23. Kronologi

1258 Words
“Apa? Huzam yang menang?” tanya salah satu pembalap yang kurang setuju akan keputusan itu. “Memangnya kenapa? Jelas-jelas dia masuk garis finish duluan.” “Pakai motor kamu yang butut itu? Mana bisa?” “Ya bisa dong. Kan Huzam,” ujar Jaka bangga. Ia tengah memastikan nominal uang hasil taruhan tidak salah. “Nggak bisa. Pokoknya diulang. Aku nggak mau nglunasin.” “Loh, kok begitu? Curang namanya. Dari awal mau ikut harusnya bayar,” protes Jaka. Salah satu pembalap liar itu pun tetap tidak mau memberikan uangnya. Ia masih merasa Huzam tidak layak. “Udah, Jak,” ucap Huzam enggan terlibat perdebatan. “Nggak bisa, Zam. Yang lain aja bayar semua.” “Biarin lah.” “Nggak adil namanya.” “Adil? Lo ngomongin adil?” cibir pembalap liar itu. “Mau menang mau kalah harusnya bayar, Bro. Nggak begitu. Cemen lo!” Sontak kata-kata Jaka menyulut emosi pembalap liar tadi. Ia tidak terima diberi panggilan ‘cemen’ seperti tadi. “Awas lo!” “Apa? Mau maju? Sini!” tantang Jaka. “Udah, Jak. Gue juga udah mau balik,” timpal Huzam. Sungguh ia tidak mau terlibat masalah. “Biarin, Zam. Nggak tau diri namanya.” Sang pembalap liar tadi tampak geram. Ia mengepalkan tangan. Namun, berusaha menahan. Ia tetap tidak mau membayar uang pendaftaran dan memilih pergi begitu saja. Huzam menghela napas kasar. Sungguh, dunia tempatnya bermain memang mengerikan. Sebelumnya ia tidak pernah berpikir begitu. Akan tetapi sekarang, saat ia akan pergi meninggalkannya, semua tampak begitu nyata. “Mau ke mana?” tanya Jaka yang tengah membereskan loket. Warung tongkrongan itu sudah seperti area pembelian karcis masuk Candi. “Pulang.” “Jam segini? Nggak mau gabung sama yang lain?” Huzam mengulas senyum seraya menggeleng. “Bintang lagi sakit.” “Bintang? Sakit apa?” “Demam sama flu. Udah dua hari.” “Bentar-bentar. Kata kamu Bintang yang sakit?” Huzam mengangguk. Sementara Jaka mendekat ke arahnya. Ia menempelkan telapak tangan ke jidat Huzam. “Bukan kamu?” Huzam tidak paham dengan tindakan Jaka. Segera ia menepis tangan sahabatnya itu. “Apaan, sih!” “Sejak kapan lo peduli sama Bintang? Lupa daratan?” Huzam kembali tersenyum. Ia paham maksud Jaka pada akhirnya. “Dah, dah, dah. Cabut dulu.” Jaka pun menggeleng. Aneh, teramat aneh. Huzam bukan tipe yang perhatian seperti itu. Terpaksa ia biarkan saja sahabatnya berlalu. Huzam berjalan ringan meninggalkan warung tongkrongan. Ia harus melewati jalan pintas, mengingat ia tidak membawa kendaraan. Meski gelap dan nampak menyerapkan keadaannya, Huzam tetap santai. Mungkin, hantu justru yang takut padanya. Sayup-sayup terdengar suara bising sepeda motor. Seharusnya para anggota geng itu sudah selesai urusannya di warung tongkrongan. Tadi saat ia berjalan keluar, ia menjadi orang terakhir sebelum Jaka. Langkah Huzam terhenti. Pikirannya langsung tertuju pada sahabatnya. Tanpa berpikir panjang, Huzam berbalik. Ia harus segera menyelematkan sahabatnya. Huzam berlari secepat yang ia bisa. Sesampainya Huzam di warung tongkrongan kembali, kursi-kursi dan meja sudah berserakan. Beberapa perabot rusak. Dan yang paling parah adalah, ia mendapati Jaka tidak sadarkan diri, tersungkur di lantai. “Jak! Jaka!” seru Huzam seraya membalikkan tubuh sahabatnyaa. Begitu wajah Jaka terlihat Huzam memalingkan muka. “Sialan. Kenapa aku tinggal,” gerutu Huzam. Seharusnya ia pulang menunggu Jaka selesai. Jika ada dirinya, anggota geng motor itu tidak akan berani. “Jak, bangun, Jak!” Huzam menepuk pipi Jaka. Sudut bibir sahabatnya tampak memerah. Huzam kebingungan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Di saat ia berusaha mengangkat tubuh Jaka, sirine sebuah mobil polisi terdengar. “Kacau,” desis Huzam. Jika begini, bisa-bisa ia tertangkap seorang diri. “Ayo, Jak,” ucap Huzam, memohon. Semua seperti sudah tersekenario dengan baik. Pihak berwajib berhasil menemukan mereka. Dan tidak hanya itu. Orang tua Jaka juga sama. Sebelum pihak berwajib berusaha menyelamatkan Jaka, ayah Jaka sudah lebih dulu mendaratkan pukulan ke wajah Huzam berkali-kali. Pria itu marah karena putranya tersakiti akibat berteman dengan orang yang tidak benar. Huzam mengusap wajahnya kasar. Ia tidak memiliki lagi harapan besar. Jika memang akhir dari perjalannya adalah seperti ini, ia pasrah. Huzam tidak berani membantah atau menyangkal setiap tuduhan. Ia ingin melindungi sahabatnya juga mengingat Jaka yang mengadakan acara. Selama ini kegiatan semacam itu sering diinisiasi oleh sahabatnya. Huzam menunduk. Hidupnya yang baru akan ia perbaiki menjadi berantakan seperti sebelumnya. ***  Ziya kembali ke ruangan di mana ada Huzam di sana. Ia  menatap dalam wajah Huzam yang berantakan. Meski kecewa dengan sikap muridnya, ia tetap berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya. “Saya akan kembali dan membebaskanmu dengan cara apa pun. Senin, kamu akan berangkat ke pondok,” ujar Ziya parau. Huzam tidak menjawab. Ia bahkan mendongak pun tidak berani. Ia tahu dirinya sudah sangat keterlaluan. “Saya akan menemui orang tua Jaka sekaligus orang tua kamu. Saya usahakan untuk tidak membuat mereka terlalu khawatir.” Ziya tidak mau baik Jaka maupun Huzam gagal mengikuti ujian. Itu yang menjadi tujuan. “Tolong ceritakan dengan jujur semuanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi.” Kali ini Huzam mendongak. Ia menatap mata bening milik Ziya. Wajah mungil wali kelas barunya itu sedikit tegang.   “Saya janji, Zam. Pak Muslim bilang kalau kamu jujur dan bisa diajak bekerja sama, semua bisa teratasi,” imbuh Ziya. Ia ingin muridnya percaya. Huzam tampak berpikir, ia ragu untuk beberapa alasan. Ia tidak ingin membuat Jaka terliat dalam masalah besar juga. “Huzam,” panggil Ziya. Huzam pun mengangguk kecil. Ziya mengulas sedikit senyum. Ia kembali meninggalkan murid istimewanya di balik jeruji besi. Meski perih, kenyataan yang terjadi memang seperti ini. Ia harus mencari cara. Sepeninggal Ziya, Huzam merenung sendiri. Ini bukan pertama kali ia duduk di lantai di dalam jeruji seperti ini. Bahkan waktu kelas sepuluh ia menghabiskan waktu di sana, kurang lebih satu minggu. Namun, kali ini rasanya berbeda. Hatinya lara mendapati fakta bahwa ia tidak berdaya. Dari semua peristiwa kenapa harus semalam? Saat ia berencana melakukan perpisahan pada dirinya yang lama. “Huzam!” pangil Soni dari luar. “Ya, Pak?” “Berdiri!” Gegas Huzam melaksanakan perintah Soni. Salah satu anggota kepolisian itu, sudah cukup mengenalnya. Soni melangkah. Ia membuka kunci tahanan sementara untuk Huzam. “Ayo.” “Ke mana, Pak?” “Ikut saja.” Soni berjalan memimpin di depan. Ia sudah cukup sering mengatasi masalah kenakalan remaja seperti ini. Ia sudah cukup paham alurnya seperti apa. Jika memang masih bisa dikembalikan ke orang tua, mereka sebisa mungkin akan mengupayakannya. Sayangnya, untuk murid bernama Huzam sudah berkali-kali. Hal itu sampai membuat hapal para petugas. Soni bahkan tak habis pikir mengapa Huzam senang sekali melakukan pelanggaran. Namun, untuk kasus sekarang, ia tahu semua tampak tidak beres. Seperti ada permintaan khusus dari pihak pelapor agar Huzam mendapatkan hukuman. Soni tidak terlalu berani berspekulasi. Ia belum memiliki banyak bukti. “Duduk!” perintah Soni setelah sampai di meja kerjanya. Huzam menoleh ke samping kanan dan kiri. Ia tampak canggung. “Di sini, Pak?” “Enggak. Di lantai. Ya di situ, lah.” Huzam pun mengangguk kecil. Ia menuruti perintah Soni. Duduk berhadapan di depan Soni di kursi set khusus tamu. “Nih, makan dulu. Tadi dibawain sama wali kelas kamu.” Satu rantang susun Soni tunjukkan. Ia meletakannya di atas meja. “Nggak Pak Hamzah, nggak putrinya, sama saja, Zam.” “Ya?” “Sama-sama baik sama kamu.” Huzam terdiam. Pendapat Soni memang benar. Sejak kelas sepuluh, jika ia terlibat masalah pasti Pak Hamzah menjadi orang terdepan yang mengurusnya. Begitu juga dengan sekarang. “Dah makan yang banyak.” Soni mendorong rantang itu. Ia juga mengambil beberapa potong lauk. Hal seperti ini yang membuat perutnya menjadi semakin gemuk. ***          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD