45. Welcome to Jakarta

1188 Words
Ini jelas pengalaman berharga bagi Huzam. Ia tidak menaiki penerbangan kelas biasa melainkan kelas executive. Sungguh, bermimpi pun Huzam tak berani. “Pakai kacamatamu, busungkan d**a. Kamu bukan lagi Huzam anak Borobudur,” ujar Anggoro. Ia sebisa mungkin membangun kepercayaan diri Huzam. Huzam megangguk. Ia sudah bertekad meninggalkan semuanya termasuk perasaannya untuk Ziya. Ia tidak boleh bermain-main dalam permainan takdir kali ini. “Semua sudah siap, Pak. Penjemputan dilakukan seperti yang Bapak instruksikan.” Arbrito menerangkan apa yang sudah menjadi rencana besar mereka. “Baik. Mari kita lakukan dan kita lihat seperti apa respons mereka.” Arbrito mengangguk. Begitu pesawat pribadi milik Anggoro mendarat di bandara, ia memang sudah meminta beberapa wartawan melakukan tugasnya. Semua media harus meliput kedatangan pemilik salah satu grup hotel terkemuka di ibu kota. Anggoro yang diisukan sudah meninggal, kembali setelah menghilang beberapa pekan. “Jangan jawab pertanyaan apa pun dan buatlah dirimu semisterius mungkin!”perintah Anggoro. “Baik, Pak.” Huzam mengenakan topi hitam yang disediakan Arbrito. Ia bergabung seperti pengawal pribadi Anggoro. Orang-orang licik yang mengira Anggoro sudah mati tidak boleh mengetahuinya. Kerumunan awak media pun pecah begitu terlihat berjalan dengan tongkat miliknya seraya mengembangkan senyum. “Pak Angoro bagaimana kabar anda? Apa benar selama ini anda hanya bersembunyi?” “Apa benar ini semua rencana dari salah satu rekan anda yang menginginkan Hwayang?” “Apakah anda benar-benar mengalami kecelakaan? Atau sebenarnya hanya bersandiwara?” Tatapan mata Anggoro mengarah pada wartawan tersebut. Pertanyaannya cukup berani dan menggelitik telinga. Anggoro pun terkekeh. Ia melepas kacamata hitamnya dan mulai menanggapi pertanyaan dari awak media. “Rekayasa? Buat apa saya merekayasa sini semua?” ujarnya sambil menunjukkan kaki kirinya. Kecelakaan itu membuatnya harus berjalan sedikit pincang. “Tapi benarkah kecelakaan itu disebabkan oleh rekan anda seperti berita yang beredar? Kalian sangat dekat bahkan seperti saudara. Rasanya sangat tidak mungkin.” Anggoro kembali mengamati wartawan di depannya. Cukup berani dengan microfon mengacung ke depan. Anggoro pun melirik ke arah Arbrito. Jelas wartawan tersebut bukan yang mereka pesan. Sigap Arbrito mengangguk. Ia memasang badan di depan Anggoro. Hal itu sontak membuat Huzam tersentak. “Maaf. Kami tidak bisa lagi menerima pertanyaan. Silakan release berita bahwa Anggoro pendiri Grup Hwayang sudah kembali. Ia sehat, bugar dan masih hidup dengan nyaman. Siapa saja yang terlibat dalam insiden mengerikan itu, harap bersiap.” Anggoro mengangguk. Ia puas dengan statemen yang diberikan Arbrito untuk mewaklilinya. Tujuan utama ia kembali ke Jakarta adalah mempertahankan Hwayang yang sedikit demi sedikit mulai digerogoti oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Para pengawal mengambil posisi. Semuanya memasang pagar betis untuk Anggoro dan Huzam. Meski berseragam layaknya pengawal, Huzam tidak benar-benar di belakang. Ia berjalan tepat di belakang Anggoro dan berdampingan dengan Arbrito. Sama seperti di Borobudur, mobil yang menjemput Anggoro pun tak kalah mewah. Tidak mobil van berwarna hitam melainkan Alpard dengan kisaran harga yang ditaksir sampai milyaran rupiah. Huzam terpana. Ia baru pertama melihatnya dan kembali ia diminta untuk menaikinya. Jaket dan topi hitam yang ia kenakan benar-benar menyamarkan identitasnya. Postur tubuhnya yang memang sudah tinggi dan terbilang kekar, membuatnya mirip sekali dengan para pengawal. “Ke rumah utama atau tower Hwayang, Pak?” Arbrito mengonfirmasi sekali lagi ke mana atasannya akan pergi. Hwayang adalah sebuah grup raksasa yang bergerak di bidang perhotelan serta pariwisata. Tower Hwayang menjadi yang paling utama. Anggoro berpikir sejenak. Orang-orang yang paham sudah pasti akan mengira ia kembali ke dua tempat itu. Namun, dengan adanya Huzam bersamanya, dua tempat tersebut menjadi tidak aman. “Rubico saja.” “Rubico?” Anggoro mengangguk. Sontak sang sopir pun memutar balik kemudinya. Rubico adalah rumah pribadi Anggoro yang berlawanan arah dengan Hwayang Tower. Rubico adalah tempat tersembunyi yang Anggoro ciptakan untuk mengenang seseorang. Cukup lama Anggoro tidak menengok rumah itu. Arbrito menekan earphone-nya yang memang bisa langsung terhubung ke beberapa akses penting termasuk Rubico. Segera ia menghubungi kepala pelayan agar menyiapkan segala sesuatunya. Huzam yang duduk di samping Anggoro tidak mengerti. Ia sedikit melirik pria paruh baya yang tampak berbeda saat pertemuannya di Borobudur dan di Bandara tadi. Ia mulai meyakini bahwa Anggoro bukan orang sembarangan. Setelah perjalanan, Huzam kembali dibuat terpana dengan pemandangan yang ada di depannya. Matanya bahkan nyaris tak berkedip. Dari luar pagar rumah ini sangatlah tinggi. Ia tidak bisa menduga seperti apa isi di dalamnya. Begitu pintu gerbang itu terbuka dan mobil yang membawanya memasuki area rumah, ia tak mampu berkata-kata. “Silakan, Pak,” ujar Arbrito setelah membukakan pintu untuk Anggoro. Anggoro mengangguk. Hatinya sebenarnya meragu saat memutuskan akan mengunjungi Rubico lagi. Namun, tempat ini yang paling tepat untuk memulai semuanya. Terlebih bagi Huzam. Anggoro sedikit tahu bahwa Huzam membawa beberapa barang yang mungkin tak berguna saat di Jakarta. Anggoro ingin Huzam meninggalkannya di tempat ini. “Antar Huzam ke kamar di lantai dua. Biarkan dia istirahat dulu.” Anggoro menjadi sangat tegas. Semua perintah ia sampaikan pada Arbrito langsung meski ada Huzam di sana. “Baik, Pak. Saya akan antar Bapak dulu,” ucap Arbrito. “Tidak usah. Saya bisa jalan sendiri.” Arbrito mengangguk lagi. Jika seperti ini atasannya benar-benar ingin memiliki privasi. Rubico adalah tempat di mana ia menjadi dirinya yang pasti berbeda dengan tempat di luar oleh orang-orang. Huzam menatap bingung Anggoro yang sedikit kesulitan berjalan. Ia tak mengerti mengapa pria itu yang biasanya ramah, sangat nyaman diajak bicara menjadi dingin dan ... susah untuk Huzam jelaskan. “Ayo, Nak Huzam,” ucap Arbrito seraya memimpin langkah. Huzam mengangguk. Ia gendong tas ranselnya yang sudah kumal. Ada beberapa barang yang memang tidak bisa ia tinggalkan di rumah lamanya. Untuk itu ia membawa serta dengan kepergiannya dari Borobudur. “Mas,” panggil seorang perempuan dengan wajah cantik nan meneduhkan. Arbrito menoleh seraya mengulas senyum. “Bagaimana kabarmu? Baik-baik saja?” Perempuan itu mengangguk. Di tempat teraman di dunia ini, ia jelas baik-baik saja. “Semua sudah siap sesuai perintah.” “Bagus. Terima kasih sudah membantuku.” “Sudah menjadi tugasku, Mas.” Arbrito mengangguk. Ia kembali melangkah. Lantai dua di rumah ini perlu dicapai dengan menaiki lift atau tangga yang cukup mengular. Ruangan demi ruangan memang dibuat sedemikian rupa hingga orang-orang yang tidak paham betul bisa jadi akan tersesat. Huzam tak begitu memikirkan interaksi Arbrito dan perempuan itu. Sekilas ia mengira perempuan itu sama seperti mereka. Salah satu orang yang bekerja untuk Pak Anggoro. Huzam pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sungguh, Rubico ini tampak luar biasa. Sambil berjalan mengekori Arbrito, Huzam memandang takjub dinding-dinding yang dihiasi dengan berbagai lukisan. Ceklek! Pintu kamar itu terbuka. Arbrito yang melakukannya. “Ini akan menjadi kamarmu untuk sementara waktu. Kamar saya ada di lantai satu.” Huzam terlolong. Kamarnya? Saat ia hanya akan bekerja sebagai pengawal? Apa ini masuk akal? “Istirahat di dalam. Jika butuh sesuatu hubungi nomor saya segera.” Huzam masih belum mengerti. Benarkah ini bagian dari fasilitas yang akan ia dapat? Sungguh ini sangat berbeda dari yang ia pikirkan sebelumnya. “Saya ke bawah dulu,” ujar Arbrito berusaha menyadarkan Huzam. “Eh, iya, Pak. Makasih.” Arbrito menyunggingkan senyum. Ia biarkan Huzam berdiri mematung di depan kamar dengan fasilitas nomor wahid itu. Hatinya berujar lirih saat ia berjalan membelakangi pemuda dari daerah Borobudur itu. “Welcome to Jakarta. Huzam ....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD