bertanya pada Arbrito tentang rasa penasarannya. “Bagaimana kamarnya? Kau suka?” tanya Anggoro mencomot topik pembicaraan. “Suka, Pak. Bagus.” “Bagus. Jika begitu kau akan betah di sini.” Anggoro tersenyum lebar. “Pasti, Pak.” “Hahahahahaha! Yakin sekali kau, Huzam?” Huzam pun terdiam. Yakin? Apa mungkin? Ia pun melirik sekilas ke arah Arbrito. Meminta sedikit clue atas ucapan Anggoro. “Apa sebaiknya saya tidak yakin, Pak?” Anggoro kembali tergelak. Sedikit demi sedikit Huzam menjadi seperti yang diharapkannya. Kadang, gaya kekanakan yang muncul secara tiba-tiba masih ada. Kadang, bisa bersikap dewasa juga. Anggoro membutuhkan sosok seperti itu. “Ini belum apa-apa, Huzam. Ini hanya sebagian kecil dari yang saya miliki.” Anggoro mulai menjelaskan sedikit detail tentang dirinya. “Nanti kamu akan terbiasa dengan hal-hal yang bahkan lebih dari ini.” Huzam mengangguk. Ia simak dengan baik penuturan Anggoro. Ia sudah sepakat akan mengikuti semua hal yang diperintahkan pria paruh baya itu, termasuk menjadi keluarganya. “Rubico ini adalah tempat favorit saya, Zam. Tempat yang berada di tengah kota Jakarta, tapi tetap bisa memberi ketenangan layaknya Aman Jiwo.” Huzam mengangguk lagi. Pendapat Anggoro tentang hal itu ia setujui. Bahkan saat pertama masuk, ia benar-benar tak menyangka kalau tempat ini berada di ibu kota. Sesuatu yang seperti mustahil rasanya. “Malam ini kamu menginap di sini. Nanti Arbrito yang akan mengarahkan semuanya. Kamu boleh menyimpan semua hal yang kamu bawa dari Borobudur di tempat ini. Selebihnya, kamu tidak boleh mengingatnya lagi. Ingat apa tujuanmu, apa yang menjadi alasan kamu bisa sampai ke Jakarta. Saat kamu tidak fokus dan hanya berpusat pada masa lalu, jangan bermimpi untuk mendapatkannya.” Huzam terus menyimak. “Kamu bukan lagi Huzam anak Borobudur. Ingat mulai hari ini kamu bagian dari keluarga Anggoro. Pastinya tidak mudah, Huzam. Kamu akan mulai belajar banyak hal. Saya tidak mau fokusmu terbagi dengan hal-hal tidak perlu itu.” Huzam mengangguk. Mungkin, Pak Anggoro memang ingin ia fokus menemukan Bintang. Tidak melakukan hal yang bisa jadi melenceng dari kesepakatan mereka di awal. Huzam berusaha memahami kalimat Anggoro sebisanya. Ia harus percaya sepenuhnya pada pria paruh baya itu di saat ia sudah memutuskan meninggalkan kota itu. “Baiik, Pak,” ujar Huzam mantap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD