22. Jeruji

1064 Words
Ziya seperti biasa melakukan beberapa kegiatan yang memang menjadi aktivitasnya sehari-hari. Ia yang cukup disibukkan dengan tugas di sekolah seringkali saat weekend harus menylesaikannya juga. "Ndak ngaji, Nduk?" "Sepertinya sore ini Ziya ndak berangkat, Bu." "Lah kenapa?" "Ini masih harus nyelesain tugas." "Hmmm kan bisa nanti sore apa malam. Kenapa harus dari siang?" "Biar keburu, Bu." "Oalah ya udah nggak apa-apa." Ibunya Ziya pun meninggalkan ruang tamu. Ia membiarkan putrinya seorang diri. Jika di rumah, Ziya jarang menggunakan ponselnya. Biasanya ia meletakkan di atas nakas di dalam kamar. Ia selalu ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Pun dengan siang ini yang ternyata sudah ada pesan penting dari seseorang. Begitu Ziya berada di kamarnya untuk mengambil beberapa buku ia tidak sengaja menilik ponsel itu. Mata Ziya seketika membola. "Astaghfirullohadzim," pekiknya. Ia membekam mulutnya. Gegas Ziya menyambar jaket di gantungan. "Mau ke mana, Nduk?" tanya ibunya Ziya. Melihat putrinya terburu-buru, ia curiga. "Ziya pergi dulu sebentar, Bu. Nanti Ziya jelaskan." "Ke mana?" "Kantor polisi, Bu." "Kantor polisi?" Ziya mengangguk. Ada sebuah insiden yang bahkan tidak pernah mampu ia bayangkan. Ziya menyampaikan sedikit tentang informasi yang ia dapatkan itu. Ia berharap sang ibu tidak panik. "Ya sudah, Nduk, buruan." "Iya, Bu. Ziya pamit dulu." "Ya." "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam." Bagi Ziya mendapat kabar semacam ini adalah yang pertama. Dulu abahnya memang kerap terpaksa melakukan aksi penjemputan untuk murid-muridnya. Banyak kasus yang melibatkan mereka berurusan dengan pihak berwajib. Ziya yang memang awam akan hal ini tidak bisa berangkat seorang diri. "Bu Ziya!" seru Muslim yang memang menunggunya di jalan menuju kantor polisi. "Bagaimana, Pak?" "Lewat sini!" Muslim menunjuk gang di sebelah kirinya. Jalan yang bisa dilalui dan lebih cepat. "Baik, Pak." Ziya sepakat saja. Ia tidak terlalu paham tentang jalanan yang sedang ia lalui. Lebih cepat lebih baik menurutnya. Sebuah kantor dengan d******i warna coklat menyapa Ziya dan Muslim. Ziya yang merasa cukup gugup berusaha menenangkan diri. Ia merapal beberapa doa harian di dalam hati. "Ayo, Bu." "Ya, Pak." Ziya dan Muslim pun berjalan beriringan. "Assalamualaikum!" seru Muslim. Ia tidak main masuk begitu saja. "Waalaikumsalam," jawab seorang laki-laki yang juga berseragam berwarna coklat mirip warna tembok di depan. Laki-laki tersebut tidak terlalu memerhatikan kedatangan Muslin meskipun menjawab salam. "Pagi, Pak," ucap Muslim sambil mengetuk meja kerja laki-laki tersebut. Terpaksa ia mendongak. "Eh, Pak Muslim?" "Iya, Pak. Lagi sibuk ya?" "Maaf, maaf, maaf, lagi balas pesan penting. Ada apa ke sini?" Muslin tersenyum tipis. Ia datang bahkan karena ada pesan yang masuk ke ponselnya mengabarkan tentang sebuag berita besar. "Oh, saya yang ngubungi ya, tadi?" Muslim mengangguk. "Iya, Pak." "Hahahahahahaha! Saya malah lupa. Ayo langsung saya antar," ujar laki-laki tadi seraya berdiri. "Eh, siapa ini?" Segera Ziya menunduk. Ia tidak suka cara laki-laki itu melihatnya. "Yang menggantikan wali kelas. Putrinya," ujar Muslim. "Wah putrinya Pak Hamzah?" Ziya perahan mengangkat wajah. "Bapak kenal abah saya?" Laki-laki itu terkekeh. "Jelas, Bu. Udah hapal betul. Nanti sampaikan salam ya, dari Pak Soni." Ziya pun mengangguk. "Baik, Pak." Soni mengajak Muslim dan Ziya ke ruang lain. Tak lupa Soni juga membawa 'segombyok' kunci. Ziya tidak terlalu memerhatikan kegunaan kunci itu. Ia masih belum menemukan clue. "Nah, itu, Pak," ujar Soni sambil menunjuk seseorang di balik jeruji besi. Lutut Ziya terasa lemas. Ia seperti akan rubuh saja. Di sana wajah Huzam sudah babak belur. Nampak sebuah luka ada di sudut bibirnya. Ziya tak habis pikir. Apa yang dilakukan siswanya? Huzam tertunduk lesu. Hal semacam ini jelas bukan keinginannya. Ia tidak berani mendongak meski tahu ada beberapa orang melihat. "Huzam," ucap Ziya parau. Sungguh pada tahap ini Huzam ingin melarikan diri. Tidak seharusnya wali kelasnya menyaksikan dirinya dalam kondisi separah ini. Ziya hanya bisa mengurut d**a. Bagaimana bisa Huzam dan Jaka terlibat dalam aksi balap liar seperti itu. Meski masih berstatus sebagai salah siswa sekolah menengah kejuruan, usia Huzam sudah lebih sembilan belas tahun lebih tiga bulan. Artinya hukum yang diberlakukan untuknya bukan lagi usia di bawah umur. "Apa tidak ada cara lain, Pak? Sebentar lagi Huzam ujian." Soni menghela napas. Ia kadang sebal dengan orang-orang seperti Ziya. Selalu membuat pembelaan untuk siswanya. "Pak Muslim paham, kan? Ini tidak seperti biasanya. Bahkan sudah masuk kategori penganiyayaan." Muslim mengangguk. Ia cukup bisa menyimpulkan dari apa yang dijelaskan Soni. Ia paham. "Saya mohon, Pak." Soni pun mendesah. "Asal korban mencabut tuntunan bisa jadi Huzam tidak perlu dibui." "Korban? Tapi wajah Huzam ...." Muslim tersenyum kecil. Ziya terlalu memedulikan Huzam. Seharusnya tidak perlu seperti itu. "Nanti biar saya pikirkan cara, Pak. Kalau boleh tahu siapa korbannya?" tanya Muslim. Ia tidak senang dengan kekhawatiran yang ditampakkab Ziya. "Jaka. Temannya sendiri." "Jaka?" Ziya dan Muslim tersentak. Soni mengangguk. Biasanya dua sekawan itu masuk 'sel' bersamaan. Namun, kali ini sedikit berbeda. "Ibunya Jaka tidak terima. Selain dirugikan secara materi karena Huzam menggunakan motor Jaka, putranya juga mengalami hal serius." Ziya dan Muslim menyimak dengan sabar ucapan Soni. "Jaka dalam hal ini cukup parah lukanya. Ia menjadi sasaran utama para lawan main Huzam. Mereka begitu tau Huzam yang menang dengan sepeda motor yang mungkin tidak layak, langsung protes. Pak Muslim tau betul protesnya geng motor seperti apa." Muslim mengangguk. Ia sudah pernah menjelaskan jenis kenakalan remaja seperti itu di dalam kelas. Seharusnya Huzam dan Jaka paham. "Huzam dan Jaka harus ujian, Pak. Tolong bantu kami." Lagi Soni menghela napas. Cara Ziya menyelamatkan siswanya mirip dengan ayah dari perempuan itu. Pak Hamzah dulu juga berdialog dengan penegak hukum demi membela tukang rusuh itu. "Pak Muslim nanti minta tolong jelaskan ke Bu Ziya, ya. Serta cara-cara yang biasa kita gunakan." Muslim mengangguk kecil. "Baik, Pak." "Kalau sudah cukup, saya mohon izin buat melanjutkan pekerjaan lain. Pak Muslim dan Bu Ziya nggak perlu khawatir. Siswanya aman di sini." Ziya menutup wajahnya. Kemarin sore mereka baru bertemu. Bahkan baju yang digunakan Huzam masih sama. Ia tak habis pikir mengapa Huzam terlibat lagi dalam masalah besar. Hari senin, mereka seharusnya berangkat ke pondok pesantren untuk melakukan pengabdian. Segala persiapan sudah Ziya siapkan. Ia hanya perlu membawa Jaka dan Huzam saja. Namun, begini ujungnya. "Ayo, Bu," ajak Muslim. Mereka juga harus memastikan kondisi Jaka di rumah sakit. "Sebentar, Pak." Ziya tampak memikirkan satu hal. "Pak Soni," ucapnya. Soni sudah mulai menyalakan komputer. "Iya, Bu?" "Boleh saya kembali melihat siswa saya? Ada yang ingin saya sampaikan." "Lagi?" Ziya mengangguk mantap. Sementara Soni melihat ke arah Muslim. Ia meminta pertimbangan. Muslim terpaksa mengangguk. "Ya sudah silakan, Bu." "Terima kasih, Pak." Ziya bergegas kembali ke ruangan lain di mana Huzam berada. Ia harus menyampaikannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD