4. Kesalahan Manusia

1165 Words
Ziya tidak akan menganggap ketidakbisaan muridnya itu sebagai bentuk dosa yang besar. Bisa saja anak didiknya memang belum tersentuh hidayah hingga masih cuek tentang pelajaran agama. Seperti kata abahnya kala itu. "Didoakan terus. Nanti hidayahnya bisa cepat datang ke mereka. Kalau adanya diomelin terus, susah nembusnya." Ziya menarik napas dalam lalu mengembuskannya. Kalau bukan karena kalimat-kalimat motivasi dari abahnya pasti ia sudah melarikan diri. Ziya bersiap memulai pelajaran pertama bagi kedua muridnya yang istimewa. "Aku memohon ampunan kepada Allah yang Maha Agung. Tiada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, dan aku bertaubat pada-Nya.” Ziya mengartikan bacaan istighfar yang tadi dibaca bersama anak didiknya. Jaka dan Niken saling melempar pandang. "Di dunia ini tidak ada manusia yang tidak berdosa kecuali nabi Muhammad Sollalohu Alaihi Wasalam. Setidaknya satu manusia yang bernyawa pasti pernah melakukannya." Ziya menjeda. Ia memberi kesempatan pada Niken dan Jaka untuk mencerna penjelasannya. "Saat kalian melakukan kesalahan itu wajar karena kalian manusia biasa. Akan tetapi saat kalian terus-terusan melakukannya dan tidak bertaubat itu yang menjadi pertanyaan." Jaka dan Niken manggut-manggut. Mereka mulai bisa menebak ke mana alur pembicaraan gurunya. Rupanya Bu Guru Ziya tipe yang lebih senang menggunakan perumpamaan. Begitu pikir Niken. "Seperti arti dari bacaan tadi. Kalian hendaknya memohon ampunan dan bertobat. Bukan malah melarikan diri," pungkas Ziya. Ia rasa Niken dan Jaka bisa memahami maksud perkataannya. "Ya, Bu. Maaf," ucap Niken. Hal lumrah memang meminta maaf saat melakukan kesalahan. Niken biasa menggunakan kata ajaib itu. Ziya pun menunggu respons Jaka. Muridnya itu tidak melakukan hal yang sama seperti temannya. "Eh, iya, Bu. Maaf," ujar Jaka kemudian. Ziya pun tersenyum simpul. "Tidak kepada saya tapi pada orangtua kalian yang sudah kalian hianati karena menyiakan amanah untuk sekolah. Mereka banting tulang buat kalian, tapi kalian enak-enakan bolos pelajaran." Niken mendecih. Bosan dengan nasihat para guru yang selalu mengaitkan masalah mereka dengan kerja keras orangtua mereka. Jaka pun sama. Ia juga tidak setuju saat Ziya membawa nama orangtua. Memang sudah menjadi risiko mereka bukan? Begitu pikir Jaka. "Kalau memang tidak bisa minta maaf sama mereka jangan pernah menyakitinya." Ziya berencana menyudahi sesi nasihat itu saat melihat Jaka dan Niken berpura menguap. "Jangan diulangi lagi. Pastikan setelah ini kalian mengikuti kelas praktik." "Ya, Bu!" jawab Niken dan Jaka kompak. "Tapi sebelum itu saya mau tanya di mana Huzam dan Roni berada?" Ziya membenarkan letak frame kacamatanya. Aura wibawanya muncul saat seperti itu. Niken dan Jaka kembali saling melempar pandang. Mereka berada dalam posisi jujur hancur tidak pun sama saja. Bu guru Ziya tipe yang nekat. Sudah pasti akan datang ke tempat persembunyian itu kalau dia tahu. "Oke. Kalau begitu biar setelah ini kalian ketemu guru BK saja buat ngisi poin." Ziya tahu nyawa kedua muridnya di sekolah sudah tidak aman karena akumulasi poin pelanggaran. Jaka dan Niken gelagapan. "Sekali lagi saya tanya di mana Huzam dan Roni berada?!" Jaka menggeleng. Ia tidak mau tersebarnya tempat tongkrongan baru mereka berasal dari mulutnya. Niken tak kalah bingung. Ia mulai terintimidasi dengan tatapan Ziyadatul Muna—perempuan muda yang kini menjadi wali kelas mereka. Sejenak hening mengisi. Mereka hanya bisa saling melempar pandang lagi. Tidak ada jawab dari Jaka dan Niken atas pertanyaan Ziya. "Baiklah kalau begitu. Kalian bisa masuk kelas." Ziya berujar pasrah. Ia menghela napas kasar. "Bisa jadi Allah memang belum mengizinkan saya bertemu dengan mereka melalui kalian." Ziya tampak kecewa. Harusnya ia bisa mengatur keempat siswanya itu. Sayangnya, Huzam dan Roni selalu tidak bisa ia temui. Ziya akhirnya bangkit dari posisi duduknya. Ia bersiap meninggalkan mushola lebih dulu. "Mau ke mana, Bu?" sergah Niken. Ziya pun menoleh. Sejenak menatap Niken dengan tatapan yang sulit dibantah. Niken sedikit menyesal. "Cari teman kalian di warung tongkrongan," jawab Ziya dingin. Entah kenapa ia bisa menjawab seperti itu. Harusnya ia tidak bersikap sekeras itu. "Ibu tahu yang baru?" tanya Jaka cukup kaget dengan respons Ziya. "Apa yang saya tidak tahu. Paham betul saya." Ziya berlalu begitu saja. Niken menyikut lengan Jaka. Ia menguntai tanya tanpa bersuara. Bagaimana ini? Jaka pun menggeleng. *** Roni kembali membuka ponselnya setelah getar terasa. Matanya membola melihat susunan huruf yang dituliskan oleh Niken. [Bu Guru Ziya mau ke situ] Begitu tulis Niken. "Zam, lihat!" seru Roni seraya mengemas barang-barangnya. Huzam mengedikan dagu. "Bu Ziya mau datang. Ayo cabut dari sini!" seru Roni sedikit takut. Ia menyimpan rapi pesanan yang dibawakan oleh Huzam. "Serius?" "Iya. Ini dapat WA dari Niken. Cabut aja, lah. Aku udah ada acara lain. Nggak mungkin ngladenin dia." Roni berdiri. Ia tidak mau acaranya hari ini gagal. Huzam mematung. Kalau tidak ditongkrongan ke mana ia akan bermain? Rumah? Jelas tidak mungkin. "Kamu mau ke mana, Ron? Nggak mungkin ke sekolah, ‘kan?" "Ya enggak lah. Aku mau pulang. Jam segini nggak ada orang. Jadi aman." "Aku ikut ya." "Hah? Ke tempatku?" Huzam mengangguk. Roni berpikir sejenak. Meski mereka terbilang akrab, mereka hampir tidak pernah main ke rumah satu sama lain. Ada pembeda yang membuat mereka tak pernah mau bertegur sapa dengan keluarga. "Ya udah ayo, lah." Roni pun mengajak Huzam keluar bersamanya. Dua motor dengan suara bising itu meninggalkan warung tempat tong krongan. Roni cukup kesal dengan tingkah wali kelas barunya itu. Ia semestinya memberi pelajaran di awal, agar guru perempuan itu tidak terus-terusan mengusik kedamaian hidup mereka. Roni terus berpikir sembari melajukan motornya. Huzam yang pada dasarnya tidak pernah mau memikirkan orang lain sedikit menaruh pikirannya untuk memikirkan Bu Guru Ziya. Kalau terus-terusan seperti ini langkahnya untuk tetap bersenang-senang akan semakin susah. Niatnya agar bisa keluar dari sekolah juga semakin sulit terlebih di tahun ketiganya ini. Huzam sejak awal sudah enggan mengenakan seragam. Ia lebih senang bekerja menjadi apa saja. Namun, ibunya terus memaksa. Hal itu terbukti saat Huzam beberapa kali tinggal kelas. Obrolan awal masuk SMK menyusup di pikiran Huzam. Ia yang tidak ingin sekolah lagi, terpaksa mengiyakan permintaan ibunya. "SMK aja, Le. Nyampe SMK. Habis itu kamu nggak usah kuliah. Ibu pingin setelah lulus kamu bisa langsung kerja. Kaya anak temen ibu yang kemarin baru pulang." Huzam tidak terlalu mendengarkan. Ia sedang menyantap menu sederhana buatan ibunya. "Dari sekolah udah ada fasilitas penyalur kerja. Kamu tinggal jadi anak yang baik, patuh, sopan, pinter. Nanti kalau nasibmu mujur kamu nggak perlu kerja susah-susah kaya ibu gini." Huzam yang baru lulus SMP hanya diam. Ia sudah mantap tidak akan melanjutkan sekolah. SMP saja terlalui dengan banyak hal yang menyusahkan. "Ini minumnya. Habis itu kita daftar ke SMK Hijau ya, Zam. Ibu pingin kamu sekolah lagi." Huzam meraih gelas berisi air putih. Meneguknya dan meletakkannya kasar. "Biaya dari mana, Bu?!" tanya Huzam berikutnya. Ia tahu ibunya selalu bekerja keras untuk memenuhi kehidupan mereka. "Ada, Zam. Ibu bakal dapat biaya buat sekolahin kamu. Insyaallah kehidupan kita akan lebih baik setelah ini." Ningtyas tersenyum manis. Huzam mengernyit. Dari mana ibunya akan dapat biaya? Ia tak semudah itu percaya. Hari itu adalah hari yang Huzam sesali sampai saat ini. Seharusnya ia mempertahankan pendapatnya untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Bekerja menjadi tulang punggung keluarga jauh lebih baik daripada harus memiliki ayah baru yang tak jauh buruk dari mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD