5. Dua Keputusan

1325 Words
Rumah gedong itu terasa asing bagi Huzam. Selain memamg berbeda dengan rumah sederhananya, ini kali pertama ia bertandang ke rumah temannya. “Buruan! Lewat samping aja!” seru Roni. Sejak tadi sengaja berjalan mengendap. “Kenapa begitu? Depan dikunci?” Roni menggeleng. Jelas ia jauh lebih senang melewati pintu samping. Pintu depan tak ubahnya neraka baginya. “Mas Roni?” sapa asisten rumah tangga yang sedang menjemur pakaian. Sigap Roni menempelkan telunjuknya. “Sssttt, ndak kedengeran.” “Iya, iya, Mas. Ada di rumah sekarang. Belum berangkat.” Roni mengangguk. Ia paham jadwal keluarganya. Untuk itu ia memilih pintu samping yang langsung bisa terhubung dengan tangga lantai dua. “Bikinin kopi ya, Mbak. Kaya biasa.” “Siap, Mas.” Huzam mengangguk pada asisten rumah tangga di rumah Roni. Ia sedikit penasaran namun tak berani bertanya langsung. Ia pun memilih hanya menjadi pengamat saja. “Bentar, Zam,” ujar Roni sambil merogoh tas kecilnya. “Dikunci?” “Iya, lah. Kalau nggak repot,” jawab Roni. Tangannya masih berusaha membuka pintu kamarnya. “Ayo masuk!” ajaknya. Huzam mengangguk. Ia melangkah masuk ke sebuah kamar yang baginya tak jauh berbeda ukurannya dengan kamar di rumahnya. Hanya saja dari segi isi dan desain interior sangatlah berbeda. “Duduk situ aja,” ujar Roni menunjuk kasur yang hanya muat untuk satu orang. “Gampang.” Huzam lebih tertarik mengamati jendela kamar Roni. Dari atas nampak terlihat pemandangan di area depan rumah Roni. Pagar besi itu tak selalu baik ternyata. Ia tak pernah mengira bahwa sekelas Roni masih tidak bebas untuk sekadar memasuki rumah lewat pintu depan. Roni sudah mengganti seragam birunya. Ia memilih kaus bergambar tengkorak untuk dikenakan. Tak lupa ia menyalakan pendingin ruangan agar tidak pengap. “AC?” tanya Huzam sambil mengamati benda yang menempel di dinding itu. “Iya. Kalau kipas gerah, Zam.” Huzam tersenyum tipis. “Beda kelas, ya. Aku pakai kipas kertas.” Roni terkekeh. Di luar mereka berdua memang terkenal garang. Akan tetapi saat berdua saja mereka kerap melontarkan candaan demi candaan. “Sudah suratan.” Huzam pun tak bisa untuk tidak tersenyum. Ya, sudah suratan memang menjadi dirinya. Miskin dan tidak punya kesempatan. Pintu kamar itu diketuk dari luar. Roni tahu pasti asisten rumah tangganya yang akan mengantar kopi pesanan untuknya dan Huzam. “Bentar, Zam.” Huzam mengangguk. Ia sudah duduk di ranjang milik Roni. “Mbolos lagi?!” teriak laki-laki yang berdiri di belakang asisten rumah tangga Roni. “Sialan,” desis Roni. “Sama siapa sekerang?” teriak ayah Roni sambil melongok ke dalam kamar. “Teman, Pak.” “Teman ngajak nggak bener? Iya!” bentaknya. Roni mendesah. Hal yang tidak ia suka dari ayahnya. Suka menyimpulkan sendiri tanpa bertanya lebih dulu. Huzam yang merasa sedikit terganggu pun memilih berdiri. Meski Roni berkata untuk tetap berada di dalam, ia tak nyaman. “Pagi, Om,” ujarnya. Ia berencana memperkenalkan diri. “Kalian berdua turun sekarang!” teriak ayah Roni. Roni pun menggeleng. Mana mau ia disuruh seperti itu. Ditambah sedang ada Huzam. “Nggak, Pak. Kita di sini aja.” “Bapak bilang sekarang ya sekarang. Nggak pakai nanti!” Huzam tersentak. Rupanya tidak hanya ia yang sering mendapat bentakan dari laki-laki bergelar ‘ayah’. Temannya pun sama. Asisten rumah tangga Roni mengedipkan mata. Memberi kode agar Roni dan Huzam menurutinya. Roni yang cukup paham dengan gestur itu pun melunak. “Baik, Pak,” ujarnya kemudian. Roni dan Huzam berjalan di belakang Hardi—ayah Roni. Anak tangga yang tadi mereka lalui menjadi tidak menyenangkan. Entah apa yang akan dilakukan Hardi kali ini. Keputusan kabur ke rumah rupanya bukan sebuah keputusan yang baik bagi Roni. “Sialan, mampus kita,” lirih Roni. Ia yang berada tepat di belakang ayahnya bisa dengan jelas melihat siapa perempuan yang sedang duduk berhadapan dengan ibu tirinya. “Apa?” tanya Huzam tanpa suara. Tangan Roni teracung ke depan. Huzam pun mengikutinya. Matanya membola. “Mana Mas, anak-anak nakal itu?” tanya Yuna—ibu tiri Roni. Hardi menoleh. Menunjuk Roni dan Huzam dengan dagunya. “Dasar, nggak tau malu. Kerjaannya bikin masalah saja. Sini kalian!” hardik Yuna. Huzam terpana. Bentakan Hardi di atas terasa tidak apa-apa dibandingkan tatapan ibu tiri Roni. Huzam juga baru tahu bahwa selama ini kehidupan Roni tak seindah yang ia kira. “Ini loh Bu Ziya, kerjaannya kalau nggak nongkrong di PS ya gini. Nyelinap ke rumah, mbolos nggak karuan,” keluh Yuna. Ia tidak suka saat Roni membuat masalah di sekolah. Ziyadatul Muna—wali kelas baru yang rupanya punya nyali itu mengangkat dagu. Ia mengamati sejenak dua siswanya yang mangkir dari kelas praktik. Keputusannya memilih datang ke rumah Roni rupanya sangatlah tepat. “Duduk kalian!” seru Hardi. Baik Roni maupun Huzam tak ada yang nampak sopan santunnya. “Baik, Pak.” “Mohon maaf Bu Ziya, anak saya memang sudah seperti ini sejak ibunya meninggal. Dia nggak pernah mau fokus sama sekolah. Adanya bikin masalah.” “Benar Bu Ziya, saya yang dalam hal ini sudah berusaha menjadi ibu yang baik buat Roni suka sedih, Bu. Rasanya saya seperti nggak bisa ndidik anak kalau kaya gini.” Yuna tak mau ketinggalan. Ia mulai bermain peran. Roni terlolong. Sungguh kekompakan orangtuanya patut diakui dalam hal kebohongan. Sementara Huzam menatap ke arah Roni. Benar-benar tak menyangka ada drama keluarga di balik sikap arogan temannya.                “Silakan Bu Ziya, mau diapakan anak saya, monggo. Saya sudah pasrah pokoknya. Mau dikeluarkan juga boleh. Mengingat poin pelanggaran Roni sudah banyak.”                Ziya tersenyum tipis. Ia sudah tahu latar belakang keluarga Roni seperti apa. Ia juga sudah mempersiapkan beberapa hal.                “Bagini, Bu. Saya memang berencana mengeluarkan Roni dan Huzam, jika mereka melakukan pelanggaran lagi. Poin mereka setelah ditambah pelanggaran hari ini lebih dari penuh untuk dikabulkannya saran itu. Tetapi sebentar lagi mereka mau ujian, Bu. Harapan saya mereka tetap bisa mengikutinya dan lulus sesuai ketentuan.”                Huzam dan Roni saling melempar pandang. Apa maksudnya? Mengapa berbeda dengan yang digembar-gemborkan wali kelasnya selama ini?                “Terus bagaimana Bu solusinya?” tanya Hardi. Biasanya yang datang ke rumahnya bukanlah guru muda dengan kacamata merah di wajahnya. Melainkan guru BK yang mungkin sudah malas bertemu dengannya.                Ziya kembali mengulas senyum. Entah mengapa senyum itu justru terasa mengerikan bagi Roni dan Huzam. Ia lebih senang wali kelas barunya yang sok jago itu marah-marah.                “Mereka harus melakukan pengabdian, Pak.”                “Pengabdian?” tanya Huzam dan Roni bersamaan.                Ziya mengangguk. Ia kembali mengulas senyum yang sungguh bagi Roni maupun Huzam cukup menyeramkan.                “Surat resminya menyusul, Pak, Bu. Berhubung selama ini saat saya mencoba menghubungi bapak dan ibu selalu tidak bisa, maka saya sampaikan langsung tanpa adanya pemberitahuan surat. Saya mohon maaf sebelumnya.”                “Oh, ya, tidak apa-apa, Bu. Malah bagus. Memang kadang kami tidak bisa menghadiri undangan sekolah karena kesibukan kami.”                “Iya, Bu Ziya. Maklum saya harus ngurus homestay dan lain-lain. Bu Ziya pasti paham lah, ya. Kan abah juga punya,” timpal Yuna—melengkapi argumen suaminya.                Ziya mengangguk kecil. “Iya, Bu. Kalau begitu apa saya boleh membawa mereka ke sekolah sekarang?”                Roni dan Huzam melotot tajam. Ketangkap basah?                “Tapi mohon maaf sebelumnya, apa bisa bapak yang mengantar? Nanti sekaligus sama saya karena saya tidak bawa kendaraan. Maksud saya mengantisipasi berbagai kemungkinan lain.”                Hardi tampak berpikir. Ia dan Yuna harus segera berangkat ke luar kota. Jika mengantar Roni dulu bisa jadi mereka akan terlambat.                “Bagaimana, Dik?”                “Nggak apa-apa, Mas. kita berangkat bareng aja. Nanti langsung berangkat sekalian.”                “Beneran?”                Yuna mengangguk. Meski malu memiliki anak tiri seperti Roni, ia tak mungkin menunjukkannya di depan Ziyadatul Muna. Ia harus menjadi ibu tiri yang baik hati.                “Ya sudah kalau begitu. Kalian sekarang kembali ke sekolah. Tidak ada mbolos-mbolos lagi!” sentak Hardi.                Roni dan Huzam tak menjawab. Sungguh hari ini adalah hari tersial yang pernah mereka alaami. Apa kata teman-temannya nanti jika mereka datang ke sekolah? Dijemput Bu Ziya pula. Huzam dan Roni tak bisa lagi menghindari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD